Jakarta - Program acara Talk Show seharusnya menarik bagi pemirsa, program yang mengedepankan Talk-nya ketimbang Show. Benar-benar acara yang menghadirkan dialog yang menarik, relevan, dan mendalam atas tema yang dibahas. 

"Harapannya, programnya bisa memadukan dan penyeimbang antara memenuhi keinginan dan kebutuhan pemirsa," kata Najwa Shihab dalam paparan materi pengantar Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) Angkatan V, di Ruang Rapat KPI Pusat, Selasa, 6 Oktober 2015.

Kedatangan pembawa acara "Mata Najwa" di Metro TV itu atas undangan KPI untuk berbagi pengalaman kepada peserta Sekolah P3SPS. Menutut Najwa, selama 15 tahun menjadi jurnalis televisi, ia mendapatkan proses dari berbagai peristiwa yang telah diliput hingga dipercaya untuk memiliki program acara "Mata Najwa". 

Najwa mengenang, enam tahun silam, mulanya ia ragu dengan program acara Talk Show yang bertema politik dan hukum. Ragu akan jenis penonton yang ingin disasar, ragu atas tanggapan para pengiklan jika nanti sudah berjalan. Setelah menjalankan sejumlah diskusi dan riset, Najwa menjelaskan, program acara yang akan dibuat ingin menyasar anak muda sebagai penonton. Namun, menurutnya saat itu tantangannya berat, karena jam tayangnya pukul 21.30 WIB.

"Dalam episode awal kami datangkan Raditya Dika yang kami anggap sebagai ikon anak muda. Terus ada dengan Butet Kertaradjasa untuk parodi politik. Namun ternyata kami sadar, kami tidak bisa menempel pada ikon-ikon itu," ujar Najwa. Pada sesi awal-awal tayang "Mata Najwa", dalam penuturan Najwa, ia kerap menerima kritik dari teman dekat hingga penonton. Dianggap tidak sesuai dengan passion-nya yang terbiasa sebagai pembawa berita dan dialog-dialog yang mendalam.

Najwa yakin, sasaran penonton anak muda membutuhkan pendekatan yang berbeda, tidak hanya asal lucu dan ringan semata, juga membutuhkan perencanaan yang matang, riset yang mendalam dan detail saat ditayangkan.  Ia menjelaskan, dari sepuluh orang untuk tim “Mata Najwa”, empat orang dikhususkan melakukan riset untuk seluruh kebutuhan acara.

Dalam perjalanannya, menurut Najwa, perkembangan anak muda Indonesia juga mengalami pergeseran. “Ternyata dalam proses episode-episode kami setelah itu, dari riset dan respon yang kami terima, anak muda sekarang itu ingin ditantang lebih kritis, bisa meyakinkan mereka antara isi dan konteks, butuh disemangati, gila role model dan selalu merasa butuh panutan,” kata Najwa.

Maka tidak mengherankan, menurut Najwa, programnya mendapat respon yang tinggi dari kalangan muda, bahkan dalam setiap episode mendapat apresiasi dan antusias tinggi dari mahasiswa saat membuat program acara langsung di kampus-kampus.  Meski begitu, era teknologi saat ini membuat penonton dan program acaranya semakin dekat, semakin banyak yang mengawasi.

“Selain ada KPI, Dewan Pers, penonton sekarang bisa langsung protes saat acara berlangsung di layar, melalui media sosial. Bagi kami, sangat rugi kalau hal itu tidak dikelola, apalagi dalam era konvergensi saat ini. Ke depan, penonton televisi akan semakin berkurang, dan pengguna internet bertambah, tapi kebutuhan dalam bentuk visual tidak akan tergantikan,” ujar Najwa. 

Terkait dengan pengawasan isi siaran televisi, menurut Najwa, kebebasan juga memerlukan aturan main. Menurutnya, penyiaran masih membutuhkan aturan dan pengaturan lainnya, karena terkait dengan tanggung jawab pekerja televisi atas program yang ditayangkan dan dampak besar yang bisa ditimbulkan.

Usai paparan, Najwa mempersilahkan peserta untuk bertanya dan saling bertukar pengalaman dalam bentuk dialog non-formal. 

