Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyelenggarakan Fokus Grup Diskusi (FGD) tentang pengaturan iklan pengobatan alternatif di lembaga penyiaran, Selasa, 13 Oktober 2015. Diskusi ini dihadiri Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Konsul Kedokteran, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Di awal diskusi, Komisioner KPI Pusat S. Rahmat Arifin menyatakan bagaimana iklan atau acara pengobatan alternatif di lembaga penyiaran setelah berlakunya PP 103 tahun 2014. Pasalnya, menurut Pasal 67 ayat 2 dalam PP tersebut menyebutkan penyehat tradisional dan panti sehat dilarang mempublikasikan dan mengiklankan pelayanan kesehatan tradisional empiris yang diberikan.

Berdasarkan keterangan dalam presentasi yang disampaikan Rahmat, pelayanan kesehatan tradisional empiris adalah penerapan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris. Sedangkan panti sehat adalah tempat yang digunakan untuk melakukan perawatan kesehatan tradisional empiris. Dalam kesempatan itu, Rahmat menanyakan apa definisi empiris menurut pandangan PP tersebut.

Sementara Murti Utami Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenkes menekankan adanya pembenahan pemberian izin untuk tayangan iklan kesehatan tradisional disingkat Kestrad. Menurutnya ada beberapa kementerian yang juga mengeluarkan izin siaran tersebut. “Setiap siaran atau iklan pelayanan kesehatan tradisional harus mengikuti ketentuan di dalam PP 103 tahun 2014,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad mengusulkan dibentuknya gugus bersama antara instansi terkait pengawasan siaran pengobatan tradisional di lembaga penyiaran. Selain itu, perlu dibuat  surat edaran bersama terkait hal ini.

Di akhir diskusi, Komisioner KPI Pusat Rahmat berharap segera mungkin dibuat rapat koordinasi atau gugus tugas tersebut. Kemudian dilakukan sosialisasi mengenai keputusan bersama dengan terlebih dahulu membuat aksinya. ***

Jakarta - Evaluasi terhadap izin penyelenggaraan penyiaran televisi-televisi swasta sudah mulai dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.  Diantaranya dengan memanggil jajaran CEO televisi swasta  yang akan melakukan perpanjangan izin untuk membahas bersama-sama tentang program tayangan televisi tersebut selama 10 (sepuluh) tahun ini.

Hari ini (12/10) KPI Pusat bersama jajaran CEO Viva Group yang membawahi TV One dan ANTV, membahas program kedua televisi tersebut yang hadir di tengah masyarakat. Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, memberikan apresiasi pada program-program ANTV dan TV One yang  bermuatan positif dan diharapkan dapat  dipertahankan. Selain itu, KPI juga menyampaikan cuplikan-cuplikan program dua televisi tersebut, yang mendapat sorotan lantaran melanggar Pedoman Perilaku Penyian dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).

Pada pertemuan di kantor KPI Pusat tersebut, hadir Anindya Bakrie, Ardiansyah Bakrie dan Erick Tohir yang didampingi jajaran direksi dari TV One dan AN TV. Dalam pertemuan tersebut, Erick Tohir menegaskan komitmen kebangsaan dari TV One dan AN TV, sebagai salah satu pemain di industri penyiaran. Namun demikian Erick menyampaikan pula harapannya, agar regulasi dalam dunia penyiaran juga dapat menjangkau pelaku-pelaku dari asing. “Kami berhadap ada standar yang berbeda terhadap masing-masing jenis industri penyiaran,” ujar Erick. Dirinya memberikan contoh antara stasiun televisi lokal dan jaringan, serta lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran publik, dan lembaga penyiaran.

Kesempatan tersebut juga digunakan oleh KPI menyampaikan data pemenuhan program lokal minimal sepuluh persen pada AN TV dan TV One. “Meskipun kedua televisi ini masih belum memenuhi ketentuan minimal tersebut, kehadiran program lokal pada keduanya telah menunjukkan peningkatan, sejak KPI umumkan mulai mengawasi pelaksanaan program lokal,” ujar Azimah Subagijo, Komisioner KPI Pusat Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran.

