Pontianak - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalbar angkat bicara menanggapi kondisi yang saat ini tengah dialami oleh Sekretariat KPID Kalbar atas ketiadaan kelembagaan sekretariat KPID sejak Januari 2017, dan menanggapi pernyataan Ketua Komisi I DPRD Kalbar.

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalbar, Muhammad Syarifudin Budi mengatakan eksistensi KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat (UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pasal 8 ayat 1).

Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran (UU Penyiaran, pasal 7 ayat 2). "Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga kuasi negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxilarry state institution," tegasnya. Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat.

Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan semua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan.

Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana.

Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.

Keberadaan sekretariat KPID Provinsi Kalimatan Barat telah ditiadakan sejak Januari 2017 berikut dengan personalia dan anggarannya, karena konsekuensi dari dijalankannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (sebagaimana amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.

Sebelum penataan kelembagaan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 18 tahun 2016, Sekretariat KPID merupakan salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tersendiri, sesuai Peraturan Mendagri Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Sekretariat KPID dan Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia.

"Pokok persoalannya dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda itu dikatakan bahwa penyelenggaraan penyiaran tidak termasuk urusan pemerintahan baik urusan Daerah maupun Pusat, yang kemudian berimplikasi pada muatan PP No. 18 tahun 2016," paparnya.

Perlu digarisbawahi bahwa, keberadaan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tidak mencabut UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Keberadaan UU Penyiaran merupakan aturan khusus (lex specialis) sedangkan UU Pemda merupakan aturan umum (lex generalis). Hal ini berlaku asas hukum lex specialis derogate lex generalis.

Dengan demikian, keluarnya PP nomor 18 tahun 2016 tidak serta merta diartikan bahwa KPID selaku lembaga negara independen ikut dibubarkan atau dileburkan, karena dasar pembentukan KPID adalah UU nomor 32 tahun 2002, yang mana pada Pasal 9 ayat (4) menyatakan KPI dibantu oleh sebuah Sekretariat yang dibiayai oleh negara dan ayat (6) menyebutkan bahwa Pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Selain itu, karena KPID lembaga independen yang kedudukannya sebagai lembaga kuasi negara, tidak tepat apabila sekretariat KPID Kalbar berada di bawah Dinas Kominfo seperti yang diwacanakan. Mengingat dengan masuknya KPID dalam struktur pemerintahan daerah, maka timbul persoalan jaminan independensi bagi lembaga ini. Belum lagi berkaitan dengan legitimasi produk perijinan penyiaran yang dikeluarkan oleh KPID dan menyulitkan posisi KPID dalam menindaklanjuti kasus sengketa penyiaran yang melibatkan pemerintah. "Ketika menangani sengketa kami tidak boleh menjadi bagian dari lembaga lain," jelas Budi.

UU Nomor 23 Tahun 2014 merupakan aturan umum berkaitan dengan pembagian kewenangan pusat dan daerah. Sedangkan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan aturan khusus yang mengamanatkan kewenangan pembentukan Sekretariat KPID dan pembebanan anggarannya.

Kelembagaan Sekretariat KPID Provinsi Kalimantan Barat telah sah secara hukum karena telah dibentuk sesuai peraturan yang berlaku, yaitu UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, mendasarkan pada kriteria pembentukan OPD berdasarkan Peraturan Mendagri Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Sekretariat KPID dan PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Hingga saat ini Menteri Dalam Negeri juga belum mencabut Peraturan Mendagri Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Sekretariat KPI Daerah, sehingga peraturan tersebut masih berlaku, meski perlu diadakan penyesuaian.
Pendanaan kegiatan KPID dan Sekretariat KPID telah sah secara hukum karena pembebanan tersebut sesuai amanat UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yaitu dibebankan pada APBD.

Ia berharap penjelasan ini dapat mendudukkan persoalan terkait polemik keberadaan Sekretariat KPID dan penganggaran kegiatan dan programnya segera diselesaikan, mengingat selama 3 (tiga) bulan terakhir, KPID bekerja tidak efektif menjalankan fungsi dan amanat yang diembankan kepadanya.