Sekolah P3SPS Angkatan V diikuti 33 peserta dari berbagai Lembaga Penyiaran dan masyarakat umum. Acara berlangsung selama tiga hari ke depan dengan materi mencakup seluruh elemen dalam P3SPS dan peraturan penyiaran yang diisi oleh Komisioner KPI Pusat.

Jakarta - Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dibuka kembali. Kali ini telah menginjak angkatan ke-V. Program bimbingan teknis penyiaran yang melatih soft skill tentang dunia penyiaran ini diperuntukkan untuk semua kalangan mulai dari praktisi lembaga penyiaran, mahasiswa hingga masyarakat umum. Pelaksanaannya akan digelar pada 6 - 8 Oktober 2015.  

Seperti pada pelaksanaan sebelumnya, Sekolah P3SPS selalu menghadirkan tokoh penyiaran dan media berpengalaman pada kuliah pembuka. Setelah Arief Suditomo, Meutya Hafidz, Farhan dan Riza Primadi, angkatan V akan kedatangan Najwa Shihab, wakil pemimpin redaksi Metro TV. Harapannya peserta dapat menggali pengetahuan, pengalaman dan motivasi dari tokoh penyiaran yang sudah banyak makan asam garam dalam dunia broadcasting itu.

Pelaksanaan program yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam menjamin profesionalitas di bidang penyiaran ini tidak memungut biaya apapun. Penyelenggaraannya ditanggung oleh APBN. Berdasarkan hasil pendaftaran, berikut nama peserta Sekolah P3SPS angkatan V:

 

NO

NAMA

LEMBAGA

1

Nurfuad

Indosiar

2

Muhammad Jatmiko Nurcahyo Saputro

MNC TV

3

Ali Mahmudin

MNC TV

4

Amie Ristianti

MNC TV

5

Bambang Suryanto

MNC TV

6

A Hendro Nugroho

Indosiar

7

Gordas Aria Mulyana S

Indosiar

8

Rivaldi

TV MU

9

Rizwan M. Dien

TV MU

10

Rizqi Nurul Ilmi

TV MU

11

Yanwar Ap

Indosiar

12

Rizky Rachdian Salerino

Universitas Indonesia

13

Haikal Sanad

ANTV

14

Edi Cahyadi

ANTV

15

Ariani Sindhu Manggih Asih

ANTV

16

Ayu Maya Gita

ANTV

17

Delly Widie Saptariny

TV ONE

18

Yunianto

METRO TV

19

M. Latiful Huda

METRO TV

20

Muhammad Agus Riyadi

CNN Indonesia

21

Dian Sukmawati

CNN Indonesia

22

Rahmat Supana

SCTV

23

Henyi Sianipar

SCTV

24

Hendi Rohendi

SCTV

25

Erwin Arief

SCTV

26

Sisca Tiurma M. Gurning

Akademi Televisi Indonesia

27

Reza Faizal

I NEWS TV

28

Renno Satryo Prabowo

I NEWS TV

29

Ari Fahrizal

I NEWS TV

30

Rohlani Mawardi

I NEWS TV

31

Robby Firmansyah

Politeknik Negeri Media Kreatif

32

 Popo Palichan

GLOBAL TV

33

Heru Budi Mursito

GLOBAL TV

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus didukung keberadaannya demi menjaga kualitas isi siaran di layar kaca. Bahkan KPI diharapkan juga dapat melakukan pengawasan dalam media online.  Pernyataan tersebut disampaikan oleh CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo dalam pertemuan dengan KPI Pusat di kantor KPI Pusat di bilangan Jakarta, pagi tadi (28/9). 

Dalam kesempatan tersebut, Ketua KPI Pusat  Judhariksawan menjelaskan mengenai agenda KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika mengevaluasi izin penyelenggaraan penyiaran stasiun televisi yang bersiaran berjaringan secara nasional, termasuk RCTI, Global dan TPI yang ada dalam MNC Group. Kepada Hary bersama jajaran direksi dari MNC Group, KPI memutarkan rekaman tayangan dari RCTI, Global dan TPI yang diganjar teguran dari KPI. Judha menegaskan, jika memang MNC Group menginginkan izin penyelenggaraan penyiaran diperpanjang, maka pihak MNC harus memastikan tidak ada lagi tayangan yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012 di tiga stasiun televisi tersebut.

