Batam - Meski perkembangan teknologi informasi begitu pesat, saat ini televisi menjadi penetrasi tertinggi dalam bidang media komunikasi di Indonesia. Rata-rata masyarakat Indonesia menonton televisi selama 4,5 jam dalam sehari.

Hal itu dikemukakan Komisioner KPI Pusat Bidang Pengelolaan Infrastruktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat Azimah Subagijo. Tingginya kebutuhan informasi masyarakat dari televisi saat ini, menurut Azimah, keterampilan literasi sudah seperti kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan.

Tingginya penetrasi media televisi dalam sektor komunikasi, menurut Azimah, membuat KPI terus mendorong agar masyarakat menjadi pemirsa yang kritis dan cerdas dalam menonton televisi. Salah satunya pembentukan masyarakat peduli penyiaran di beberapa daerah di Indoensia. 

Cara lain efektif untuk menangkal dampak negatif televisi adalah dengan kegiatan literasi media ke masyarakat. Tak hanya itu, literasi media secara tidak langsung mengoptimalkan media oleh masyarakat, dan meningkatkan kualitas produksi lembaga penyiaran.

“Literasi media adalah keterampilan hidup. Media punya keterbatasan ruang dan waktu, media adalah alat yang punya sisi positif dan negatif,” kata Azimah dalam training literasi media KPI di Hotel Planet Holiday, Batam, Kepulauan Riau, Selasa, 17 Juni 2014.

Dengan literasi media, masyarakat di didik mengapresiasi atas program acara yang bagus, karena kecenderungan memprotes dan menghina lebih mudah dari apresiasi. Dengan kata lain, menurut Azimah, literasi media adalah keterampilan dalam mengakses, memilah dan memilih konten media, keterampilan mengkritisi atau menonton dengan sadar, juga keterampilan memproduksi untuk program alternatif.

Pemahaman keterampilan sadar media, bisa dimulai dari keluarga dan orang-orag terdekat. “Guru dan orang tua merupakan dua kelompok yang penting mempunyai keterampilan media,” ujar Azimah.

Lebih lanjut Azimah menjelaskan, metode literasi media yang paling efektif adalah melalui gerakan kultural. Dengan membuat suatu komunitas terhadap suaru prgram siaran dan membuat kajian. Hasil kajiannya bisa memberikan memberikan rekomendasi atau solusi. 

Dengan gerakan massif untuk sadar media sekaligus sebagai strategi dalam pengawasan lembaga penyiaran dari penyelewengan pemiliknya. “Kecenderungannya, media semakin berkuasa akan sering disalahgunakan,” terang Azimah.

Di akhir acara, peserta literasi media diberikan praktik kelompok dalam menilai tayangan televisi yang disediakan panitia. Peserta training diminta melihat konten isi siaran program acara yang ditayangkan. Kemudian komisioner KPI Pusat mengavaluasi hasil pengamatan dari tayangan yang diberikan.

Batam - Dalam setiap program siarannya lembaga penyiaran agar lebih mengedepankan kepentingan khalayak. Ini tidak lain karena program siaran yang disiarkan lembaga penyiaran memiliki dampak terhadap publik.

“Karena dampaknya langsung ke khalayak, maka lembaga penyiaran tidak bisa mengabaikan publik,” kata Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat Bekti Nugroho dalam Training of Trainer Literasi Media di Hotel Planet Holiday, Batam, Selasa, 17 Juni 2014.

Bekti yang juga pernah menjadi jurnalis televisi menerangkan, format acara televisi dibagi dalam beberapa hal, yakni timeless dan imajinatif; timeless dan factual; dan factual dan actual, kemudian berita, serta dranama dan non-drama. Dalam persiapan program acara televisi, menurutnya juga ada ada petimbangan umum, kemudian pertimbangan sumber daya manusia, spesifikasi teknis, dan konfigurasi alat yang digunakan.

Meski dengan segala macam pertimbangan itu, menurut Bekti, masih didapatkan siaran yang melanggar aturan. Menurutnya itu tidak lain karena adanya pertimbangan ratting yang digunakan lembaga siaran yang mengacu pada unsur komersial. Maka tak mengherankan, konsep diperencanaan mengalami perubahan saat dilakukan eksekusi.