Kepada TV One, KPI secara khusus mengingatkan soal pelaksanaan penyiaran pemilu kepala daerah. “Berkaca pada pemilu yang lalu, penyiaran yang dilakukan TV One dan Metro TV menyebabkan KPI harus melayangkan surat evaluasi izin penyelenggaraan penyiaran,” ujar Danang Sangga Buwana, Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran.

Dalam evaluasi yang akan diberikan oleh KPI nanti terhadap seluruh lembaga penyiaran yang mengajukan perpanjangan izin, aka nada raport terhadap tiap-tiap program. Jika raport berwarna merah, berarti KPI berharap program tersebut dihentikan.JIka raport berwarna kuning, artinya program tersebut harus mendapatkan perhatian khusus untuk diperbaiki lagi. Sedangkan raport yang berwarna hijau menandakan program tersebut aman dan baik.

Di ujung pertemuan, Ketua KPI Pusat mengingatkan kembali pada jajaran CEO dari Viva Group ini tentang amanah frekwensi yang diberikan kepada mereka untuk dikelola dengan benar. “Kita semua berharap, amanah pengelolaan frekwensi oleh TV One dan AN TV ini dapat mendukung bangsa ini ke arah yang lebih baik,” tegas Judha.


Sapto Anggoro memaparkan materi dalam Dialog Publik Menakar Sistem Rating Indonesia (9/10)

Jakarta - Komisi I DPR RI menilai keberadaan lembaga pemeringkat program televisi harus diatur dalam undang-undang penyiaran yang baru. Karenanya, dalam draft undang-undang saat ini tidak menyebutkan pemerintah menjadi penyelenggara pemeringkatan program televisi.  Hal tersebut disampaikan anggota Komisi I DPR RI, Arief Suditomo, dalam acara Dialog Publik “Menakar Sistem Rating Indonesia” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Jakarta, (9/10).

Tentang lembaga rating ini, Arief sepakat bahwa harus ada lembaga rating alternatif. Namun demikian, menurut Arief, yang penting adalah masing-masing pemangku kepentingan penyiaran harus terus bergerak untuk menciptakan program-program yang berkualitas. “Sehingga dapat menunjukkan bahwa kita tidak selalu didikte oleh selera yang rendah,” ujar Arief.

Dalam forum yang membahas soal rating itu, hadir pula Sapto Anggoro sebagai pembicara yang menyampaikan bagaimana isu rating ini berkembang sejak lama. Sapto juga memaparkan tentang jalan yang diambil negara-negara lain dalam menghadirkan rating alternatif.  Sementara itu, Amir Effendi Siregar dari PR2 Media memaparkan tentang mekanisme pengambilan data yang dilakukan oleh lembaga rating. Dari sample yang diambil oleh lembaga tersebut, ujar Amir, terlihat jelas bahwa rating ini didominasi oleh sample dari Jakarta. Hal ini tentu terkait dengan program yang mendapatkan rating tinggi, yang juga bias Jakarta, tambahnya.
Pada kesempatan itu Amir menyatakan bahwa seharusnya lembaga penyiaran publik (LPP) dapat diberdayakan sebagai salah satu cara untuk mengimbangi lembaga penyiaran swasta. Namun sayangnya, ujar Amir, TVRI yang saat ini sebagai lembaga penyiaran publik justru seperti hendak mengikuti jejak lembaga penyiaran swasta.