"Sungguhpun demikian kami tetap bekerja memenuhi tanggung jawab dan amanat yang diemban dalam batas kemampuan untuk memfasilitasi pelayanan perijinan, pengawasan isi siaran, dan kelembagaan," ucapnya. Red dari tribunnews.com

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, menghadiri acara Sosialisasi Permen Kominfo No.18 tahun 2016 tentang Tata Cara Perizinan Penyiaran di Makassar, Kamis (23/3/17).

 

Makassar – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mulai mensosialisasikan tatacara pelayanan perizinan penyiaran yang baru melalui Peraturan Menteri Kominfo No.18 tahun 2016. Proses pelayanan perizinan penyiaran baru ini akan lebih cepat dan transparan.

Dalam acara sosialisasi Permen di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (23/3/17), Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio mengatakan, permen baru ini menegaskan kepastian soal waktu proses pelayanan mulai dari pendaftaran hingga terbit izin tetapnya.

“Pemohon izin akan mengetahui kejelasan waktu proses izin mereka sampai mana dan selesainya kapan. Jadi harapannya tidak ada lagi berlarut-larut,” kata Agung yang dalam kesempatan itu didampingi Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo, Ahmad M. Ramli.

Agung menambahkan bahwa aplikasi on line untuk proses perizinan seharusnya membawa paradigma baru para pemilik lembaga penyiaran untuk ramah terhadap teknologi informasi atau internet.

"Gaya berpikir konvensional yang selalu mengandalkan dokumen fisik harus segera ditinggalkan karena memakan biaya dan waktu. Perkembangan teknologi informasi harus dimanfaatkan untuk pelayanan yang cepat dan transparan," pungkas Agung.

Sementara itu, pemilik lembaga penyiaran lokal dan nasional yang menghadiri acara sosialisasi itu mendukung langkah Kemkominfo dan KPI untuk menerapkan permen 18 tersebut. 

"Permen 18 akan didukung oleh aplikasi perizinan on line yang akan semakin memudahkan pemohon untuk dapat memantau tahapan perizinan," kata Direktur Penyiaran Kominfo, Geryantika.  ***

Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia meminta Lembaga Penyiaran televisi dan radio untuk tidak ikut-ikutan memproduksi hoax. Selama ini sumber hoax lahir dari media sosial dan internet dan kemudian menjadi bahan pemberitaan di televisi dan radio.

 

Hal ini diungkapkan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Mayong Suryo Laksono saat melakukan pembinaan program jurnalistik Trans7 di Mampang Prapatan, Jakarta, Kamis (23/03/17). Mayong mengingatkan agar program berita menjaga kualitas dengan hasil kerja liputan kru di lapangan. Jangan mengambil bahan berita dari media sosial seperti YouTube atau sejenisnya. 

 

"Jangan hanya mengembangkan berita yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya. Karena ada program yg hanya mencuplik sejumlah video di medsos dan jadilah satu program," kata Mayong Suryo Laksono di hadapan kru program berita Trans7 bersama Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Hardly Stefano.

 

Mayong mengimbau agar program berita memiliki value yang lebih dibanding program lain. Program berkualitas tentu program yang memiliki manfaat banyak bagi masyarakat.

 

 

Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah

 

Jakarta - Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang telah rampung disusun oleh Komisi I DPR RI, saat ini tengah memasuki tahapan harmonisasi oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan masukan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Baleg DPR RI terkait RUU tersebut, (23/3/17).

 

Dalam RDP yang dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR RI Firman Subagiyo, Komisioner KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran Nuning Rodiyah menyampaikan beberapa masukan terkait penyiaran politik, iklan politik dan persentase iklan dalam program siaran. Menurut Nuning, RUU Penyiaran harus mengatur dengan jelas mengenai  definisi iklan politik. Saat ini, dalam undang-undang yang ada, hanya dikenal dua jenis iklan saja. “Yakni iklan niaga dan iklan layanan masyarakat”, ujarnya. Karenanya, dengan aturan tersebut, semua iklan partai politik masuk dalam kategori iklan niaga.  Nuning berharap dalam Undang-Undang Penyiaran yang baru nanti iklan politik dapat diatur sedemikian rupa sehingga hanya dapat ditayangkan pada saat masa kampanye sebagaimana perundang-undangan yang berlaku. 