Padahal menurut Bekti, apa yang ditayangkan lembaga penyiaran dengan begitu cepat ditiru oleh penontonnya. Dia banyak mencontohkan kasus-kasus kejahatan yang bermula dari menonton yang berakhir dengan aksi meniru.

Dengan menjadikan ratting sebagai acuan satu-satunya oleh lembaga penyiaran, menurut Bekti hal itu meninggalkan kekhawatiran. “Kualitas tontontan menjadi semakin mengkhawatirkan karena terpaku pada ratting acara yang ada,” ujar Bekti. Dalam kondisi demikian, peran dan kontrol publik harus ditingkatkan atas program acara dari lembaga penyiaran.

Bekti berharap, lembaga penyiaran tetap mengedepankan publik dengan program acara yang menghibur, mendidik, dan mencerdaskan. Ini tidak lain karena lembaga penyiaran adalah sarana yang paling ampuh dalam menyebarkan ide-ide strategi kebudayaan dalam pembentukan karakter bangsa.

Peserta training literasi media berasal masyarakat yang fokus dan peduli media penyiaran, pelaku penyiaran, dan utusan dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah dari berbagai provinsi di Indonesia. Training literasi media adalah ikhitiar KPI dalam upaya mendidik masyarakat yang sadar dan krits terhadap media yang ditonton. Selain materi training, di akhir acara, peserta diberikan praktik dalam pengawasan dan kontrol media dan tata cara pelaporan pelanggaran program oleh lembaga penyiaran.

Batam - Dalam rangka membentuk masyrakat melek media. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyelenggarakan Training of Trainers (ToT) Literasi Media yang bertajuk “Sinergi KPI dan Masyarakat Mewujudkan Penyiaran yang Sehat dan Mencerdaskan”.

Pelaksanaan training berlangsung selama tiga hari, yakni pada 17, 18, dan 19 Juni 2014 di Hotel Planet Holiday, Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Peserta training berasal dari perwakilan masyarakat dari berbagai daerah, kemudian perwakilan dari Komisi Penyiaran Indonesia dari berbagai daerah.

Adapun pemateri pada hari pertama dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Kepulauan Riau Putu Elvina Gani, Komisioner KPI Pusat Bidang Isi Siaran Agatha Lily, dan moderator Komisioner KPID Kepulauan Riau M. Aminuddin.

Dalam paparannya Elvina Gani mengatakan perkembangan teknologi informasi saat ini begitu pesat termasuk dalam dunia penyiaran. Tiap orang dengan mudah bisa mengakses informasi dan hiburan dari banyak channel televisi. Padahal, menurutnya televisi memiliki pengaruh yang besar terhadap anak dan orang tua jika tidak ada kontrol terhadap program siarannya.

“Saat ini televisi bukan lagi menjadi barang mewah. Tapi sampai sejauh mana tanggung jawab masyarakat sebagai pemilik frekuensi terhadap perlindungan anak,” kata Elvina Gani dalam paparannya dalam pelatihan di hari pertama, Selasa, 17 Juni 2014. 

Selaku pelaku yang bergerak pada bidang perlindungan anak, Elvina menjelaskan, dalam Undang-undang Anak, terdapat 31 hak anak-anak. Salah satunya, anak-anak berhak mendapatkan informasi yang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhannya.

Selain itu, Elvina juga menjelaskan contoh tayangan lembaga penyiaran yang program acaranya tidak layak tonton oleh anak. Menurutnya, dalam Undang-undang Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) di dalamnya meminta kepada lembaga penyiaran dalam program acaranya mengedepankan perlindungan anak saat jam-jam menonton ana-anak.

Tuntutan itu kepada lembaga penyiaran, menurut Elvina karena saat acara di lembaga penyiaran menunjukkan program acaranya memperlihatkan anak-anak menjadi objek atau sasaran siaran. “Padahal anak-anak adalah peniru yang ulung, lebih bagus dari salinannya. Baik itu secara visual, auditorik, kinestetik. Kemampuan kinestetik anak yang sering nonton televisi sangat kurang dan itu mempengaruhi cara anak dalam belajar,” ujar Elvina.