Tentang LPP ini, Arief sependapat dengan Amir. Menurut Arief, diantara legacy yang ingin ditinggalkan oleh Komisi I adalah memperkuat LPP agar dapat setara dengan industri. Hal ini, ungkap Arief dilakukan dengan cara menyusun undang-undang yang baru tentang LPP, yakni RUU RTRI, serta meningkatkan budget untuk LPP. Terkait hal ini, Arief juga meminta KPI tidak hanya galak pada televisi swasta yang sudah melakukan banyak hal untuk menghidupkan industri penyiaran, tapi juga harus galak pada TVRI yang tidak melakukan apa-apa.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat koordinator bidang kelembagaan Bekti Nugroho memaparkan hasil survey indeks kualitas program siaran periode ketiga yang dilakukan oleh KPI. Bekti berharap, survey yang menghasilkan indeks kualitas program ini dapat dijadikan acuan oleh lembaga penyiaran dalam menilai program siaran yang diproduksinya. Jika dilihat dari hasil survey periode ketiga ini, program-program jurnalistik banyak mendapatkan apresiasi masyarakat, dan dinilai berkualitas. Sementara jika menilik dari data rating yang disampaikan pada pemateri awal, justru program-program berita mendapatkan rating jauh di bawah program non jurnalistik khususnya hiburan. Hal senada juga disampaikan Ketua KPI Pusat Judhariksawan yang mengingatkan kembali tentang kesesuaian program-program siaran dengan tujuan diselenggarakannya penyiaran. Dirinya berharap, lembaga penyiaran menelaah kembali amanat regulasi penyiaran dan tujuan diberikannya pengelolaan frekwensi oleh negara. 


Anggota Komisi I DPR RI Arief Suditomo sebagai narasumber dalam Dialog Publik Menakar Sistem Rating Indonesia, (9/10)

Jakarta - Keberadaan lembaga rating tunggal di Indonesia seharusnya dapat diimbangi dengan digalakkannya program literasi media untuk masyarakat. Mengingat dengan literasi media ini, dapat mengarahkan masyarakat untuk hanya mengonsumsi program-program siaran televisi yang baik dan berguna saja untuk kebutuhan mereka. Hal tersebut terungkap dalam dialog publik yang digagas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan tajuk “Menakar Sistem Rating Indonesia” , (9/10).

Dalam undang-undang penyiaran saat ini,  menyebutkan bahwa kegiatan literasi atau pemantauan lembaga penyiaran dapat dikembangkan oleh organisasi nirlaba, lembaga swadara masyarakat, perguruan tinggi dan kalangan pendidikan. Namun demikian, KPI sebagai salah satu regulator penyiaran juga berkepentingan terhadap program literasi media dalam rangka mencerdaskan masyarakat tentang tayangan media.

Dalam dialog publik yang dihadiri oleh kelompok-kelompok masyarakat serta berbagai pemangku kepentingan penyiaran ini, muncul juga usulan untuk menghidupkan kembali media watch (pemantau media) melalui kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. “KPI harus bersinergid engan organisasi masyarakat sipil dalam memantau tayangan media,” usul Reni Hutabarat yang merupakan perwakilan dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI).  Hal ini juga disetujui oleh perwakilan dari Universitas Indonusa Esa Unggul yang meminta KPI membina media watch (pemantau media) baik yang ada di masyarakat ataupun di kampus-kampus. Menurut Abdul Rahman dari UEA, sebelumnya media watch sudah ada, namun kurangnya dukungan anggaran untuk riset dan penelitian, menyebabkan kelompok-kelompok pemantau media ini tidak aktif lagi.

Anggota Komisi I DPR RI Arief Suditomo yang hadir sebagai pembicara dalam dialog ini menyambut baik usulan tentang media watch dan literasi media. “Harus ada media diet movement,” ujar Arief.  Dirinya menilai dari gerakan diet media ini dapat muncul rilis-rilis mengenai tayangan-tayangan mana saja yang bagus dan aman dikonsumsi semua umur. Sehingga masyarakat mendapatkan panduan tentang klasifikasi tayangan yang baik dan buruk. Bagaimanapun juga, ujar Arief, menonton televisi pun perlu tuntunan.  Namun demikian, Arief menilai mengenai media watch ini, KPI sudah melakukan gerakan penyadaran di masyarakat.

 


Jakarta - Program acara Talk Show seharusnya menarik bagi pemirsa, program yang mengedepankan Talk-nya ketimbang Show. Benar-benar acara yang menghadirkan dialog yang menarik, relevan, dan mendalam atas tema yang dibahas. 

"Harapannya, programnya bisa memadukan dan penyeimbang antara memenuhi keinginan dan kebutuhan pemirsa," kata Najwa Shihab dalam paparan materi pengantar Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) Angkatan V, di Ruang Rapat KPI Pusat, Selasa, 6 Oktober 2015.

