Yogyakarta -- Mutu dan kualitas konten siaran tidak sepenuhnya terbentuk oleh mekanisme pemberian sanksi atau punishment. Perilaku menonton masyarakat seperti memilih sebuah program siaran TV atau mendengarkan acara radio tertentu, ikut berperan dalam menentukan tinggi rendahnya kualitas sebuah program siaran. Artinya, jika publik masih gemar menonton tayangan tidak berkualitas, maka kreatifitas dan pola produksi siaran akan mengikuti.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dalam kegiatan diseminasi hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV  di Yogyakarta, Selasa (3/11/2021), mengatakan berbagai kebijakan KPI pada dasarnya diarahkan untuk mencapai idealitas kepentingan publik, namun juga harus memperhatikan realitas pilihan publik, serta terus memberi tantangan pada  kreatifitas produksi siaran. 

“Pendekatan sanksi atau teguran tidak cukup untuk mengubah siaran kita menjadi baik. Ketiga hal  tersebut saling terkait dalam membentuk dan menciptakan kualitas siaran,” kata Hardly. 

Peningkatan kualitas siaran juga tidak sepenuhnya ditentukan oleh lembaga penyiaran. Menurutnya, resultan dari relasi dinamis antara seluruh stakeholder ikut menentukan kualitas tersebut.

“Ini yang perlu saya sampaikan, karena ada mekanisme hukum permintaan dan penawaran. Ada interaksi antara KPI dengan lembaga penyiaran, ada interaksi antara lembaga penyiaran dengan masyarakat dan itu semua berujung pada wajah penyiaran kita hari ini. Jadi jangan semata-mata hanya satu titik saja yang kita katakan salah, tapi perlu ada upaya stimulasi pada proses produksi siaran di satu sisi dan  pilihan penonton di sisi yang lain,” tutur Hardly.

Dia menegaskan bahwa idealitas kepentingan publik harus menjadi standar indeks kualitas. Kemudian, realitas pilihan publik distimulasi melalui diseminasi kepada publik tentang bagaimana sebuah program dinilai berkualitas atau tidak. Dari realitas itu, ada upaya intervensi untuk menstimulasi proses kreatifitas produksi konten siaran. 

“Dan catatan kritis dari hasil riset ini juga bisa mempengaruhi dinamika proses produksi,” ujar Hardly. 

Terkait hal itu, Hardly mengatakan pihaknya punya agenda yang selalu digemakan dalam tagline yakni “Bicara Siaran Baik”. Bicara siaran baik ini semangatnya adalah ketika ada program siaran yang baik harus disebarkan karena ini bagian dari mestimulasi realitas pilihan publik sehingga dari waktu ke waktu pilihan publik makin baik dan berkualitas. 

“Ketika ada siaran yang buruk laporkan ke KPI untuk kemudian kami ambil tindakan. Tugas KPI itu bagaimana dari waktu ke waktu menyiapkan program siaran untuk semakin banyak yang baik dan berkualitas. Jadi penonton memilih siaran yang baik itu penting. Jadi apa yang mereka pilih akan menentukan apa yang menjadi kreatifitas produksi siaran,” jelasnya.  

Dalam kesempatan itu, Hardly berharap diseminasi hasil riset indeks kualitas siaran TV dapat dilakukan terus menerus dan berkelanjutan agar menjadi public discourse (diskursus publik). 

“Saya berharap diseminasi riset ini tidak berhenti dalam forum formal seperti ini, tapi juga bisa menjadi bahan-bahan diskusi berdasarkan kategori program dengan forum yang lebih santai dan bisa banyak orang terlibat, sehingga menjadi diskursus publik tentang berbagai hal tentang penyiaran,” harapnya.   

Sementara itu, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga UIN Sunan Kalijaga, Prof. Iswandi Syahputra,  menyampaikan hal-hal yang perlu dipahami pertelevisian dan pemirsa, berkaitan dengan kualitas program siaran televisi. 

Menurutnya, kualitas siaran dapat dinilai dari tiga perspektif yang berbeda dan terkadang berlawanan, yaitu perspektif pemirsa (minat pemirsa, kebutuhan dan tuntutan pemirsa), produsen program siaran/konten kreator (kreativitas dan produksi teknis- audio, visual, pencahayaan, editing, dan hal teknis lainnya), manajemen televisi (Program siaran yang berkualitas harus menghadirkan karakteristik tertentu, seperti menghormati pluralitas dan integritas, pengungkapan kebenaran, kecerdikan dan tidak adanya kekasaran dan sensasionalisme).

