- Detail
- Dilihat: 6176
Medan - Prinsip demokratisasi penyiaran yang mensyaratkan terlaksananya keragaman kepemilikan dan keragaman isi, merupakan ruh dari Undang-Undang Penyiaran yang harus dihormati. Namun demikian, pasca reformasi, ternyata masih banyak pihak yang belum siap dengan tegaknya demokratisasi penyiaran tersebut. Sehingga, sekalipun Undang-Undang memberikan pelimpahan kewenangan dari negara ke publik lewat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), ada usaha-usaha yang dilakukan agar KPI tidak pernah kuat. Hal itu disampaikan Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, dalam acara dialog public Revisi Undang-Undang Penyiaran yang dilaksanakan oleh KPI Daerah Sumatera Utara, di Medan (20/11).
Diamputasinya kewenangan KPI ini, menurut Judha, menyulitkan tugas-tugas KPI dalam menjaga muatan siaran. Teguran-teguran KPI akan lebih bertaji, jika kewenangan perizinan penyiaran ada di tangan lembaga negara ini, ujarnya. Hal inilah yang juga dirasakan oleh Komisi I DPR RI, sehingga berinisiatif melakukan revisi atas Undang-Undang Penyiaran yang akhirnya berujung pada rancangan undang-undang penyiaran yang baru.
Di hadapan mahasiswa dan masyarakat penyiaran di Medan tersebut, Judha menjelaskan adanya kecenderungan pengamputasian kewenangan KPI dalam draf usulan RUU Penyiaran yang diajukan pemerintah. DIrinya mengkhawatirkan, kalau memang kewenangan KPI kembali dipangkas hingga sekedar sebagai pengawas isi siaran, maka kondisi penyiaran negeri ini akan mundur ke belakang seperti sebelum reformasi 98. Saat itu, ujar Judha, segala kebijakan penyiaran terpusat di Jakarta, dan kuasa negara atas penyiaran demikian dominan. Padahal, tambahnya, salah satu ciri negara modern adalah ketika urusan-urusan publik diminimalkan pengontrolannya oleh negara.
Harapan Judha dan KPI yang inginkan undang-undang penyiaran segera disahkan dengan pemberian kekuatan wewenang pada KPI juga selaras dengan keinginan masyarakat penyiaran di medan. Menurut salah satu peserta dari IJTI Sumatera Utara, penyiaran saat ini tidak memberikan celah untuk seniman daerah hadir di televisi. “Yang muncul di TV saat ini adalah seniman-seniman dari Jawa, padahal yang ditampilkan banyak lakon yang tidak benar, seperti laki-laki berpakaian perempuan”, ujarnya. Untuk itu, dirinya menilai perlu ada gerakan moral untuk mengembalikan penyiaran ke arah dan tujuan yang sesuai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimanapun juga, ujar Judha, frekuensi yang digunakan oleh lembaga penyiaran adalah milik negara yang dipinjamkan sebagai hak pakai dan hak guna, untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. “Frekuensi bukanlah hak milik seumur hidup, tidak dapat diperjual belikan dan tidak dapat diwariskan”, Judha.