- Detail
- Dilihat: 6110
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memahami keinginan berbagai kelompok masyarakat untuk melarang iklan rokok di lembaga penyiaran. Apalagi hal tersebut dilandasi kepedulian terhadap perlindungan anak dan kesehatan masyarakat akan bahaya tembakau dalam rokok. Karenanya dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) yang dikeluarkan KPI, iklan rokok sangat dibatasi. Hal tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, dalam acara Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang membahas tentang RUU Pertembakauan, (10/9).
Dalam rapat yang juga dihadiri Ketua Baleg, Ignatius Mulyono, KPI Pusat hadir sebagai narasumber untuk memberi masukan dalam penyusunan RUU Pertembakauan. Didampingi komisioner bidang kelembagaan, Fajar Arifianto, Judha menjelaskan bahwa dasar pelarangan iklan rokok di penyiaran adalah dari Undang-Undang no 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, pasal 46 yang melarang promosi rokok dengan memeragakan wujudnya. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2005, iklan rokok di lembaga penyiaran radio dan televisi hanya dapat disiarkan pada jam 21.30-05.00 waktu setempat. Sementara itu oleh KPI sendiri, implementasi dari pasal 46 Undang-Undang Penyiaran ini, tidak saja memberi pembatasan yang ketat pada penampakan wujud rokok di iklan, tapi juga di program lainnya.
Poempida Hidayatullah, anggota Baleg dari Partai Golkar, mengusulkan iklan rokok secara total dilarang tampil di lembaga penyiaran. Dirinya menilai, sesungguhnya yang diuntungkan dari iklan rokok adalah media massa yang memasang iklan. Sedangkan kontribusi iklan itu sendiri terhadap penjualan rokok masih belum jelas. Namun demikian, Poempida meminta KPI juga menimbang secara adil tentang keberadaan perusahaan rokok dan yayasan dengan brand serupa. Menurutnya, kedua hal tersebut merupakan dua entitas yang berbeda dan seharusnya tidak disamakan.
RUU Pertembakauan ini, menurut pimpinan rapat, Sunardi Ayub, merupakan salah satu RUU prioritas yang telah diagendakan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013. Masukan berikutnya datang dari Zulmiar Yanri, anggota Baleg dari Komisi 9. Zulmiar yang juga seorang dokter ini berharap KPIdapat menghitung ulang manfaat dan mudhorot dari iklan rokok di lembaga penyiaran. Apalagi, menurutnya, dalam Undang-Undang Kesehatan secara tegas menyebutkan tembakau sebagai zat aditif, yang berkonsekuensi pada pelarangan iklan.
Menanggapi hal ini, Judha menegaskan posisi KPI sebagai regulator penyiaran di Indonesia. KPI berharap pemerintah menunjukkan sikap yang tegas atas keputusan Mahkamah Konstitusi yangmenguatkan penggolongan tembakau sebagai zat adiktif. Jika sudah ada ketegasan dari pemerintah, ujar Judha, akan memudahkan KPI mengambil sikap.