Gorontalo - Dalam peraturan perundang-undangan tentang penyiaran, lembaga penyiaran wajib untuk menyiarkan program lokal sebanyak 10 persen dari total durasi siaran. Jika hal itu tidak dilakukan, maka masyarakat dapat mengadukannya kepada Komisi Penyiaran. Hal itu disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Judhariksawan, dalam pembukaan Gorontalo Broadcasting Expo (GBX) 2015.  Kegiatan yang dilaksanakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo mengambil tema "Local Content on Digital Age". Acara ini juga menjadi ajang sosialisasi program lokal dari lembaga penyiaran, kepada masyarakat di Gorontalo.

Expo lembaga Penyiaran yang pertama kali dilakukan didaerah ini, dibuka oleh Wakil Gubernur Gorontalo, Dr. H. Idris Rahim, MM. " Bagi kami, pemerintah daerah, siaran lokal haruslah menjadi prioritas bagi orang-orang lokal. Desentralisasi penyiaran, sebagai amanah undang-undang 32 tentang penyiaran, sangatlah jelas, bahwa informasi lokal menjadi sangat penting untuk diperhatikan, oleh lembaga penyiaran serta kita semua,” ujar Idris.

Sementara itu, Rektor Universitas Gorontalo, Prof. Dr. Syamsu Q. Badu, menyambut baik pelaksanaan GBX 2015 di Universitas yang dipimpinnya. "Kampus kami selalu terbuka untuk program kemitraan sebagai bentuk tridharma perguruan tinggi. Saya mengapresiasi apa yang dilakukan Fakultas Ilmu Sosial. Bahwa sistem penyiaran di Indonesia, perlu dikenal bukan hanya dilayar kaca, akan tetapi bertatapan langsung dengan mahasiswa. Ini adalah sesuatu yang baru dan pertama kali di Gorontalo. Saya bangga itu dimulai dari Universitas Negeri Gorontalo"

Dalam welcome speech-nya, KPID Gorontalo yang diwakili Mohamad Reza, mengakui bahwa GBX 2015 adalah merupakan duplikasi Indonesia Broadcasting Expo (IBX) dalam skala yang lebih lokal. "GBX ini idenya dari IBX di Bandung. Kami kemudian berpikir, akan lebih baik jika ini dilakukan dalam skala lokal, apalagi saat ini KPI sedang melaksanakan penegakan konten lokal 10 persen"

"Karena komitmen siaran lokal itulah, kami mengajak kampus untuk membantu mensosialisasikan ke seluruh komponen masyarakat bahwa siaran lokal wajib masuk ruang publik kita di Gorontalo. KPID tidak boleh sendirian, harus ada dukungan semua pihak agar siaran lokal bisa menjadi kewajiban yang dijalankan dengan benar,” ujar Reza.

Gorontalo Broadcasting Expo dilaksanakan selama 3 sejak 28 - 30 April 2015. diikuti oleh 11 lembaga penyiaran masing-masing, MNc TV, RCTI, Global TV, iNews TV, SCTV, Kompas TV, ANTV, TransTV, GPTV, Jambura TV dan Anugrah TV. Expo ini juga diikuti oleh Pemerintah daerah Pohuwato, Bonebolango dan PIAD provinsi Gorontalo.

Jakarta - Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi mulai diselenggarakan secara marathon di sembilan perguruan tinggi negeri di sembilan kota. Ke-sembilan tempat itu adalah Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan, Universitas Airlangga di Surabaya, Universitas Islam Negeri (UIN) di Jakarta, Universitas Hasanuddin di Makassar, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta, Universitas Udayana di Bali, Universitas Diponegoro di Semarang, Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon di Ambon.  Rektor Universitas Lambung Mangkurat Prof Sutarto Hadi mengatakan, program siaran di televisi kini semakin memprihatinkan karena hanya mengacu pada rating dibanding kualitasnya. Padahal, ujar Sutarto, tidak semua siaran yang banyak penontonnya itu baik bagi masyarkat apalagi perkembangan anak. Hal tersebut disampaikannya dalam pembukaan pelatihan Survey Indeks Kualitas Program Siaran yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin (23/4).

