Makassar - Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendesak pemerintah mengkaji ulang peraturan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terkait tarif dan biaya hak pengunaan spektrum frekuensi radio yang digunakan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK). Mengingat LPK merupakan entitas penyiaran non komersil dengan wilayah layanan yang hanya mencapai 2,5 kilometer, yang berbeda dengan entitas penyiaran lainnya, terutama lembaga penyiaran swasta. KPI berharap, biaya yang dibebankan pada LPK harus lebih sedikit dibanding biaya pada LPS. Hal tersebut merupakan salah satu rekomendasi Rakornas KPI 2015, yang ditetapkan bersama seluruh anggota KPI dan KPI Daerah se-Indonesia.

Rekomendasi lain yang ditetapkan dalam Rakornas di Makassar kali ini adalah peraturan KPI tentang persyaratan program siaran dalam perizinan dan penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). Aturan ini dirumuskan KPI guna menjamin kepentingan publik tidak dirugikan oleh penyelenggaraan penyiaran. Aturan tentang LPB ini bersifat teknis dan operasional, dan diharapkan mampu mendorong pengurusan izin, mengingat hingga saat ini masih banyak LPB yang  digelar tanpa izin. Selain itu, dengan peraturan ini, LPB diharapkan lebih selektif dalam menyalurkan program yang sesuai dengan budaya ketimuran di Indonesia. Sehingga siaran di LPB ini bebas dari muatan kekerasan, pornografi dan pelanggaran terhadap perlindungan anak.

Sedangkan terkait penyiaran digital, Rakornas KPI juga mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk memberi kepastian hukum terhadap kelanjutan proses pelayanan perizinan bagi pemohon Izin Penyelenggaran Penyiaran (IPP) TV Digital yang sudah sesuai dengan peluang penyelenggaraan penyiaran.

Rakornas KPI merekomendasikan perubahan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Perlindungan kepentingan publik
  2. Penghormatan terhadap hak privacy
  3. Perlindungan kepada anak
  4. Pelarangan dan pembatasan seks
  5. Pelarangan dan pembatasan kekerasan
  6. Pelarangan dan pembatasan program siaran bermuatan mistik, horor, dan supranatural
  7. Penggolongan program siaran
  8. Program siaran jurnalistik
  9. P3 dan SPS Lembaga Penyiaran Berlangganan (konten)
  10. Siaran Iklan
  11. Hukum Acara

KPI juga menegaskan bahwa penyiaran merupakan ranah publik, sehingga pengaturan dan penegakan hukumnya tetap berada pada lembaga negara yang mewakili publik, yakni KPI Pusat dan KPI Daerah. Terkait revisi undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, Rakornas KPI menetapkan untuk melakukan penguatan kelembagaan KPI dengan mengawal perubahan undang-undang tersebut. Diantaranya dengan menguatkan kewenangan KPI untuk penyelenggaraan penyiaran, membentuk tim khusus terdiri atas KPI Pusat dan perwakilan seluruh KPI daerah untuk menyusun draf usulan KPI terhadap rancangan undang-undang penyiaran, serta menambah jumlah wilayah penelitian “Rating Publik: Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi” , menjadi 18 (delapan belas) provinsi di tahun 2016.

Makassar - Dalam rangkaian acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI, 2015 juga diselenggarakan Talk Show dengan tema "Meneguhkan Penyiaran Indonesia Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN". Pembicaranya, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Ketua KPI Pusat Judhariksawan, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Suryopratomo, dan Ridho Eisydari Dewan Pers. Acara Talk Show Rakornas 2015 itu disiarkan langsung oleh TVRI Nasional dan dipandu oleh pembawa acara Brigita Manohara.

Dalam penjelasannya, Menteri Kominfo Rudiantara mengatakan banyak pekerjaan rumah yang harus siapkan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku pada akhir tahun ini. "Pertama tekhnologi, soal digitalisasi, broadband. Kedua, dari sisi regulasi juga harus segera selesaikan. Alhamdulillah tahun 2015 UU Penyiaran akan diselesaikan karena sudah masuk prolegnas DPR RI. Ketiga, SDM," kata Rudiantara di Makassar, Senin, 31 Maret 2015. 

