Jakarta – Selain mengenalkan kebudayaan negara yang bersangkutan, pertukaran budaya antar dua negara dalam konteks penyiaran dinilai dapat mendorong peningkatan secara ekonomi. Namun demikian, pertukaran budaya haruslah berlandaskan aspek keadilan dan kesesuaian etika yang berlaku dimasing-masing negara.

Pandangan tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat Judhariksawan dalam sambutannya di sela-sela acara Pertukaran Budaya melalui Penyiaran antara Indonesia dan Korea Selatan atau Cultural Exchange in Broadcasting between Indonesia and Korea di Hotel Ritz Carlton, Rabu, 25 November 2015.

Menurut Judha, perkembangan media penyiaran di Indonesia sangat tinggi dan ini menjadi kesempatan yang besar untuk mengembangkan ke Korea Selatan melalui pertukaran budaya ini. Namun demikian, pertukaran budaya ini harus seimbang atau merata dan juga saling menghormati. “Budaya Korea telah dikenal dan disukai di Indonesia melalui K-Pop, apakah budaya Indonesia juga bisa tenar dan disukai di Korea misalnya dengan I-Pop nya,” kata Judha langsung disambut tepuk tangan hadirin.

Selain itu, Judha menyampaikan konten Korea sudah banyak merambah penyiaran Indonesia melalui cerita dramanya. Hingga saat ini, belum ada pelanggaran yang terjadi dalam acara-acara tersebut. Tapi, beberapa hal yang penting diperhatikan adalah bagaimana konten-konten tersebut harus sesuai dengan aturan penyiaran yang di Indonesia yakni P3SPS KPI.

Judha berharap kerjasama antar dua negara ini dapat saling menguntungkan dan berkelanjutan. Kerjasama ini dapat juga menjadi pembelajaran bagi kita mengetahui rahasia sukses Korea dengan K-Popnya.

Sebelumnya, di tempat yang sama, Duta Besar Korea Selatan Cho Taiyoung dalam sambutannya mengatakan pihaknya sangat senang melakukan kerjasama dengan Indonesia. Pasalnya, perkembangan penyiaran di Indonesia terbilang cepat dan tinggi.  Dirinya pun berharap kerjasama ini dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan di masa yang akan datang.

Sementara itu, Direktur Jenderal Kemenkominfo Djoko Agung Herijadi mewakili Menteri Kominfo menyampaikan pihaknya setuju dengan pendapat KPI bahwa konten Indonesia dapat masuk ke Korea dan dikenal oleh penduduknya yang berjumlah kurang lebih 50 juta jiwa tersebut. “Saya sangat setuju adanya kerjasama pertukaran penyiaran ini,” tandasnya. ***

Jakarta - Media harus memberikan sanksi sosial pada artis dan selebriti yang bermasalah dengan hukum, terutama yang sudah diberikan vonis pengadilan. Hal itu disampaikan pelawak yang juga politisi, Dedi Gumelar, dalam acara diskusi terbatas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tentang Variety Show, (25/11).  Menurut Dedi, kemunculan kembali artis-artis yang pernah menjadi terpidana atau kasus asusila di layar televisi sebagai pengisi acara, tidak memberikan pembelajaran yang baik pada masyarakat.”Masyarakat dipaksa menerima, karena televisi  kembali membuatnya menjadi idola”, ujar Dedi. Dirinya menyampaikan, jika hal-hal tidak biasa dibuat jadi biasa, dan hal-hal biasa dianggap tidak biasa, maka itu tanda-tanda keruntuhan sebuah peradaban.

Pada diskusi terbatas itu, Dedi menjelaskan tentang kontribusi televisi terhadap pembangunan karakter bangsa. Prinsipnya, ujar Dedi, kalaupun televisi tidak mampu membuat program siaran yang bermanfaat, setidaknya jangan sampai program tersebut merusak dan merugikan bangsa. Dedi yang pernah menjadi anggota DPR RI ini menyampaikan bahwa dekadensi dan teririsnya budaya kita sekarang tidak terasa seperti halnya perang fisik. “Kita sedang mengalami perang budaya yang masuk lewat televisi,” tegasnya. Sayangnya regulasi yang ada tidak siap menghadapi perang budaya tersebut.

Ketidaksiapan itu sebenarnya secara nyata dapat dilihat melalui politik anggaran pemerintah terhadap pengawasan media, khususnya televisi. “Politik anggaran untuk KPI sekarang menunjukkan seberapa besar keberpihakan pemerintah tersebut”, tegasnya.  Dedi menyampaikan kritisi terhadap kewenangan yang dimiliki KPI serta pelaksanaan  regulasi penyiaran yang belum sepenuhnya ditegakkan oleh pemerintah. “Jadi kalau pemerintah sayang pada rakyatnya, KPI harus ditata KPI dengan penguatan anggaran,” tegasnya.

