Jakarta – Industri penyiaran televisi saat ini cenderung memilih membeli program siaran asing ketimbang produksi lokal. Penyebabnya sudah jadi rahasia umum yakni harganya murah. Padahal, hal itu akan mengakibatkan kreativitas dan perkembangan industri konten dalam negeri menjadi stagnan alias diam di tempat.

Terkait kondisi tersebut, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Yuliandre Darwis, menilai hal itu sangat dipengaruhi oleh aspek finansial bisnis penyiaran yakni meraih untung bagi usahanya. Memang sangat dimaklumi, tapi ini tidak boleh dibiarkan karena akan mempengaruhi kreatifitas dan industri konten di dalam negeri. “Kreativitas sumber daya manusia kita jadi tidak dimanfaatkan dan berkurang,” katanya di depan peserta diskusi publik bertemakan Urgensi Tata Kelola Perindustrian Nasional yang diselenggarakan Celgor di Restoran Handayani, Jumat, 27 Januari 2017.

Andre mengungkapkan produksi satu episode program siaran lokal bisa menelan biaya hingga 400 jutaan, sedangkan jika membeli program asing hanya 100 juta per episode. Perbandingannya sangat jauh sekali dan tentunya dari segi bisnis memang lebih menguntungkan beli dari luar negeri. “Kondisi ini semakin diperparah dengan rendahnya kualitas konten kita. Banyak program diproduksi tetapi isinya tidak mengandung nilai edukasi dan membawa pesan moral. Pasti ada yang salah dengan hal itu,” kata Ketua KPI Pusat.

Selain itu, lanjut Andre, rating televisi dinilainya ikut mempengaruhi perkembangan konten dalam negeri. Karena berpatokan hanya kepada hasil survey satu lembaga rating, kebanyakan program televisi jadi seragam. Padahal kondisi ini tidak sesuai harapan KPI yakni menciptakan konten siaran beragam dengan isi yang berkualitas.

Di Korea Selatan, kata Andre, produksi sebuah program siaran memiliki batasan meskipun program tersebut laku dipasaran. Batasan itu dinilai Andre sangat baik untuk memberikan ruang ide dan kreativitas untuk menciptakan program siaran baru. “Berbeda dengan kita, kalau program tersebut masih tinggi ratingnya akan terus diproduksi bila perlu hingga ribuan episode,” jelasnya.

Menurut Andre, harus ada langkah solutif untuk menata ulang tata niaga industri penyiaran kita supaya lebih baik dan sehat. Tata niaga yang sehat akan berimplikasi dengan konten siaran dan juga sumber daya manusianya. “Industri ini harus ada blueprint yang baik. Jangan hanya serba diadakan. Kita harus juga memikirkan hak masyarakat yakni mendapatkan informasi dan hiburan yang baik, edukatif dan sehat,” paparnya. ***

Jakarta - Salah satu tugas dan kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. Berkaitan dengan hal itu KPI membuka "Sekolah P3SPS Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS)" yang diperuntukkan bagi praktisi penyiaran, mahasiswa, dan masyarakat umum.

Sekolah P3SPS Angkatan XVI akan dilaksanakan pada 7 - 9 Februari 2017, bertempat di Kantor KPI Pusat. Pendaftaran peserta diterima paling lambat tanggal 24 - 31 Januari 2017, pukul 23.59 WIB. Formulir pendaftaran dapat diunduh dalam tautan ini. Formulir yang sudah diisi dikirimkan ke: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya. atau Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..

Selama kegiatan berlangsung KPI Pusat menyediakan, seminar kit, konsumsi, dan sertifikat. Demikian disampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Ketentuan lain:
  1. Pendaftar yang diterima untuk mengikuti Sekolah P3SPS secara mutlak ditentukan KPI Pusat. Calon peserta yang diterima, langsung dihubungi panitia.
  2. Sekolah P3SPS digelar setiap bulan sekali dengan jumlah peserta maksimal 30 orang. KPI Pusat akan mengumumkan jadwal pendaftaran untuk mengikuti Sekolah P3SPS setiap bulannya.
 
Informasi lebih lanjut hubungi Fida (0812 5205 8616) dan Wulan (087888738279) 



Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) melakukan uji coba pelaksanaan proses pelayanan izin penyelenggaraan penyiaran secara elektronik. Uji coba dilakukan di kantor Direktorat Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Kemkominfo dengan melibatkan KPI Pusat, KPI DKI Jakarta dan instansi terkait lainnya, (24/1). 

Komisioner KPI Pusat, Koordinator bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, Agung Suprio mengatakan bahwa proses perizinan secara elektronik diharapkan dapat mengoptimalkan pelayanan kepada publik. “Serta memberikan kepastian usaha bagi pelaku bisnis di industri penyiaran”, ujar Agung.