Selain membicarakan pelanggaran isi siaran, KPI juga menyampaikan mengenai pelaksanaan penayangan konten lokal sebagai implementasi sisten stasiun berjaringan yang dilakukan oleh MNC Group. Komisioner KPI Pusat koordinator bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, Azimah Subagijo menyampaikan bahwa tiga stasiun televisi yang tergabung dalam MNC Group masih belom memenuhi persyaratan tayangan lokal minimal sepuluh persen dari seluruh waktu siar. Untuk itu Azimah berharap, Hary selaku CEO MNC Group memperhatikan dengan baik perintah dari regulasi penyiaran ini.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat koordinator bidang kelembagaan Bekti Nugroho mengingatkan tentang pentingnya strategi kebudayaan dalam pengelolaan konten televisi. Bekti berharap, televisi tidak semata mengedepankan fungsi ekonomi. “Televisi harus pula mengedepankan fungsi edukasi pada masyarakat,” ujarnya. Hary sendiri berharap ada pengaturan yang lebih adil terkait penggunaan parabola, media online dan piracy, demi keberlangsungan industri penyiaran yang lebih baik. 

Hadir dalam pertemuan tersebut Komisioner KPI Pusat coordinator bidang pengawasan isi siaran, Agatha Lily. Selain menyampaikan program-program dari MNC Group yang bermasalah, Lily juga memberikan apresiasi terhadap konsistensi MNC Group menayangkan program-program televisi yang berkualitas. Komisioner KPI Pusat lainnya yang turut hadir adalah Amiruddin dan Fajar Arifianto Isnugroho.

Jakarta - Perkembangan industri televisi saat ini tidak diimbangi dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Ini bisa dilihat dari jumlah tenaga kreatif yang tersedia dan berputar pada lingkup tertentu, jumlah Rumah Produksi (PH) yang mampu menembus Prime Time, dan penerima penghargaan program acara terbaik yang jumlah masih sedikit. 

Hal itu mengemuka dalam Focus Discussion Group (FGD) Standar Kompetensi Penyiaran yang dilaksanakan oleh Bidang Kelembagaan KPI Pusat, Selasa, 30 September 2015. Pemateri FGD menghadirkan Ketua dan Komisioner KPI Pusat Judhariksawan, Bekti Nugroho, dan Fajar Arifianto Isnugroho, Hardiyanto Suroso dari SCTV, serta Komisioner dari KPID Jawa Tengah, KPID Banten, KPID Bangka Belitung, dan KPID Bali.

Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan di antara sekian banyak masalah pertelevisian ini adalah kesejahteraan pekerja, kualitas program siaran, jabatan yang tidak sesuai kapasitas, hanya bermodal kedekatan dengan pemilik. “Penyiaran kita membutuhkan SDM yang profesional, maka kita perlu standar profesi penyiaran,” kata Judhariksawan.

Bekti Nugroho menjelaskan dengan adanya standar kompetensi tenaga penyiaran diharapkan dapat meningkatkan kualitas program acara di Lembaga Penyiaran. Pembangunan SDM penyiaran, menurut Bekti, juga merupakan tugas dari KPI yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 8 ayat 3 huruf (f); KPI mempunyai tugas dan kewajiban: …Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Menurut Bekti, komponen kompetensi dalam penyiaran di antaranya, keahlian (skill), etos kerja (attitude), dan pengetahuan (Knowledge). Pembangunan kompetensi itu, menurutnya nanti akan menjadi bagian dari standar kompetensi penyiaran yang akan dirancang oleh KPI.

Sementara itu Fajar Arifianto Isnugroho mengatakan, sistem kompetensi penyiaran itu akan menjadi acuan dalam evaluasi lembaga penyiaran saat perpanjangan izin siaran, selain evaluasi bidang perizinan dan isi siaran. “Penilaian Bidang Kelembagaan KPI terhadap lembaga penyiaran akan menilai dari segi profesionalisme, kesejahteraan karyawan, sistem pengembangan SDM di internal lembaga itu sendiri,” ujar Fajar.

