- Detail
- Dilihat: 4834
Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendukung penguatan kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam revisi undang-undang penyiaran yang tengah dibahas oleh Komisi I DPR-RI. Hal tersebut disampaikan Ketua AJI, Suwarjono, dalam audiensi dengan KPI Pusat bersama jajaran pengurus AJI yang baru saja terpilih, (28/4).
Menurut Suwarjono, peran KPI bukanlah sekedar pemberi peringatan kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran. “KPI harus lebih dari itu,” ujarnya. Karenanya, Suwarjono mendukung program Survei Kepemirsaan KPI yang akan menjadi penyeimbang dominasi lembaga rating saat ini, Nielsen.
Dalam pertemuan tersebut, diakui oleh AJI bahwa industri penyiaran saat ini sangat tergantung dengan report (laporan) dari Nielsen yang datang setiap hari. Karenanya perlu terobosan yang luar biasa, untuk memutus ketergantungan dengan lembaga rating tunggal yang memberikan penilaian secara kuantitatif.
Pada kesempatan itu, koordinator bidang kelembagaan KPI Pusat, Bekti Nugroho menyampaikan perhatian KPI terhadap revisi undang-undang penyiaran. Menurut Bekti, revolusi mental yang diusung oleh Presiden saat ini harusnya memberikan perhatian besar pada dunia penyiaran. “Jika KPK bekerja pada bagian hulu, KPI justru bekerja pada bagian hilir,” ujarnya. Mental masyarakat, terutama generasi muda bangsa ini dipengaruhi dengan muatan yang ada di layar kaca, televisi. “Karena KPI adalah satu-satunya lembaga yang punya kewenangan mengatur penyiaran, maka harus ada kemauan politik yang besar dari pemerintah dalam menguatkan KPI untuk menata dunia penyiaran,” terang Bekti.
Dirinya memaparkan pula tentang regulator penyiaran di luar negeri yang memiliki kewenangan kuat. Usulan konkrit KPI dalam revisi undang-undang penyiaran adalah pembagian kewenangan perizinan. Perizinan frekuensi tetap ditangani oleh pemerintah, sedangkan izin siaran ditangani oleh KPI.
Di akhir pertemuan, AJI menyarankan agar KPI terus mendesak DPR untuk menyelesaikan revisi Undang-undang Penyiaran. “Jika undang-undang penyiaran belum rampung, maka beberapa rancangan undang-undang yang masih terkait penyiaran seperti RUU Radio/Televisi Republik Indonesia (RTRI) juga terhambat,” kata Suwarjono. Sekalipun RUU Penyiaran sudah masuk Prolegnas, namun AJI menilai, DPR tetap membutuhkan dorongan dan desakan publik agar tahun ini Undang-undang Penyiaran yang baru dapat disahkan.