Kepada peserta diskusi yang merupakan pekerja di lembaga penyiaran, Dedi juga menceritakan pengalaman dan kiprahnya di industri televisi sebagai pelawak. Ada banyak perbedaan yang ditemui tentang kualitas entertainer televisi saat ini dibanding saat Dedi merintis karir. “Kompetisi yang demikian ketat menghasilkan seleksi yang juga ketat, namun entertainer yang muncul di layar kaca justru berkualitas”, ujarnya. Hal ini menurutnya berkebalikan dengan kondisi sekarang. Padahal, ujar Dedi, seleksi tanpa kompetensi yang dilakukan televisi sekarang justru membahayakan keberlangsungan televisi itu sendiri. “Ujung-ujungnya, rakyat dan bangsa yang jadi korban,” tegasnya.

Kesimpulan ini, menurut Dedi dapat dilihat dengan rotasi artis pengisi acara di televisi swasta yang itu-itu saja. “Televisi tidak mau ambil resiko mengambil artis-artis baru, cukup gunakan artis yang ternama dan punya jaminan rating tinggi,” tambahnya.

Padahal penggunaan rating sebagai satu-satunya tolak ukur program siaran sangat mengkhawatirkan. Apalagi dirinya memperhatikan bahwa program-program televisi yang menjerumuskan bangsa itu ratingnya tinggi. “Jangan-jangan memang ada konspirasi untuk menghancurkan bangsa ini,” ucap Dedi.

Pada kesempatan itu, Komisioner KPI Pusat koordinator bidang pengawasan isi siaran, Agatha Lily menyampaikan pada peserta, cuplikan tayangan variety show di televisi yang mendapatkan teguran dari KPI. Lily juga memaparkan jumlah program variety show yang mendomasi program di televisi berjaringan, serta pengaduan masyarakat yang cukup tinggi pada program ini. Setidaknya ada sepuluh muatan dalam variety show yang ditemukan KPI tidak sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Diantaranya, konflik dan adu mulut, hedonistik, muatan seksual, atraksi berbahaya, dan konflik keluarga.  Padahal, tambah Lily, dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran hal-hal yang disebut itu jelas-jelas dilarang.

Sementara itu, dalam catatan Rahmat Arifin (Komisioner KPI Pusat  bidang pengawasan isi siaran) sanksi yang diperoleh program variety show disebabkan jadwal tayang yang striping, tayangan langsung serta muatan gimmick yang berlebihan. Rahmat menyarankan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran, produser variety show harus ada naskah siaran yang detil, persiapan dan briefing dari produser yang rinci, serta pengawasan yang ketat dari bagian quality control saat siaran berlangsung. Dengan demikian pelanggaran-pelanggara P3 & SPS pada program ini dapat diminimalisir. 

Jakarta - Proses evaluasi penyelenggaraan penyiaran bagi sepuluh televisi swasta yang bersiaran jaringan secara nasional dari Jakarta, sudah dimulai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lewat pertemuan dengan jajaran direksi dan pemilik lembaga penyiaran. Dalam pertemuan KPI dengan jajaran direksi Surya Citra Televisi (SCTV) dan Indosiar (12/11), Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengingatkan kembali tentang tujuan diselenggarakannya penyiaran seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Judha menjelaskan bahwa program siaran harus dapat memperkukuh integrasi nasional, karenanya jangan buat program yang dapat memecah belah keutuhan bangsa. Penyiaran juga bertujuan untuk mencerdaskan bangsa, karenanya tambah Judha, lembaga penyiaran jangan membuat program yang membodohi masyarakat. Selanjutnya penyiaran ditujukan untuk terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, untuk itu janganlah membuat program yang mengajarkan masyarakat percaya pada tahayul, saling memperolok sesama manusia,  dan semacam itu. Penyiaran juga bertujuan memajukan kesejahteraan umum, karenanya Judha berharap program-program siaran yang hadir ditengah masyarakat adalah yang dapat memberikan inspirasi kebaikan. Yang juga penting diingat adalah penyiaran diselenggarakan untuk menumbuhkan sektor industri penyiaran. Untuk hal ini, Judha berharap industri penyiaran tumbuh secara sehat dan memberikan manfaat ekonomi yang merata pada seluruh masyarakat. Terkait hal ini, Judha juga menegaskan bahwa implementasi sistem stasiun jaringan adalahsebuah bentuk desentralisasi penyiaran yang bertujuan menumbuhkan perekonomian secara merata.  Singkatnya menurut Judha, apapun program yang disiarkan lembaga penyiaran, harus sesuai dengan tujuan penyelenggaran penyiaran.