Hardiyanto dari SCTV mengakui, pertumbuhan jumlah lembaga penyiaran saat ini tidak diimbangi dengan munculnya tenaga kreatif yang dibutuhkan industri. Dalam industri penyiaran saat ini, menurut Hardiyanto, empat profesi yang sulit dicari dalam dunia pertelevisian, yakni sutradara, produser, penulis naskah, dan tim kreatif.

Menurut Hardiyanto, jumlah tenaga kreatif itu dibutuhkan ekosistem untuk menumbuhkan tenaga kerja kreatif pertelevisian dan standar kompetensi yang dibutuhkan. Selaku anggota tim Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang penyiaran yang diinisiasi Kominfo, Hardiyanto mendukung adanya standar kompetensi bidang penyiaran.

“Dibutuhkan komponen-komponen standar kompetensi masing-masing bidang profesi di penyiaran. Kemudian ada asosiasinya, dan Lembaga Standar Profesinya (LSP), ini seperti di bidang Akuntansi, Kedokteran, dan bidang-bidang lainnya,” kata Hardiyanto.

Komisioner KPI Pusat Amirudin regulasi untuk standar kompetensi penyiaran sudah mendesak. Menurut Amir, standar kompetensi itu dibuat sebagai bentuk penyetaraan, ditujukan terutama untuk calon pekerja penyiaran yang baru, bukan untuk yang sudah lama berkecimpung dan sudah diakui kemampuan dan karyanya.

Hal senada juga diungkapkan masing-masing Komisioner KPID yang hadir dalam pertemuan itu. Dalam FGD itu, mengemuka usulan agar KPI segera membuat konsep tentang standar kompetensi dan dibicarakan dengan seluruh pimpinan KPI. Dalam hal ini, KPI hanya menyediakan konsep, karena KPI sebagai regulator penyiaran tidak bisa menjadi LSP.

Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan standar kompetensi bidang penyiaran sudah dibutuhkan mengingat perkembangan penyiaran Indonesia saat ini. “Kebutuhan sekarang ada di regulasi, kita buat dulu regulasinya dan bahas dengan seluruh pimpinan KPID. Baru nanti ada LSP yang ditunjuk atau dibuat itu belakangan, dari situ kemudian lembaga LSP itu yang menyusun segala kebutuhannya,” ujar Judha menutup diskusi.

Jakarta - Kegiatan perekrutan terorisme saat ini sudah menggunakan media sosial, siaran video dan medium media lainnya dalam melakukan aksinya hingga perekrutan anggota baru. Bila sebelumnya hanya berbasis ikatan kekerabatan dan komunal, saat ini justru penyebarannya massif melalui media.

Hal itu dikemukakan oleh Kepala Badan Penanggulangan Nasional Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution dalam talk show, "Peningkatan Peran Media Penyiaran dalam Pencegahan Paham ISIS", usai penandatanganan nota kesepahaman antara KPI dan BNPT. Acara yang dipandu oleh Fifi Aleyda Yahya itu juga menghadirkan Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Gun Gun Heryanto, dan Ikang Fawzi. Acara berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, Jumat, 18 September 2015.

Menurut Usman, pendekatan penanggulangan dan pencegahan terorisme oleh negara dalam setiap rezim mengalami perubahan. Pada masa Orde Lama menggunakan pendekatan militer, Orde Baru pendekatan intelijen, dan Reformasi dengan pendekatan hukum. "Pendekatan hukum ini belum mampu menyelesaikan masalah," kata Usman.

Dalam kondisi sosial masyarakat saat ini, menurut Usman, pendekatan yang paling baik dilakukan dengan model pendekatan kultural, budaya, deradikalisasi baik di dalam dan di luar tahanan. Dalam Usman menjelaskan, dalam penanggulangan terorisme juga memperhatikan banyak unsur, baik itu istri dan keluarga terduga/tersangka, pendukung dan para simpatisannya. Menurutnya, dalam penanggulangan lembaganya adalah yang mengurusi bagian kebijakan. "Ini menjadi tugas kita bersama dalam menanggulanginya. Untuk itu kami lakukan kerja sama dengan berbagai pihak sebagai upaya preventif," ujar Usman.