Secara khusus, Sutarto menyayangkan penyusunan program siaran dari lembaga penyiaran yang hanya didasari pada nilai rating, bukan pada kualitasnya. Untuk itu, dirinya menilai keberadaan survey kepemirsaan yang digagas KPI ini akan memberi penilaian yang berbeda terhadap program siaran yang ditayangkan stasiun televisi. Sutarto berharap, hasil survey kepemirsaan ini dapat dijadikan acuan oleh lembaga penyiaran untuk memperbaiki kualitas siaran yang ada. “Sehingga fungsi pendidikan yang disematkan pada lembaga penyiaran, dapat dirasakan masyarakat,” tambahnya.

Sementara itu dalam pelaksanaan survey di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta (28/4), Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Rahmat Arifin mengatakan bahwa kementerian Komunikasi dan Informasi telah lama menyampaikan keprihatinannya tentang program-program siaran televisi yang kualitasnya rendah dan tidak mendidik namun ratingnya tinggi. Hal ini menyebabkan acara-acara tersebut mampu bertahan lama karena peminat iklannya tinggi. Setelah dicari tahu, penyebabnya adalah survey yang dilakukan lembaga survey, tidak dilakukan secara representatif dan sesuai dengan keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Misalnya, lembaga survey hanya mengambil sampel kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah, tidak berkarier dan sebagainya. Namun hasil dari lembaga survey yang sampai saat ini masih dimonopoli oleh satu lembaga inilah yang dijadikan acuan dari seluruh lembaga penyiaran, khususnya televisi.

Dalam kesempatan itu, Wakil Dekan III Fakultas Sosial Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra menambahkan, bahwa saat ini masyarakat dihadapkan pada pertelevisian yang  menciptakan kebutuhan palsu, menciptakan rasa lelah atau jenuh informasi, menciptakan kontrol palsu dan menciptakan kecenderungan untuk meyakini realitas bagaimana yang dikonstrukkan oleh media. Iswandi menilai, forum-forum seperti ini dimaksudkan untuk menggugah sikap kritis publik terhadap siaran-siaran televisi yang rendah kualitasnya. Sementara, dimata Iswandi, program televisi dikatakan berkualitas bila mengandung unsur Benar, Baik dan Bermanfaat sesuai kebutuhahan dan kepentingan berdasarkan prinsip kemanusiaan.

Dalam Pelaksanaan survey ini, KPI dan KPI Daerah bekerjasama dengan sembilan perguruan tinggi di sembilan provinsi ini mengikutsertakan jajaran pengurus pusat Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI). KPI berharap, survey kepemirsaan yang digelar ini dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai selera masyarakat Indonesia dan penilaiannya terhadap program-program siaran televisi yang ada saat ini. Salah satunya dengan melibatkan responden survey dari kalangan yang lebih variatif, dan sebaran provinsi yang mengikutsertakan  tiga wilayah di Indonesia, Ambon (Indonesia Timur), Bali dan Banjarmasin (Indonesia Tengah), dan sisanya dari wilayah Indonesia Barat. Selain itu, survey indeks kualitas program siaran televisi ini akan diselenggarakan selama lima kali sepanjang tahun 2015. Ketua KPI Pusat, Judhariksawan berharap, hasil dari survey yang digelar KPI ini dapat memberikan alternatif bagi lembaga penyiaran, serta para pemasang iklan di televisi, mengenai kualitas program-program siaran yang ada sekarang. “KPI berharap para pemasang iklan juga menyadari kontribusinya merawat bangsa ini dengan hanya memasang iklan di program-program yang berkualitas baik. Sehingga program-program dengan kualitas rendah, sebanyak apapun penontonnya, tidak akan bertahan lama di layar kaca,” pungkas Judha.

Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendukung penguatan kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam revisi undang-undang penyiaran yang tengah dibahas oleh Komisi I DPR-RI. Hal tersebut disampaikan Ketua AJI, Suwarjono, dalam audiensi  dengan KPI Pusat bersama jajaran pengurus AJI yang baru saja terpilih, (28/4).

Menurut Suwarjono, peran KPI bukanlah sekedar pemberi peringatan kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran. “KPI harus lebih dari itu,” ujarnya. Karenanya, Suwarjono mendukung program Survei Kepemirsaan KPI yang akan menjadi penyeimbang dominasi lembaga rating saat ini, Nielsen.

Dalam pertemuan tersebut, diakui oleh AJI bahwa industri penyiaran saat ini sangat tergantung dengan report (laporan) dari Nielsen yang datang setiap hari.  Karenanya perlu terobosan yang luar biasa, untuk memutus ketergantungan dengan lembaga rating tunggal yang memberikan penilaian secara kuantitatif.