Selain itu, Elvina menjelaskan, dari hasil penelitiannya terdapat dampak negatif terhadap anak yang terlalu banyak menonton televisi. Ini tidak lain karena program acara televisi juga mempengaruhi pembelajaran, motivasi, energi, bahasa yang paling cepat ditiru, model peran, emosi dan pola hubungan. 

Untuk menjaga hak-hak anak dalam dunia penyiaran, Elvira merekomendasikan agar konten media ramah kepada anak. Selain itu bimbingan anak saat menonton juga sangat dibutuhkan. Untuk menjaga semua itu, menurutnya, dibutuhkan sosialiasi yang terus menerus atas hak-hak anak kepada keluarga dan masyarakat yang lebih luas.

Batam - Dalam pelatihan literasi media di Batam, Selasa, 17 Juni 2014, Komisioner Bidang Isi Siaran Agatha Lily menjelaskan tentang protes yang diterima Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) saat mengeluarkan pers rilis tentang 10 sinetron yang tidak layak tonton. Menurut perempuan yang biasa dipanggil Lily ini mengatakan, munculnya rilis itu karena tayangan yang masuk dalam rilis itu, salah satunya karena menampilkan adegan yang tidak ramah terhadap anak.

Menurut Lily, perlindungan terhadap hak-hak anak dalam dunia penyiaran harus tetap diperjuangkan. Itu tidak lain, karena tayangan yang ditonton oleh anak begitu cepat ditiru. “Dua minggu lalu, kami menegur tiga program acara film kartun,” kata Lily.

Teguran oleh KPI dilayangkan kepada lembaga penyiaran, karena film-film kartun yang ditayangkan memuat adegan anak-anak yang melemparkan pisau kepada temannya dan menancap persis mengenai samping perut. Menurut Lily, saat menonton televisi anak-anak harus tetap ditemani, karena film kartun tidak selalu identik atau aman untuk anak-anak.

Dari laporan yang diterima Lily di daerah, ada anak yang menirukan adegan Limbat membakar. Lewat literasi media yang digelar KPI, Lily berharap para peserta usai traning bisa mensosialisasikan akan hak-hak anak dalam dunia penyiaran.

Lebih lanjut Lily menjelaskan, KPI menyadari selain bertugas mengawasi dan memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran, KPI juga memiliki tugas dalam menjalankan misi literasi media. Program untuk mendidik masyarakat untuk melek dan kritis terhadap media.

Di akhir acara, pentingnya literasi media dan upaya perlindungan terhadap hak anak dalam penyiaran, Lily mengajak peserta usai training urun rembuk dalam membuat panduan modul untuk orang tua atau guru tentang tayangan dan hak-hak anak dalam dunia penyiaran serta dampak perilaku anak dari tayangan yang ditonton.

Batam - Selain menjelaskan tentang literasi media, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Judhariksawan menjelaskan tentang pentingnya penyiaran di kawasan perbatasan. Judha mencontohkan mudahnya masyarakat kawasan perbatasan seperti Batam yang begitu mudah dalam mendapatkan frekuensi siaran televisi radio dari neger tetangga, Singapura dan Malaysia. Namun kesulitan dalam mendapatkan siaran dari lembaga penyiaran Indonesia.

“Kondisi teman-teman kita di kawasan perbatasan seperti sebuah ironi. Kita yang berada di kota-kota besar cukup dengan antena UHF untuk mendapatkan acara dari lembaga penyiaran Indonesia dan menggunakan parabola untuk menangkap siaran asing. Tapi teman-teman di perbatasan malah sebaliknya, hanya dengan antena UHF untuk mendapatkan tayangan asing dan harus menggunakan parabola untuk memperoleh siaran dari dalam negeri,” kata Judhariksawan dalam pembukaan acara literasi media dan Rapat Koordinasi Penyiaran Perbatasan KPI di Hotel Planet Holiday, Batam Kepulauan Riau, Selasa, 17 Juni 2014.

Mudah diterimanya siaran asing oleh warga perbatasan, menurut Judha, karena luberan frekuensi dari negara tetangga. Indonesia yang menganut kebijakan langit terbuka (open sky policy) tidak boleh menghalangi frekuensi dari negara tetangga yang masuk ke wilayah Indonesia. Perlahan-lahan penduduk perbatasan akan nyaman dalam menerima penyiaran dari negara tetangga karena frekuensi yang meluber diperoleh dengan mudah sedangkan untuk mendapatkan siaran dalam negeri membutuhkan perangkat peralatan teknologi tambahan.