Kedatangan pembawa acara "Mata Najwa" di Metro TV itu atas undangan KPI untuk berbagi pengalaman kepada peserta Sekolah P3SPS. Menutut Najwa, selama 15 tahun menjadi jurnalis televisi, ia mendapatkan proses dari berbagai peristiwa yang telah diliput hingga dipercaya untuk memiliki program acara "Mata Najwa". 

Najwa mengenang, enam tahun silam, mulanya ia ragu dengan program acara Talk Show yang bertema politik dan hukum. Ragu akan jenis penonton yang ingin disasar, ragu atas tanggapan para pengiklan jika nanti sudah berjalan. Setelah menjalankan sejumlah diskusi dan riset, Najwa menjelaskan, program acara yang akan dibuat ingin menyasar anak muda sebagai penonton. Namun, menurutnya saat itu tantangannya berat, karena jam tayangnya pukul 21.30 WIB.

"Dalam episode awal kami datangkan Raditya Dika yang kami anggap sebagai ikon anak muda. Terus ada dengan Butet Kertaradjasa untuk parodi politik. Namun ternyata kami sadar, kami tidak bisa menempel pada ikon-ikon itu," ujar Najwa. Pada sesi awal-awal tayang "Mata Najwa", dalam penuturan Najwa, ia kerap menerima kritik dari teman dekat hingga penonton. Dianggap tidak sesuai dengan passion-nya yang terbiasa sebagai pembawa berita dan dialog-dialog yang mendalam.

Najwa yakin, sasaran penonton anak muda membutuhkan pendekatan yang berbeda, tidak hanya asal lucu dan ringan semata, juga membutuhkan perencanaan yang matang, riset yang mendalam dan detail saat ditayangkan.  Ia menjelaskan, dari sepuluh orang untuk tim “Mata Najwa”, empat orang dikhususkan melakukan riset untuk seluruh kebutuhan acara.

Dalam perjalanannya, menurut Najwa, perkembangan anak muda Indonesia juga mengalami pergeseran. “Ternyata dalam proses episode-episode kami setelah itu, dari riset dan respon yang kami terima, anak muda sekarang itu ingin ditantang lebih kritis, bisa meyakinkan mereka antara isi dan konteks, butuh disemangati, gila role model dan selalu merasa butuh panutan,” kata Najwa.

Maka tidak mengherankan, menurut Najwa, programnya mendapat respon yang tinggi dari kalangan muda, bahkan dalam setiap episode mendapat apresiasi dan antusias tinggi dari mahasiswa saat membuat program acara langsung di kampus-kampus.  Meski begitu, era teknologi saat ini membuat penonton dan program acaranya semakin dekat, semakin banyak yang mengawasi.

“Selain ada KPI, Dewan Pers, penonton sekarang bisa langsung protes saat acara berlangsung di layar, melalui media sosial. Bagi kami, sangat rugi kalau hal itu tidak dikelola, apalagi dalam era konvergensi saat ini. Ke depan, penonton televisi akan semakin berkurang, dan pengguna internet bertambah, tapi kebutuhan dalam bentuk visual tidak akan tergantikan,” ujar Najwa. 

Terkait dengan pengawasan isi siaran televisi, menurut Najwa, kebebasan juga memerlukan aturan main. Menurutnya, penyiaran masih membutuhkan aturan dan pengaturan lainnya, karena terkait dengan tanggung jawab pekerja televisi atas program yang ditayangkan dan dampak besar yang bisa ditimbulkan.

Usai paparan, Najwa mempersilahkan peserta untuk bertanya dan saling bertukar pengalaman dalam bentuk dialog non-formal. 

Sekolah P3SPS Angkatan V diikuti 33 peserta dari berbagai Lembaga Penyiaran dan masyarakat umum. Acara berlangsung selama tiga hari ke depan dengan materi mencakup seluruh elemen dalam P3SPS dan peraturan penyiaran yang diisi oleh Komisioner KPI Pusat.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.