Pada kesempatan itu, koordinator bidang kelembagaan KPI Pusat, Bekti Nugroho menyampaikan perhatian KPI terhadap revisi undang-undang penyiaran. Menurut Bekti, revolusi mental yang diusung oleh Presiden saat ini harusnya memberikan perhatian besar pada dunia penyiaran. “Jika KPK bekerja pada bagian hulu, KPI justru bekerja pada bagian hilir,” ujarnya. Mental masyarakat, terutama generasi muda bangsa ini dipengaruhi dengan muatan yang ada di layar kaca, televisi. “Karena KPI adalah satu-satunya lembaga yang punya kewenangan mengatur penyiaran, maka harus ada kemauan politik yang besar dari pemerintah dalam menguatkan KPI untuk menata dunia penyiaran,” terang Bekti.

Dirinya memaparkan pula tentang regulator penyiaran di luar negeri yang memiliki kewenangan kuat. Usulan konkrit KPI dalam revisi undang-undang penyiaran adalah pembagian kewenangan perizinan. Perizinan frekuensi tetap ditangani oleh pemerintah, sedangkan izin siaran ditangani oleh KPI.

Di akhir pertemuan, AJI menyarankan agar KPI terus mendesak DPR untuk menyelesaikan revisi Undang-undang Penyiaran. “Jika undang-undang penyiaran belum rampung, maka beberapa rancangan undang-undang yang masih terkait penyiaran seperti RUU Radio/Televisi Republik Indonesia (RTRI) juga terhambat,” kata Suwarjono. Sekalipun RUU Penyiaran sudah masuk Prolegnas, namun AJI menilai, DPR tetap membutuhkan dorongan dan desakan publik agar tahun ini Undang-undang Penyiaran yang baru dapat disahkan.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menerima kunjungan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Padang (UNP) dalam rangka belajar tentang penyiaran dan untuk mengetahui secara langsung sistem kerja pemantauan program acara dari Lembaga Penyiaran. Acara berlangsung pada, Selasa, 28 April 2015 di Ruang Rapat KPI Pusat, Jakarta yang diikuti oleh 50 mahasiswa dan empat dosen pembimbing.

Dosen pembimbing yang hadir dalam kunjungan itu Nova Eka Putri mengatakan, kunjungan itu bertujuan mengenalkaan mahasiswanya tentang penyiaran, khususnya perkembangan bidang komunikasi yang dinamis. Menurutnya, kunjungan itu untuk pengenalan tentang KPI dan diharapkan membuka wawasan mahasiswa, bahwa informasi yang disampaikan oleh Lembaga Penyiaran memiliki dampak yang siginifikan terhadap masyarakat dan diawasi oleh lembaga negara yang merupakan representasi dari publik.

Kunjungan diterima oleh Asisten Bidang Kelembagaan KPI Pusat Achmad Zamzami dan Koordinator Pemantauan dan Monitoring, Bagian Isi Siaran KPI Pusat R. Guntur Karyapati. 

Zamzami menjelaskan sejarah berdirinya KPI yang terbentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Menurut Zamzami, dalam peraturan itu wewenang KPI meliputi pengaturan penyiaran yang diselenggarakan Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Berlangganan, dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Bidang kerja itu diwadahi dalam bentuk bentuk bidang-bidang kerja di KPI Pusat yakni, Bidang Kelembagaan, Bidang Isi Siaran, dan Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran.

Menurut Guntur, dalam menjalankan pengawasan terhadap Lembaga Penyiaran, KPI menggunakan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Saat ini, menurut Guntur, KPI mengawasai siaran dari Lembaga Penyiaran berjaringan nasional sedangkan Lembaga Penyiaran Lokal diawasi oleh KPI daerah yang sudah ada di 33 provinsi di Indonesia.

Lebih lanjut Guntur menjelaskan, dalam pengawasan program siaran Lembaga Penyiaran, KPI memiliki tenaga khusus dengan sistem bergantian. Saat ini, tenaga pemantauan KPI sudah bisa melakukan pemantauan selama 24 jam, khususnya untuk berjaringan nasional.

"Siaran-siaran yang dianggap melanggar P3SPS akan ditandai diproses oleh tenaga pemantauan untuk diteruskan ke tim editing agar menyiapkan bukti rekaman," kata Guntur. Kemudian, menurutnya, bahan itu dibahas dalam rapat tenaga ahli untuk melihat jenis pelanggaran, apakah melanggar atau tidak, hingga penentuan jenis sanksi, terakhir diteruskan dalam rapat pleno komisioner sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan.