Pada kesempatan tersebut Direksi SCTV yang hadir adalah Alvin Sariatmadja (Pemegang Saham), Sutanto Hartono (Direktur Utama SCTV), dan Imam Sudjarwo (Direktur Utama Indosiar) yang didampingi Direktur Program SCTV Harsiwi Achmad dan jajaran SCTV-Indosiar lainnya. Sebagai bagian dari evaluasi, KPI memutarkan potongan program-program dari SCTV dan Indosiar yang mendapatkan sanksi, baik itu teguran tertulis ataupun pengurangan durasi dan penghentian sementara.

Wakil Ketua KPI Idy Muzayyad memaparkan hasil rekapitulasi sanksi yang dikeluarkan KPI sepanjang tahun 2015. Dari rekapitulasi tersebut didapati bahwa program siaran jurnalistik dan sinetron menempati urutan teratas perolehan sanksi. Secara khusus Idy memberikan masukan tentang sinetron yang tayang di Indosiar, terutama soal pemilihan judul. Selain itu, Idy juga menyampaikan perhatiannya tentang penggunaan rok mini pada sinetron dengan latar belakang sekolah. “Hal ini juga mendapat sorotan serius dari PGRI, KPAI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” ujar Idy. Menurut mereka, kutip Idy, gambaran sekolah yang tampil di sinetron di seluruh televisi kita tidak ada bagusnya. Tidak ada sinetron yang menggambarkan bagaimana memberikanpenghormatan terhadap guru.

Sementara itu Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Agatha Lily memberikan catatan tentang sinetron dan berita yang memberikan ruang lebih pada pihak kepolisian untuk menyampaikan keterangan. Lily juga mengingatkan bahwa KPI sudah mengeluarkan edaran tentang larangan menyiarkan aktivitas hipnotis. Namun dirinya melihat di beberapa stasiun televisi lain memulai penayangan aktivitas yang sejenis dengan hipnotis, yakni astral projection. Lily berharap, SCTV dan Indosiar tidak latah mengikuti hal tersebut.

Komisioner lain yang ikut hadir dalam pertemuan ini adalah Koordinator bidang kelembagaan Bekti Nugroho yang mengingatkan kesesuaian visi misi dari SCTV-Indosiar dengan program siaran yangmuncul ditengah masyarakat. Sedangkan komisioner bidang kelembagaan Fajar Arifianto menyoal tentang kompetensi dan pengelolaan jenjang karir yang diterapkan pada dua stasiun televisi tersebut. Adapun komisioner bidang pengawasan isi siaran Rahmat Arifin, menyampaikan tentang kewajiban penayangan Iklan Layanan Masyarakat.

Menanggapi masukan dari evaluasi awal dari KPI ini, Direksi SCTV Sutanto Hartono memberikan apresiasi. Menurut Sutanto, SCTV dan Indosiar memiliki komitmen untuk menghadirkan muatan program siaran yang berkualitas dan searah dengan amanat undang-undang. “Komitmen ini bukan hanya dalam agenda perpanjangan izin,” ujar Sutanto. Lebih jauh dirinya juga mengharapkan KPI tetap konsistem dalam menegakkan aturan kepada seluruh lembaga penyiaran. Menurutnya, konsistensi KPI ini menjadi kunci agar lembaga penyiaran dapat kompak meninggalkan segala muatan yang negatif.

Palembang –  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus berupaya meminimalisir bias gender dalam penyiaran. Upaya meminimalisir bias tersebut ditempuh  KPI dengan beberapa cara yakni melalui pengaturan dalam P3SPS, survey MKK (minat kepentingan dan kenyamanan publik) dan evaluasi dengar pendapat (EDP). Hal itu dikatakan Komisioner KPI Pusat, Azimah Subagijo, pada talkshow di konferensi para jurnalis televisi se-Asia Pasifik, pada  20 November 2015 di Palembang.