Menurut Rudiantara, bahasan tentang penyiaran berarti berbicara tentang konten dan kreativitas. Hal yang tidak kalah penting untuk meningkatkan dua hal itu, menurut Rudiantara, dengan dibuatnya sertifikasi SDM terkait penyiaran itu sendiri. "Kesiapan Indonesia dalam kancah ASEAN, kita tidak ada masalah dalam hal regulasi, yang jadi masalah adalah SDM itu sendiri," ujar Rudiantara.

Dalam persaingan penyiaran negara-negara ASEAN nanti, Indonesia harus memiliki strategi, dengan strategi budaya kalau tidak mau hanya dijadikan pasar konten asing. Menurutnya, pengembangan konten berbasiskan budaya dapat mengimbangi persaingan itu. Namun yang tidak kalah penting adalah pengembangan sumber manusia penyiaran itu sendiri. 

Berbeda dari Rudiantara, dalam melihat MEA  Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq memiliki acuan yang berbeda dalam persiapannya. Menurut Mahfudz MEA bisa dilihat sebagai konsep proteksi yang bisa dinilai sebagai sebagai peluang atau tatanan. Dari perkembangan nasional, menurut Mahfudz, perlu dilihat keunikan apa yang bisa kembangkan. 

"Kita harus selesaikan pekerjaan rumah kita. Pada pertemuan DPR negara-negara Asean di DIY 2015 lalu, sudah sepakat starting poin adalah melakukan migrasi dari penyiaran analog ke digital harus segera diselesaikan. Ini berarti yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah regulasi," kata Mahfud.

Untuk mencapai langkah itu, menurut Mahfudz, hal yang segera yang akan dilakukan adalah melihat subtansi dari UU Penyiaran dan meletakkan payung hukum digitalisasi itu sendiri. "Dalam pembuatan regulasi, kita seringkali tidak melakukan pemetaan secara menyeluruh, tapi di sisi lain kita bicara investasi. Begitu ada pengembangan industri, ada perubahan regulasi. Di satu sisi saya melihat kepastian hukum itu penting, semakin kuat derajat regulasi, maka kepastian hukum semakin tinggi. Memang itu jadi celah dalam Permen (Digital), tetapi kepastian hukum lebih kuat kalau diatur dengan Undang-undang," ujar Mahfudz.

Menurut Mahfudz, kelemahan regulasi yang tidak dilakukan dengan kajian dan pemetaan yang komprehensif akan menimbulkan celah di kemudian hari. Padahal menurutnya, dalam waktu yang bersamaan, kepastian hukum harus diwujudkan, sementara industri bergerak. Itulah alasan Mahfudz, kepastian hukum harus diperkuat di tingkat Undang-Undang. "Mudah-mudahan 2015 revisi Undang-undang Penyiaran selesai," ujarnya.

SDM Penyiaran Lokal

Bila dalam jelang akhir tahun ini MEA akan mulai berlaku, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengingatkan perlunya melihat kondisi SDM penyiaran lokal. Menurutnya, dalam hal penyiaran itu tidak bisa hanya melihat Pulau Jawa dalam hal SDM, juga dari Sabang sampai Merauke. 

"Yang harus disadari bahwa SDM adalah tumpuan kita. Kita akan tertinggal jika SDM kita tertinggal. Oleh karena ini di sinilah pentingnya SOP penyiaran dan standar lainnya harus punya standarisasinya. Pembinaan dan sistemnya harus menjadi rekayasa Negara," kata Syahrul.

Lebih lanjut Syahrul menjelaskan, kepentingan nasional menghadapi MEA membutuhkan motivasi yang kuat dan paradigma baru. Syahrul menyatakan, harus didasari semua pihak, terkadang media menjadi persoalan. Ia mencontohkan bagaimana Metro TV dan TV One yang memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat dan memberitakan sebuah persoalan dalam ranah publik. Dalam konteks itu, menurut Syahrul, solusi untuk semua itu adalah perlunya standarisasinya dan aturan main yang jelas.

Dari sisi perkembangan penyiaran daerah, Syahrul menjelaskan, saat ini Sulawesi Selatan perkembangannya sangat akseleratif. Hampir semua punya siaran lokal. Menurutnya, KPID Sulawesi Selatan diberikan dukungan dalam menjalankan tugasnya, dan pihaknya melakukan sinergi dengan perguruan tinggi dan masyarakat. Namun ia menyayangkan siaran nasional banyak mengambil alih siaran daerah dan isi siarannya lebih banyak untuk kepentingan untuk kepentingan masyarakat di Pulau Jawa. 