Program acara yang melanggar, menurut Guntur, akan diberikan sanksi sesuai ketentuan dalam P3SPS. Mulai dari sanksi administrasi, pembinaan, pengurangan durasi, penghentian sementara, dan penghentian langsung oleh Lembaga Penyiaran yang bersangkutan. "Sanksi dan pemberitahuan atas program acara kami sampaikan langsung ke Lembaga Penyiaran. Kemudian kami publikasi melalui media atau website KPI. Silahkan detailnya bisa langsung diakses," kata Guntur. 

Guntur menerangkan, walaupun memiliki sistem pemantauan sendiri, KPI juga menerima aduan dari masyarakat atas siaran atau program acara Lembaga Penyiaran. "Di sinilah kita melibatkan peran serta masyarakat, bahwa mengawasi siaran dan program acara dari Lembaga Penyiaran adalah tugas kita bersama. Jalur aduan publik kita buka lebar, mulai dari telepon, email, datang langsung atau tatap muka, Facebook, dan Twitter," ujar Guntur.

Setelah diskusi dan tanya jawab seputar penyiaran dan tugas serta wewenang KPI, kunjungan diakhiri dengan melihat langsung proses pemantauan dan ruang perekaman dan editing KPI.

Jakarta – KPI Pusat menginginkan tayangan yang tidak pantas dan bertentangan dengan etika jurnalistik dalam program pemberitaan di sejumlah televisi dihilangkan. Keinginan ini sesuai dengan prinsip jurnalistik yakni memberikan edukasi yang baik serta aman untuk publik.

Dalam pertemuan yang dihadiri pimpinan dan perwakilan bagian redaksi beberapa stasiun televisi, Senin, 27 April 2015, Komisioner KPI Pusat, S. Rahmat Arifin mengungkapkan sejumlah tayangan yang dinilai melanggar dalam program jurnalistik di beberapa stasiun televisi. Pelanggaran dilakukan dalam kategori mengerikan dan mengadung unsur destruktif.

“Tayangan bagi korban kekerasaan seksual harus wajib disamarkan baik wajah maupun indentitasnya pribadi, sosial maupu keluarga. Tindakan ini berlaku tidak hanya untuk kasus anak-anak saja tapi juga dewasa. KPI sangat perhatian untuk kasus seperti ini dan dengan tegas melindungi setiap korban tersebut,” kata Rahmat.

Contoh lain kata Rahmat tayangan perusakan terhadap barang atau apapun, tindak kekerasaan orang lain, kejadian atau kecelakaan yang menimbulkan kengerian, serta klip-klip video yang di dalamnya terdapat unsur ketidakpantasan harus mendapat perhatian untuk dihilangkan.

“Sekarang mulai muncul video klip usai acara berita. Memang klip ini untuk mengisi waktu jeda sebelum masuk ke program acara berikutnya. Tapi tolong diperhatikan dan teliti dengan video klip tersebut karena dihawatirkan berisi adegan yang tidak pantas,” jelasnya.

Terkait kekhawatiran KPI soal adegan kekerasaan yang bersifat desktruktif salah satu perwakilan dari Redaksi TV meminta kejelasan batasan yang tidak boleh dan boleh di tayangkan. Pasalnya, tayangan yang didapat adalah fakta dan itu diperlukan dalam pemberitaan. “fakta yang ada kan harus ditampilkan untuk melihat kebenarannya,” katanya.

Rahmat menanggapi bahwa tayangan yang mengandung unsur destruktif memiliki pengaruh terhadap publik karena ada anggapan hal itu sebagai suatu hal yang lumrah. “Kita khawatir jika tayangan perusakan gedung, mobil atau yang lain dianggap sesuatu lumrah oleh masyarakat. Kita tidak ingin ini ditiru,” katanya khawatir.

Meskipun begitu, Rahmat tidak menutup kemungkinan tayangan seperti itu ditampilkan dengan mempertimbangkan seberapa besar intensitas kekerasaannya dan juga durasinya secara terbatas dan diedit begitu juga dengan angle kamera sehingga tidak eksplisit. “Kami melihat kondisi seperti ini sesuai dengan Pasal 23 di SPS,” jelas Rahmat sembari menyebutkan pentingnya Sekolah P3SPS untuk menyamakan pandangan terhadap P3 dan SPS KPI tahun 2012. ***



















































 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.