Dosen Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Bono Setyo, menyampaikan beberapa temuan riset terkait siaran religi. Temuan tersebut diantaranya, program siaran religi mendapat tempat pada pemirsa. Menurutnya, hal ini menjadi peluang yang dapat ditangkap semua media dengan membuat berbagai kreasi siaran religi. 

Dalam kesempatan itu, Bono menyayangkan masih banyak televisi yang terjebak komersialisasi sehingga meninggalkan fungsi edukasinya. Selain itu, keberimbangan konten juga belum terwujud. Media televisi juga belum mampu mengangkat kekuatan kharisma figur penyampai konten religi maupun nama program. 

“Siaran religi semua televisi didominasi agama Islam, namun sayangnya belum banyak yang fokus pada intisari ajaran, masih dangkal dan sering kali masih menyajikan konten mistik, horor. Track record dan kredibilitas penyampai konten pun belum diperhatikan media televise,” paparnya. ***/Editor:MR

 

 

Surabaya -- Salah satu upaya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk memperbaiki kualitas siaran televisi adalah dengan mengintervensi selera penonton. Karena itu, KPI merasa perlu menggalakkan gerakan literasi media untuk mencerdaskan penonton dengan cara memandu mereka cermat memilih siaran berkualitas.

“Kalau penonton semakin cerdas untuk memilih tayangan yang berkualitas harapannya Televisi akan merespon dengan memproduksi semakin banyak program yang berkualitas pula,” kata Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, dalam diseminasi hasil riset indeks kualitas program siaran televisi tahun 2021 di Hotel Bumi Surabaya, Selasa (2/11/2021).

Nuning berharap data-data yang didapatkan dalam riset kerja sama dengan 12 kampus di Indonesia ini dapat dimanfaatkan para pemangku kepentingan penyiaran baik bagi KPI sebagai regulator maupun lembaga media.

“Riset ini punya nilai penting agar kita tidak sekadar menekan mereka (Televisi) tetapi juga mendukung dengan data-data yang secara akademis dapat dipertanggungjawabkan. Kita berharap hasil penelitian ini bisa memberikan perspektif alternatif tentang siaran yang berkualitas,” katanya.

Dalam riset periode I yang diadakan Januari-Maret 2021 tersebut, indeks kualitas siaran Televisi ada di angka 3.09, di atas standar kualitas KPI yakni 3.00. Namun begitu, ada penurunan di beberapa kategori program.

Dari delapan kategori program, ada tiga program dengan indeks terendah, yaitu variety show (2.81), infotainment (2.67), dan sinetron (2.56). Sedangkan yang tertinggi adalah program wisata dan budaya (3.53).

Sementara itu, Universitas Negeri Surabaya (Unesa), yang merupakan satu dari dua belas kampus yang bekerja sama dalam riset ini mengaku siap berkomitmen untuk terus menggelorakan semangat gerakan literasi informasi.

“Perguruan tinggi tidak boleh berdiri di menara gading dan harus turun memberi kontribusi pada masyarakat. Oleh karena itu, yang penting bagaimana membangun kolaborasi antara perguruan tinggi, birokrasi, dan industri semacam ini,” kata Sujarwanto Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama Unesa. Red dari suarasurabaya.net

 

Jakarta -- Kemajuan teknologi dan massifnya informasi dari media baru terkadang tidak menempatkan masyarakat desa dalam posisi yang menguntungkan. Sering kali mereka hanya menjadi sasaran dari sebaran informasi yang kebenaran beritanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Untuk meminimalisir efek buruk dari informasi tersebut, perlu ada literasi digital secara berkelanjutan.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengatakan era disrupsi yang terjadi sekarang setiap orang dapat membuat, menerima dan menyebarkan atau menyiarkan informasi apa saja tanpa ada batasan. Sayangnya, di tengah keberlimpahan informasi itu, terkadang masyarakat justru tidak semakin informatif.

“Jika salah memilih dan tidak memiliki kapasitas menyaring, maka kemudian akan turut menyebarkan informasi hoax dan tidak benar. Ini artinya kita sedang bergerak ke arah masyarakat disinformasi. Untuk itu, di era disrupsi ini, agar informasi yang dibuat dan disebarkan bermanfaat perlu ada literasi digital,” tegasnya saat mengisi acara Seminar Nasional yang diselenggarakan Akar Desa Indonesia dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda 2021, Jumat (29/10/2021).

Menurut Hardly, semua orang termasuk masyarakat di desa, harus dibekali kemampuan untuk bisa saring sebelum sharing (menyebar) informasi. Karena itu, pembekalan melalui kegiatan literasi bagi masyarakat desa menjadi sebuah kebutuhan dan hal tersebut diharaplan dapat dilakukan oleh Akar Desa Indonesia. 