Dalam uji coba tersebut, diketahui bahwa proses perizinan secara elektronik ini meliputi proses permohonan, pembayaran, pengawasan, serta pelaporan dan evaluasi. Sistem ini sendiri, tentunya akan terintegrasi dengan data base dari institusi terkait, seperti Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemkominfo dan KPI Pusat.

Agung menegaskan bahwa penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan perizinan, selaras dengan Peraturan Menteri Kominfo no 18 yang akan disosialisasikan Februari mendatang. Kemkominfo sendiri menjelaskan bahwa seluruh lembaga penyiaran akan diberikan surat edaran untuk melakukan pemutakhiran data, baik untuk LP yang sudah mendapatkan IPP ataupun yang sedang mengurus IPP. Diharapkan dengan terintegrasinya data base pelayanan perizinan lewat e-licensing, akan menghindari bertemunya para pemohon izin dan pengelola layanan izin penyiaran. Sehingga diharapkan dapat mewujudkan tata kelola pelayanan masyarakat yang bersih dan transparan untuk penyelenggaraan penyiaran ke depan.

 

Jakarta - Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengundang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) guna diminta masukan terkait penyiaran dan iklan kampanye di lembaga penyiaran, Rabu, 25 Januari 2017. Selain KPI, Dewan Pers dan Pemerintah cq Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) turut diundang Pansus RUU Pemilu untuk masukannya. 

Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah menyampaikan sejumlah poin yang perlu diatur secara jelas dalam regulasi Pemilu antara lain tentang pelaksana dan penayangan hitungan cepat atau quickcount, aturan penyiaran iklan partai politik bukan peserta Pemilu, definisi iklan politik yang tegas dalam bentuk iklan kampanye dan ILM (Iklan Layanan Masyarakat), serta aturan tentang lembaga penyiaran yang dapat menyiarkan iklan kampanye dan pelaksana debat terbuka.

“Regulasi harus mengatur dengan tegas soal definisi iklan politik agar jelas mana yang dikategorikan iklan kampanye atau ILM. Aturan yang jelas juga soal batasan durasi dan frekuensi tayangnya dan ini juga meliputi pengaturan soal kontennya,” jelas Nuning di depan Pimpinan dan Anggota Pansus RUU Pemilu yang hadir.

Selain itu, KPI mengusulkan gugus tugas yang terdiri dari KPU, Bawaslu, KPI dan Dewan Pers agar dimasukan dalam RUU Pemilu. Alasan Nuning, ini dimaksudnya untuk mengisi ruang kosong yang ada di regulasi untuk pengawasan penyiaran, pemberitaan dan iklan kampanye.

“Keberadaan gugus tugas juga untuk memudahkan koordinasi antara KPU, Bawaslu, KPI dan Dewan Pers. Namun harus juga ada rumusan struktur dan tugas kewenangan gugus tugas pemilu dalam regulasi tersebut,” tambah Nuning.

Terkait Gugus Tugas, Hardly Stefano sependapat dengan Nuning jika kerjasama ke empat lembaga diatur dalam regulasi Pemilu. Menurut Komisioner bidang Isi Siaran ini, pembentukan gugus tugas akan mempermudah koordinasi antara lembaga dalam pengawasan Pemilu.

Sementara itu, ditempat yang sama, Ketua Dewan Pers Yosef Adi Prasetyo menyinggung soal larangan pemberitaan selama masa tenang. Dia menegaskan tidak mungkin pada masa tenang melarang pemberitaan. Menurutnya, yang bisa dilarang adalah iklan atau bentuk kampanye lain. “Justru media harus memberitakan meskipun di masa tenang misalkan jika ada salah satu calon sakit," katanya.

Stanley, panggilan akrabnya, memberi perhatian besar atas masalah pengawasan iklan kampanye dalam pemilu. Dalam RUU Pemilu disebutkan bahwa KPI atau Dewan Pers melakukan pengawasan terhadap iklan kampanye.

"Dalam UU Pers dan UU Kode Etik Jurnalistik, yang diatur tentang iklan adalah tiga hal. Pertama, yang berkibat merendahkan agama atau menganggu kerukunan hidup umat beragama serta bertentangan dengan rasa kesusilaan. Kedua, minuman keras, narkotika, zat psikotoprika serta zat aditif lainnya yang sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Ketiga, peragaan wujud rokok atau penggunaan rokok. Pengawasan terhadap seluruh proses pemilu adalah wewenang Bawaslu," ungkapnya.

Hal lain yang dikritik Stanley adalah ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan penyiaran, iklan kampanye dan pemberian sanksi diatur dengan peraturan KPU. "Peraturan KPU mengenai pembatasan pelarangan siaran, berpotensi bertentangan dengan UU Pers di mana pers punya kebebasan," pungkas Yosep.