Hal senada juga dikemukakan Ketua KPI Pusat, dalam bidang penyiaran SDM adalah salah satu bagian yang penting di dalamnya, apalagi dalam persiapan menghadi MEA. Namun, yang tidak perlu dilupakan, menyelesaikan masalah SDM penyiaran bukan hanya dengan dengan adanya standar kompetensi atau hard skill semata, tapi juga perlunya pembentukkan soft skill di dalamnya, salah satunya perlunya wawasan kebangsaan yang dimiliki pekerja penyiaran akan berpengaruh besar dalam proses karya dan produksi program siarannya nanti.

Dalam menghadapi MEA, Judhariksawan mengingatkan, KPI adalah refresentasi dari publik. Dalam konteks ketahanan nasional, KPI berperan dalam hal penyiaram dalam mencerdasakan bangsa, penyiaran yang sejalan dengan budaya dan ideologi, dan hal lainnya harus persiapkan.

MEA dalam Sudut Pandang Lain

Perwakilan ATVSI Suryopratomo memiliki pandangan berbeda dalam melihat MEA. Menurutnya, MEA bukanlah kompetisi atau saling mengalahkan antarnegara ASEAN, namun cita-cita menjadikan ASEAN sebagai pemain penting dalam kancah global.

"Saat bicara MEA ada mitos yang kuat. Di sana ada 10 negara, kompetisi, kalau seperti itu, Indonesia pasti kalah. Yang dimaksud MEA ASEAN itu menjadi single market. Daya saing ASEAN kuat. ASEAN bisa makmur. ASEAN jadi pemain global," kata Suryopratomo.

Salah kaprahnya tentang MEA yang hanya berfokus pada melihatnya sebagai persaingan semata, menurut pria yang kerap dipanggil Tomy ini mengatakan, karena selama ini media tidak pernah mengedukasi publik tentang MEA itu sendiri. 

"Kalau kita pelajari akan berlakunya MEA pada Januari 2016, jenis profesi yang akan dibuka ada 19 profesi, di antaranya perawat, dokter dokter gigi, arsitek, dll. Penyiaran tidak ada. Kalau secara bidang, yakni bidang jasa, ada bidang bisnis, komunikasi, konstruksi, keuangan, lingkungan hidup, pariwisata, bidaya dan olah raga. Penyiaran 1 januari 2016 akan sama seperti sekarang, tertutup untuk negara lain," ujar Tomy.

Walaupun demikian, menurut Ketua KPI Pusat, dengan berlakunya MEA dengan sendirinya telah  membuat adanya tantangan dalam bidang penyiaran. "Saya tidak persoalkan profesi yang dikatakan tadi. Tapi kita bayangkan 1 Januari 2016, arus manusia yang masuk akan sedemikian rupa. Belum masuk MEA saja, penyiaran kita berisi hal yang tidak mencerdaskan dan tidak membentuk karakter bangsa. Pertanyaannya, 1 Januari 2016 pergaulan masyarakat kita akan terpengaruh dengan masyarakat warga negara lainnya. Kalau dikatakan Indonesia belum siap? Maka apakah media lebih siap menghadapi publik yang seperti itu?" kata Judhariksawan.

Makassar - Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2015 dibuka Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara. Menurutnya Rakornas KPI adalah forum strategis yang membahas isu dan kebijakan penyiaran Indonesia.

"Dalam waktu dekat ini ada beberapa hal yang akan kita hadapi, pertama tentang hubungan pemerintah dengan KPI maupun KPID, Revisi UU Penyiaran yang tahun ini masuk Prolegnas. Kedua, tentang perpanjangan izin penyiaran. Saya ingin dalam proses perpanjangan nanti, hal-hal yang subtansial disiapkan Lembaga Penyiaran sebelum izin perpanjangan," kata Rudiantara dalam pembukaan Rakornas 2015 di Makassar 2015, Selasa, Maret 2015.