“Secara sekilas ini sepele, tapi kalau kita runut dan renungkan. Ini merupakan embrio dan potensi ancaman perubahan ideologi, ancaman terhadap budaya, ketahanan nasional kita. Adanya nilai-nilai yang disebarkan melalui media penyiaran tadi. Ini artinya media penyiaran adalah sarana yang strategis untuk menyampaiakan gagasan yang inklusif kepada pemirsanyanya,” ujar Judha mengingatkan.

Judha menambahkan, KPI menganggap frekuensi penyiaran yang meluber dari negara tetangga harus dipikirkan bersama oleh seluruh elemen terkait. Siaran yang meluber dari negara tetangga yang diterima penduduk perbatasan tidak bisa dianggap sepele, karena lambat laun akan mengubah pandangan ideologi, struktur budaya, karakter bangsa di kawasan perbatasan. 

Langkah yang diambil, menurut Judha, sejak tahun lalu KPI membentuk Gugus KPID Perbatasan yang terdiri dari 12 daerah perbatasan dan disertakan dalam rapat koordinasi penyiaran perbatasan dan beberapa dari kementerian terkait dan lembaga negara lainnya. “Kita berharap ada langkah strategis setelah rapat koordinasi ini, tidak hanya terkait isi siaran,” harap Judha.

Lebih lanjut Judha menerangkan, persoalan penggunaan luberan frekuensi di daerah perbatasan terkait masalah teknologi yang digunakan masing-masing negara. Lembaga telekomonikasi internasional atau International Telecommunication Union (ITU) selaku lembaga yang mengatur penggunaan frekuensi dunia mengalokasikan frekuensi untuk Indonesia dan negara lainnya sama. 

Indonesia masuk dalam Region 3 Asia bersama negara-negara lainnya. Artinya frekuensi yang dialokasikan untuk Indonesia dan negara lainnya sama. Judha menambahkan, ketika di daerah perbatasan ada ketimpangan teknologi, maka bisa dipastikan alokasi frekuensi itu digunakan dengan mudah oleh negara yang teknologinya lebih maju. 

“Kemudian dinotifikasi ke ITU sebagai penggunaan suatu negara. Pada saatnya nanti Indonesia tidak lagi bisa menggunakannya. Krn ITU menggunakan prinsip siapa yang duluan datang dan menggunakan dialah yg mengendalikan. Oleh karena itu, persoalan perbatasam bukan hanya persoalan isi siaran, di sana juga soal infrastruktur di dalamnya,” papar Judha.

Sedangkan Wakil Gubernur Kepulauan Riau Soerya Respationo dalam sambutannya mengatakan, kesulitan akses informasi dari lembaga penyiaran dalam negeri oleh warga perbatasan patut menjadi kegelisahan bersama. Menurutnya dampaknya akan terasa di masa yang akan datang, karena media penyiaran dapat menjadikan stimulus perkasa yang dapat mempengaruhi pemirsanya.

Selaku pimpinan kepala daerah Kepri, Soerya mengaku mendukung acara rapat koordinasi penyiaran perbatasan. menurut Soerya, khususnya di Kepri, Pemda Kepri memiliki kepedulian dan perhatian yang besar pada pengembangan penyiaran di wilayah perbatasan, khususnya Provinsi Kepri. 

“Lembaga penyiaran di Provinsi Kepulauan Riau wajib mengemban misi besar dengan menjadi bagian institusi budaya dan menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah NKRI. Lembaga penyiaran menjadi ujung tombak bahkan arus utama dalam membangun wilayah perbatasan di Kepulauan Riau yang penangannya bersama-sama dan kontinyu,” kata Soerya.

Terkait dengan penyiaran perbatasan Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mengatakan Indonesia membutuhkan strategi dalam menanggulanginya. Mahfudz menjelaskan, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membuat tiga langkah, yakni sabuk keamanan (security belt), sabuk kemakmuran (prosperity belt), dan sabuk informasi (information belt). Menurutnya hal itu harus berjalan secara seiringan dalam perkembangan dunia global saat ini.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.