“Akar Desa Indonesia memiliki kapasitas untuk membuat hal ini. Tidak hanya meliterasi, teman-teman juga bisa membuat informasi yang baik dan inspiratif. Instrumen untuk itu dapat melalui pemanfaatan media sosial. Ini untuk mengagregasikan berbagai aspirasi komunitas, sekaligus menyampaikan informasi Akar Desa kepada masyarakat luas agar dapat diketahui,” harap Hardly kepada para peserta yang sebagian besar pemuda dan pemudi dari berbagai desa di tanah air. 

Hardly mengingatkan pentingnya melakukan verifikasi terhadap informasi yang beredar di media sosial. Salah satu jalan untuk mengkonfirmasi kebenaran dari informasi tersebut dapat melalui informasi yang disiarkan TV maupun radio.  

“Di TV memang masih ada hal - hal negatif, namun  faktanya siaran di TV masih lebih baik ketimbang di media baru. Karena tim produksi di TV bekerja berdasarkan regulasi dan memiliki background profesional. Selain itu ada KPI yang mengawasi. Beda dengan media baru yang penting viral,” ujar Hardly. 

Dalam kesempatan itu, Hardly mengatakan kata kunci membuat ekosistem penyiaran menjadi baik dan berkembang yakni dengan mendorong masyarakat untuk menonton informasi dan tayangan berkualitas. Jika ini sudah terbentuk, pihak TV akan melihat perubahan selera penonton  dan tentu akan produksi konten akan semakin berkualitas sejalan dengan perubahan kualitas selera penonton. 

“Kontrolnya ada di masyarakat. Sama juga dengan yang terjadi di internet. Yang dibuat konten kreator itu pasti merujuk pada konten yang banyak dilihat dan di like (suka). Penentu di era ini adalah penerima dari informasi tersebut. Karena itu penting untuk mendorong literasi digital. Agar masyarakat senantiasa mencari informasi yang berkualitas dan juga menyebarkan informasi dan siaran yang baik juga,” tandas Hardly.

Dalam seminar yang dibagi menjadi beberapa sesi tersebut, hadir sebagai pembicara kunci Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, Ketua Umum Apkasai, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, Wakil Ketua BPIP, Hariyono, Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha, Komisioner KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka, Direktur Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, Tri Mumpuni, dan Komisioner Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar. ***/Foto: AR/Editor:MR

 

Yogyakarta -- Hasil riset indeks kualitas program siaran TV semestinya menjadi referensi utama bagi masyarakat untuk memilih dan menyaksikan tayangan yang baik dan sehat. Analoginya persis seperti memilih makanan. Ada yang tidak boleh dimakan atau dilarang. Ada yang tidak sehat tapi boleh dikonsumsi. Kemudian ada makanan yang sehat dan memang dianjurkan. Tinggal pilih mana yang aman, baik dan sehat untuk tubuh.

“Ada makanan seperti junk food, tidak dilarang tapi tidak sehat bagi tubuh kita. Nah, program siaran dalam analogi saya begitu. Ada kategori siaran yang terlarang seperti ketelajangan atau sadisme. Tapi ada juga yang tidak dilarang tapi tidak sehat, seperti konten yang tidak sehat bagi perkembangan psikologis anak dan remaja. Nah untuk itu, perlu ada diet sehat,” kata Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dalam sambutannya membuka kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Tahap II untuk wilayah Kota Yogyakarta, Senin (1/11/2021) kemarin.

Terkait pilihan tersebut, Hardly menyatakan hasil riset indeks kualitas siaran yang dilakukan KPI bersama 12 Perguruan Tinggi merupakan data yang diperlukan masyarakat untuk memilih dan memilah tayangan yang sehat, baik dan aman. 

“Tugas KPI dan UIN Sunan Kalijaga adalah menyampaikan mana tayangan yang sehat dan tidak sehat untuk disampaikan ke masyarakat. Yang mana yang harus banyak ditonton misalnya yang direkomendasikan oleh riset ini. Ini menjadi tugas kita untuk mensosialisasikan hal ini kepada masyarakat hasil risetnya,” kata Hardly yang dalam kesempatan itu berharap kerjasama dengan UIN tetap terjalin kuat ke depannya.

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Phil Al Makin, menghargai instrumen inter back yang digunakan KPI dalam riset yang sudah jalan sejak 7 tahun lalu. Namun, dia berharap instrument tersebut dapat ditambah dengan instrument inter pelekung. Menurutnya, hal ini sudah lama disinggung bahwa antar agama itu tidak hanya antar iman tetapi di dalam agama itu ada banyak kelompok. Karenanya penting memperhatikan kelompok minoritas dalam kelompok besar tersebut. 