Lebih lanjut Rudiantara menjelaskan, proses perpanjangan perizinan Lembaga Penyiaran adalah proses yang startegis. Menurutnya pada pertengahan 2016 nanti beberapa Lembaga Penyiaran akan ada perpanjangan izin siaran. Namun setahun sebelumnya harus dilakukan beberapa tahapan yang menyertakan KPI dan Kominfo.

Namun menurut Rudiantara, izin perpanjangan yang didapatkan Lembaga Penyiaran diproses oleh Kemenkominfo. Meski begitu ia berjanji, dalam proses perizinan nanti, hubungan Kominfo dengan KPI akan lebh ketat dalam melakukan seleksi proses semua tahapan dan kedua pihak akan duduk bersama untuk menyiapkan konsep secara matang. Rudianatara berharap Rakornas menghasilkan rancangan strategis terkait UU Penyiaran. 

Sementara itu, sambutan Ketua KPI Pusat menjelaskan agenda penting Rakornas 2015, yakni tentang revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), Penataan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), digitalisasi penyiaran dan rencana revisi UU Penyiaran. 

Rakornas 2015 mengusung tema, " Meneguhkan Penyiaran Indonesia Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN". Menurut Judhariksawan, tema itu untuk memulai langkah dalam meneguhkan penyiaran Indonesia menghadapi masyarakat ekonomi Asean yang akan berlangsung pada akhir tahun ini

"Ekonomi Asean akan menjadikan lalu lintas manusia secara mudah, tidak saja berimplikasi secara ekonomi tapi juga ideologi, bisa saja membawa virus yang kurang baik. Menurut kami penyiaran harus kokoh dan membentuk opini publik serta memberikan nilai-nilai pada masyarakat. Penyiaran tidak boleh tergerus pada ideologi perilaku yang rusak," ujar Judhariksawan.

Sambutan lainnya dari Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Dalam paparannya Sahrul mengapreasiasi atas penujukan Sulawesi Selatan sebagai tuan rumah Rakornas 2015. Selaku pemerintah daerah, ia berjanji akan memberikan dukungan dan kontribusi pada bidang penyiaran, khususnya dukungan kepada KPID Sulawesi Selatan. 

Dalam pembukaan Rakornas 2015 yang berlangsung di Makassar turut hadir Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, Pimpinan DRPD Sulawesi Selatan, jajaran Pemda Sulawesi Selatan, sejumlah pimpinan Lembaga Penyiaran, dan peserta Rakornas, perwakilan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), sejumlah undangan lainnya, dan Komisioner KPID dari 33 Provinsi di Indonesia. 

Simbolik pembukaan acara dilakukan dengan penabuhan gendang oleh Rudiantara, Judhariksawan, dan Syahrul Yasin Limpo. Bagian lain dari pembukaan Rakornas 2015 peluncuran Survei  Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2015 yang bekerjasama dengan sembilan perguruan tinggi negeri, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI).

Makassar - Selain agenda pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2015, pada hari yang sama juga dilaksanakan peluncuran Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2015. Dalam program itu, KPI bekerjasama dengan sembilan perguruan tinggi negeri, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI). 

Turut hadir dalam peluncuran program survei rektor/pimpinan dari Universitas Hassanuddin, Makassar, Universitas Indonesia, Jakarta, Universitas Diponegoro, Semarang, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Universitas Sumatera Utara, Medan, Universitas Negari Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Institut Agama Islam Ambon, dan pimpinan dari ISKI.

Sambutan perwakilan kampus diwakili Rektor Universitas Hassanuddin Dwia Aries Tina Pulubuhu mengatakan menyambut gembira ajakan KPI untuk melaksanakan Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi. "Kami menyambut gembira saat KPI mengajak kami. Ada keprihatinan kita tentang penyiaran yang terjadi dan gelombang kejutan dari berbagai lapisan masyarakat. Inilah pentingya memperbaiki kualitas siaran.  Perhatian ini sudah menjadi bagian kami dalam akademisi melalui program komunikasi," kata Dwia dalam sambutannya di Makassar, Selasa, 31 Maret 2015.

Menurut Dwia, dalam perkembangan teknologi dan era informasi banyak hal dianggap semu. Namun menurutnya informasi tetap adalah sebuah kebutuhan. Dwia berjanji dalam pelaksanaan survei nanti, berjanji akan melakukannya penuh denga komitmen. Menurutnya, ini tidak lain untuk mewujudkan masyarakat yang kreatif dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean.