“Kami mencoba melakukan perubahan tersebut dengan memasukan isu bias gender dalam aturan P3SPS. Upaya ini dilakukan supaya ada keterbukaan informasi. Melalui proses EDP, salah satu rangkaian proses permohonan bagi lembaga penyiaran untuk mendapatkan izin penyiara, KPI bisa mengidentifikasi , mengklarifikasi dan memverifikasi calon lembaga penyiaran dengan melibatkan perempuan dalam proses tersebut. Begitu juga dengan survey MKK yang dilakukan KPI,” jelas Azimah di depan peserta konferensi yang diinisiasi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Menurut Azimah, bias gender di penyiaran terjadi dalam bentuk citra perempuan hanya sekedar sebagai objek seperti pornografi, kekerasan dan eksploitasi privasi. Bahkan, bias gender ini tidak hanya ditemukan dalam program non jurnalistik tetapi juga di program jurnalistik. “Kita bisa lihat contohnya dalam pemberitaan prostitusi,” kata Azimah.

Dijelaskan dirinya, KPI telah melakukan upaya penindakan terhadap tayangan yang melanggar aspek pornografi, kekerasaan dan eksploitasi privasi melalui peringatan, sanksi teguran hingga penghentian sementara. Upaya ini tidak lain agar program-program televisi bisa mengusung kualitas intelektul daripada sekadar mempertontonkan tubuh perempuan.

Namun upaya untuk meminimalisir bias gender tersebut tidak hanya dilakukan oleh KPI semata. Menurut Azimah, perlu keterlibatan semua pihak yang sadar gender untuk menjaganya. “Meskipun agak sulit karena adanya faktor bisnis di dalamnya. Kita tetap perlu secara bersama-sama melakukan upaya perubahan tersebut,” tandas Azimah.

Hal itu senada dengan yang dikatakan Endah, salah satu jurnalis senior dari Indonesia. Endah mengatakan, jurnalis perempuan harus berani berjuang untuk menyeimbangkan keadaan ini. “Banyak hak perempuan yang harus diangkat. Ini tanggungjawab bersama baik di Indonesia maupun Asia Fasifi,” katanya bersemangat.

Sementara itu, ditempat yang sama, salah satu jurnalis senior dari stasiun TV Al Jazeera Drew menjelaskan bagaimana prosedur yang dilakukan dirinya saat meliput berita-berita yang berdampak bias gender. Kehati-hatian dalam memilih narasumber, memberikan pertanyaan hingga hal-hal yang terkait menjadi aspek yang perlu diperhatikan dalam peliputan yang bersinggungan dengan bias gender.

Lain halnya dengan perwakilan jurnalis dari negara tetangga yang bercerita soal pengambil kebijakan dan jajaran redaksi lebih banyak dilakukan dan dikuasi oleh kaum lelaki. Perempuan ditempatnya hanya lebih banyak terlibat dalam pemberitaan yang soft saja atau soft news. ***




Jakarta – Artis Inul Darsista didampingi Adam Suseno Suaminya berkunjung ke KPI Pusat untuk melaporkan keluhan mereka atas tayangan infotainment yang dinilai merugikan dan tidak benar, Kamis, 12 November 2015. Laporan tersebut diterima secara langsung oleh Komisioner KPI Pusat, Agatha Lily, S. Rahmat Arifin dan Fajar Arifianto Isnugroho.

Inul menyampaikan ke KPI Pusat bahwa dia dan suaminya merasa sangat dirugikan atas pemberitaan di infotainment yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pemberitaan tersebut turut mempengaruhi psikologis mereka dan juga anaknya serta merugikan orang-orang dekatnya. “Ini menyakitkan kami,” kata Inul emosional.

Inul juga menyampaikan ke KPI jika pihaknya sudah melakukan upaya hukum terkait keberatan mereka terhadap pemberitaan tersebut. Menurut Inul, pemberitaan infotainment yang faktanya tidak benar tidaklah pantas dan tidak mencerdaskan.

Terkait aduan tersebut, Komisioner KPI Pusat, S. Rahmat Arifin mengatakan jika pihaknya sudah meminta klarifikasi terhadap stasiun televisi Trans TV atas tayangan infotainmennya Rabu kemarin, 11 November 2015 di kantor KPI Pusat. Klarifikasi tersebut akan menjadi bahan pertimbangan KPI dalam rapat pleno sebelum menjatuhkan bentuk sanksi yang diberikan.

Sementara itu, Koordinator bidang Isi Siaran yang juga Komisioner KPI Pusat, Agatha Lily menyebut aduan yang disampaikan Inul dan keluarga sangat penting sebagai bahan pihaknya terkait persoalan tayangan tersebut. Menurut Lily, setiap warga negara Indonesia memiliki hak melakukan pengaduan terhadap keberatan mereka akan siaran di lembaga penyiaran. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.