Selain itu, Dia juga mengapresiasi variable yang digunakan dalam riset seperti etika, kompetensi, mistik, seksual dan religi. Tapi dia berharap variabel tersebut dapat ditambah yakni dengan variabel sains atau pengetahuan. 

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Bono Setyo, mengatakan kegiatan riset bersama KPI merupakan sebuah kebanggaan. Oleh karena itu, kerjasama ini diharap dia terus maju dan memberi manfaat. “Karena ujung dari riset ini adalah kita bisa ubah dari yang kurang jadi lebih baik. Kita ingin perbaikian itu dari visi dan misi ilmu pengetahuan yang kuat dan riset,” tandasnya. ***

 

 

Jakarta – Perubahan tata ruang atau lanskap industri penyiaran akibat digitalisasi tak bisa dihindari. Menghadapi sistem baru ini, industri penyiaran konvensional seperti TV dan radio harus adaptif dan inovatif agar tak tertinggal dan ditinggalkan. 

Namun begitu, untuk menciptakan iklim kompetisi dan usaha yang sehat dan adil antara media lama dan baru, perlu dibentuk sebuah regulasi atau UU (Undang-undang) baru yang memayungi dua media tersebut. Pasalnya, saat ini, hanya media lama yang diatur dan diawasi. Sedangkan media baru, bebas dan tak terkontrol. 

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mengatakan pengaturan terhadap media baru diperlukan. Alasannya, untuk memberi keadilan berusaha bagi siapapun sehingga iklim kompetisi berjalan baik dan tidak berat sebelah.

“Saya sepakat harus di regulasi. Kesetaraan harus ada. Kita harus menghilangkan paradigma lama soal pemanfaatan ruang publik. Sekarang yang dipikirkan adalah dampaknya terhadap masyarakat,” ujarnya secara daring saat mengisi acara Pra Kongres Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dengan tema “Profesionalisme Jurnalis dan Lanskap Industri Penyiaran Masa Depan”, Jumat (29/10/2021). 

Agung menambahkan pengaturan ini bukan untuk mengekang kebebasan berkreasi atau berpendapat. Sejumlah negara di Eropa bahkan Australia yang liberal pun telah membuat aturan ini. 

“Pada tahun 2019 ada penembakan di Selandia Baru dan efeknya karena disiarkan di media baru bisa ditonton di Australia dan mereka cemas. Karena kekhawatiran ini, dengan cepat pemerintah dan parlemen Australia membuat aturan untuk media tersebut. Ini supaya dapat dikontrol. Harus ada tanggungjawab terhadap konten yang disiarkannya. Jika tidak sesuai dengan budaya maka harus ditake down. Jika tidak, pejabat media yang bertanggung di Australia bisa dikenakan denda. Mereka punya pengaturan yang ketat di media baru,” jelas Agung. 

Harapan agar ada kesetaraan perlakuan hukum antara media lama dan baru juga disampaikan Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, dalam forum tersebut. Menurutnya, pemerintah harus mem buat keseimbangan dengan membuat regulasi. 

“Kemajuan teknologi memang tidak bisa dihindari. Tapi harus ada keseimbangan dengan media yang baru. Konten di media baru tidak bisa dilepas begitu saja. Contohnya, jurnalis saja ada yang menaungi dengan UU Pers juga industri penyiaran dengan UU penyiaran. Tapi media baru tidak ada, mereka hanya ikut UU ITE, kontennya tidak diatur. Kami berharap adanya kesetaraan dalam regulasi ini,” pinta Syafril. 

Menurutnya, kesempatan untuk memasukan pengaturan media baru bisa dilakukan dalam revisi UU Penyiaran di DPR. Jika hal ini diakomodasi, pihaknya yakin kompetisi akan berjalan dengan baik dan sehat. “Kami melihat sekarang dalam revisi UU Penyiaran bisa memasukan regulasi tentang media baru. Upaya ini agar kita bisa bersaing secara sehat. Dalam bisnis itu butuh rival tapi dalam bentuk positif. Jika tidak berimbang, satu terkungkung yang satu bebas, itu tidak adil,” tandasnya.

Dalam acara seminar Pra-Kongres IJTI, turu hadir narasumber lain yakni Pemimpin Redaksi Metro TV, Arif Suditomo dan Pemred CNN Indonesia, Titin Rosmasari. *** /Editor:MR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.