"Saya atas nama sembilan perguruan tinggi akan berkomitmen di hadapan Pak Menteri dan yang lain akan mendukung dan memberikan yang terbaik. Sehingga era informasi bukan hanya di-drive oleh pihak industri," ujar Dwia.

Dalam paparnnya Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan survei yang melibatkan sembilan perguruan tinggi akan dijadikan sebagai tolak ukur dan gambaran program televisi yang disiarkan Lembaga Penyiaran. Menurut Judhariksawan, hasil survei itu nanti akan dijadikan sebagai bahan evaluasi dan dasar pengambilan keputusan terhadap program siaran, baik dalam penjatuhan sanksi maupun pemberian apresiasi.

Selain itu dari hasil survei itu juga akan dijadikan masukan tentang program-program siaran televisi yang hadir di tengah masyarakat. Ini tidak lain, menurut Judhariksawan, KPI sebagai lembaga negara independen berkepentingan untuk memastikan penyelenggraan penyiaran sejalan dengan regulasi. Harapannya, hasil survei ini dapat digunakan oleh Lembaga Penyiaran dalam membuat program-program siaran yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Makassar - Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) resmi dibuka hari ini oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara (31/3). Hadir pula dalam pembukaan Rakornas, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, Ketua KPI Pusat Judhariksawan dan Rektor Universitas Hasanuddin. 

Pada kesempatan tersebut, Rudi mengingatkan tentang tiga momen penting yang akan dihadapi KPI dalam waktu dekat. Yakni, revisi undang-undang penyiaran, perpanjangan izin lembaga penyiaran pada tahun 2016, serta pembuatan aturan teknis pelayanan perizinan penyiaran sebagai pengganti dari peraturan-peraturan yang lama.

Setelah pembukaan Rakornas, acara dilanjutkan dengan Talkshow yang bertajuk Meneguhkan Penyiaran Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pada talkshow tersebut, Rudi menegaskan bahwa undang-undang penyiaran yang tengah direvisi oleh DPR RI saat ini, akan selesai pada tahun 2015. “Saya yakin undang-undang akan selesai tahun ini, karena sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas),” ujar Rudi. 

Terkait MEA ini, Gubernur Sulsel mengharapkan ada gerakan secara nasional untuk menyiapkan masyarakat di daerah dalam menghadapi MEA.  “MEA ini bisa mengerjai Indonesia lho, hanya karena pihak luar punya modal teknologi informasi yang lebih hebat,” ujar Syahrul. Karenanya, Syahrul juga meminta ada Standar Operational Procedure (SOP) yang jelas terkait pendirian lembaga penyiaran. Sehingga profesionalitas dari lembaga-lembaga penyiaran yang berdiri dapat dijaga. 

Secara spesifik Syahrul juga mengingatkan bahwa informasi adalah sebuah kekuatan besar yang harus diatur oleh Negara, sebagai jalan mewujudkan tujuan kehidupan berbangsa yang diatur konstitusi. Sejalan dengan itu, Rudi juga menilai penyiaran sebagai alat untuk integrasi bangsa. Hal ini pula yang diamini oleh Mahfudz Siddiq, sehingga dirinya meminta agar jangan sampai wajah Indonesia yang muncul di penyiaran menjadi tunggal dengan nilai-nilai yang didominasi dalam penyiaran saat ini.  

Dari kalangan praktisi penyiaran, Suryopratomo sebagai perwakilan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) ikut menyampaikan pendapat. Pria yang akrab disapa Tomi ini mengatakan, sebenarnya dibandingkan 9 (Sembilan) Negara ASEAN lainnya,  wajah penyiaran Indonesia lebih demokratis. Bahkan, banyak Negara ASEAN yang berharap memiliki sistem penyiaran seperti halnya di Indonesia. Tomi melihat bahwa dalam MEA nanti, profesi penyiaran belum termasuk dalam produk jasa yang disepakati untuk saling dikerjasamakan. Namun menurut Mahfudz Siddiq, penyiaran justru diletakkan dalam frame work (kerangka kerja) ASEAN Social and Culture Community. Karena itulah, Mahfudz melihat pentingnya strategi kebudayaan nasional dalam pengelolaan penyiaran di Indonesia.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.