Terkait hal tersebut ia menyarankan adanya perubahan redaksional. "Jadi peraturan KPU mengenai pemberitaan, ikllan, kampanye nantinya tetap memperhatikan UU Pers dan UU Penyiaran," singgungnya. ***

Jakarta - Proses revisi Undang-Undang Penyiaran saat ini telah menjadi perhatian publik, diantaranya adalah Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jakarta yang menyelenggarakan diskusi terkait hal tersebut pada 21 Januari lalu.  Hardly Stefano Pariela, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran menyampaikan tentang perlunya penguatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai wujud peran serta masyarakat dalam pengawasan penyiaran.

Hardly menilai, dalam draf RUU Penyiaran per 7 Desember 2016, sebenarnya dapat dilihat adanya usaha memberikan penguatan kewenangan pada KPI. Namun demikian, ada kewenangan lain yang dipangkas dari KPI, yakni penanganan proses perizinan. “Dalam draft ini proses perizinan diserahkan sepenuhnya kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika”, ujarnya. Padahal, menurutnya, KPI seyogyanya tetap diberikan kewenangan dalam proses perizinan.

Hal lain yang menurut Hardly patut diapresiasi dalam draft RUU ini adalah kewajiban penayangan konten lokal sebesar 20 persen. “Kalau bicara ke-Indonesiaan hari ini, konten lokal memang harus ditingkatkan, mengingat isi siaran televisi saat ini sangat Jakarta sentris”, ujarnya. Jika televisi dinilai sebagai produsen budaya, tentunya konten lokal harus dioptimalkan kehadirannya di layar kaca. Selain itu, Hardly juga berharap, dengan hadirnya konten lokal, lembaga pemeringkatan siaran televisi ikut menghitung nilai ratingnya. “Sehingga, secara bisnis konten lokal juga dapat dijual pada pengiklan”, paparnya.

Namun usulan peningkatan  jumlah konten lokal justru mendapat penolakan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI).  Ketua Umum ATVSI, Ishadi SK, yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut mengaku keberatan dengan kewajiban penayangan konten lokal sebanyak 20% sehari. Menurut Ishadi,  ATVS berpendapat konten lokal tetap dibatasi hanya 10% dari jam siaran. Pertimbangannya, industri televisi membutuhkan tambahan peralatan, tenaga professional dan konten yang memenuhi syarat di 50 lokasi di setiap stasiun siaran. “Tentu saja hal ini menyebabkan munculnya additional cost yang sangat besar”, ujar Ishadi.

Catatan lain dari ATVSI atas draft Revisi Undang-Undang adalah tentang kewajiban Universal Service Obligation (USO) sebesar 1,75% dari pendapatan kotor per tahun. Hal ini, papar Ishadi, seyogyanya ditolak karena bertentangan dengan sifat hakikat penyiaran free to air. “Stasiun televisi (FTA) tidak memungut biaya jasa apapun kepada penonton televisi”, ujarnya. Bahkan selama ini setiap stasiun penyiaran sudah dibebani  dengan BHP dan IPP yang besarannya rata-rata lima miliar per tahun. ATVSI menilai haruslah dibedakan antara jasa telekomunikasi dan jasa penyiaran. Beban tambahan untuk USO ini tentu sangat memberatnya  industri penyiaran yang ada.

Sementara itu, dari Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI), Eris Munandar memberikan tiga catatan penting atas drat Revisi Undang-Undang ini. Secara tegas ATSDI mendukung pilihan single multiplekser dalam pelaksanaan digitalisasi penyiaran ke depan. “Asosiasi selalu minta mux diselenggarakan oleh TVRI”, ujar Eris. Tentunya dengan catatan adanya support anggaran untuk pembangunan infrastruktur digital yang dilakukan TVRI. Eris juga mengharapkan adanya Analog Switch Off (ASO) yang jelas waktunya. “Tanggal, bulan dan Tahun dilaksanakannya ASO harus jelas, dan ditetapkan oleh Undang-Undang”, ujar Eris. Sehingga masyarakat dapat mempersiapkan diri, dan industri pun mulai menghitung mundur dalam menyambut digitalisasi.

Sebagai penutup, Hardly menegaskan bahwa KPI mendukung industri penyiaran untuk tetap berkembang dan mendapatkan keuntungan, namun dengan tetap memperhatikan kualitas isi siaran. Industri harus menyadari tanggung jawab yang diembannya, sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Hardly juga meminta masyarakat terus mengawal proses revisi Undang-Undang Penyiaran yang tengah dibahas Komisi I DPR RI saat ini, untuk memastikan regulasi yang dihasilkan tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.