Untuk kalangan media, Usman berpesan, agar dalam peliputan jangan sampai media teledor dalam menyiarkan benih-benih terorisme, baik itu disengaja maupun tidak. Maka untuk kebutuhan pelipuan terorisme, menurut Usman, lembaganya siap menyiapkan narasumber yang kompeten di bidangnya, agar jangan sampai saat peliputan, apalagi dengan model siaran langsung, bila salah narasumber bisa menyesatkan penonton dalam melihat sebuah kasus.

Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad menceritakan, dua tahun lalu, KPI langsung menyikapi sebuah tayangan di televisi yang menghina dasar negara Pancasila. Menurutnya, program siaran televisi dan lembaga penyiaran lainnya harus selesai dari nilai-nilai fundamentalisme dan unsur fanatisme. "Ruang embrio sekecil apapun harus ditutup, kalau dibiarkan akan berkembang," kata Idy.

Dalam penyiaran kasus terorisme, Idy mengatakan, agar media berhati-hati. Ia menuturkan pada Agustus lalu, KPI mengeluarkan surat edaran ke seluruh lembaga penyiaran, agar dalam pemberitaan kasus terorisme lembaga penyiaran jangan malah memprovokasi keberadaannya. Selain itu, Idy juga menyinggung tentang tayangan yang diberi sanksi KPI karena membandingkan keyakinan intra dan antar agama dan bisa itu berakibat pada pengkafiran pihak lain.

Salah satu cara menanggulangi bibit fundamentalisme, menurut Idy adalah edukasi kepada masyarakat melalui literasi media. Literasi yang mendidik masyarakat dalam menerima dan mencerna informasi yang sehat. Menurutnya hal ini sudah dilaksanakan KPI dan masih belum maksimal, karena masih membutuhkan dukungan dari lembaga penyiaran melalui iklan layanan masyarakat agar mengarahkan publik dalam gerakan masyakat sadar media.

Sementara itu pengamat media Gun Gun Heriyanto menjelaskan dengan literasi media masyarakat akan lebih berdaya. Dengan masyakat yang berdaya akan mampu menghadapi segala informasi yang dianggap tidak sehat.

Gun Gun juga mengkritik media dalam sejumlah pemberitaan media dalam kasus terorisme yang terkadang terlalu simplikasi. "Iya, dalam tayangan itu butuh unsur-unsur drama dalam memikat pemirsa. Tapi dalam kasus terorisme pemberitaannya bukan malah menjadi simplikasi. Padahal ada proses di dalamnya. Saya kira media dalam peliputan itu lebih profesional dan proporsional menyampaikannya kepada publik, jangan sampai pemberitaannya menjadi resonansi atas keberadaan terorisme," kata Gun Gun.

Menurut Gun Gun simplikasi peliputan terorisme akibat dari lemahnya media melakukan pemetaan isu. Padahal, menurut Gun Gun, untuk kasus ISIS misalnya, peliputan yang berlebihan justru akan membuat keberadaan ISIS akan menjadi eksis. Ia juga mengingatkan, saat peliputan siaran langsung terorisme, media harus ekstra hati-hati, karena saat yang bersamaan publik semua tertuju ke sana dan jangan sampai informasi yang diterima salah.

Dalam acara itu Ikang Fawzi mengaku senang menerima ajakan preventif dalam penanggulangan terorisme. Menurutnya, masalah itu adalah masalah bersama dan harus melibatkan semua pihak. "Seniman kadang hanya diajak setelah kejadian, jarang diajak sebelum atau kegiatan preventif penanggulangan terorisme," ujar Ikang.

Ikang juga berpesan dalam menanggulangi terorisme agar publik menjaga lingkungan masing-masing. Menurutnya, terorisme bergerak dengan sistem berjejaring, maka masyarakat juga harus saling berkomunikasi satu sama lain. "Kalau ada teman atau tetangga kita yang merasa benar sendiri kalau diajak bicara, jangan ditinggalkan, dekati dia, ajak bicara baik-baik dan perlahan, jangan sampai dia sendirian, karena yang seperti itu mudah disusupi," kata Ikang. 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.