 

Sedangkan terkait siaran iklan dalam RUU yang memberikan persentase sebanyak 30% dari waktu program, sebaiknya ditinjau ulang karena sebaran iklan pada setiap program tidak sama.  Nuning juga menilai pemberlakuan batas maksimal siaran iklan sebesar 30% dari durasi tayang setiap hari, masih terlalu banyak. Selain itu, RUU juga harus memberikan batasan tegas tentang yang dimaksud siaran iklan. “Apakah hanya berupa spot iklan saja atau termasuk yang built in dalam program siaran”, ujarnya. Dalam pemantauan KPI selama ini, jika pemunculan produk yang built in dalam program siaran, baik itu berupa kemunculan logo produk, wujud produk, atau juga penyebutan nama produk dan lain-lain juga dikategorikan sebagai siaran Iklan, maka persentasenya sudah melebihi ketentuan 20% per hari.

 

Namun demikian Nuning mengapresiasi usulan Iklan Layanan Masyarakat yang meningkat persentasenya menjadi paling sedikit 15% dari durasi siaran iklan komersial. Dalam Undang-Undang Penyiaran saat ini, ILM paling sedikit harus disiarkan sebanyak 10% dari durasi siaran iklan komersial. KPI akan segera menyampaikan penyempurnaan masukan atas RUU tentang Penyiaran ini, agar aturan yang berlaku tersebut dapat seoptimal mungkin memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan masukan pendapat dalam rangka harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran kepada Badan Legislasi DPR RI, (23/3). Dalam kesempatan tersebut Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menjelaskan pendapat KPI atas aturan baru terkait dunia penyiaran yang sudah disusun oleh Komisi I DPR RI.

Secara umum Yuliandre menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan KPI dalam undang-undang penyiaran yang baru ini, termasuk salah satunya dengan mengubah masa jabatan anggota KPI dari 3 (tiga) tahun menjadi 5 (lima) tahun. Pada kesempatan tersebut, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Kelembagaan Prof Obsatar Sinaga juga memaparkan kepada Baleg DPR RI tentang kondisi KPID di beberapa provinsi saat ini, pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 18 tahun 2016.  Dirinya mengharapkan, regulasi penyiaran yang baru dapat segera ditetapkan, agar kelembagaan KPI dan KPID ke depan dapat lebih kuat dan pelayanan publik dilakukan lebih optimal.

Rapat itu sendiri dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo dari Fraksi Golkar. Firman meminta pendapat KPI tentang monopoli kepemilikan media, sanksi atas pelanggaran ketentuan iklan serta pengaturan iklan politik. Sementara itu anggota Baleg lainnya, Adang Daradjatun meminta KPI memberikan gambaran tentang penerapan sanksi denda atas pelanggaran aturan penyiaran di berbagai negara. Sedangkan politisi Fraksi Golkar lainnya, Misbakhun menilai bahwa penguatan KPI secara kelembagaan sangat dibutuhkan. Dirinya berpendapat KPI mendapatkan peran yang strategis dalam pengaturan masalah penyiaran ini, mengingat ke depan seiring dengan makin kuatnya perkembangan teknologi, penyiaran akan menjadi tulang punggung negara.

Misbakhun juga memberikan kritisi atas performa KPI selama ini. Dirinya berharap ke depan, KPi tidak sekedar memberikan rekomendasi atau pelarangan program siaran yang melanggar saja. “KPI harus mempertimbangkan luka-luka masyarakat yang muncul akibat kesalahan pada program siaran tidak dapat diobati begitu saja dengan larangan tersebut”, ujar Misbakhun. Hal senada juga disampaikan oleh Weni Haryanto, anggota Baleg lainnya. Weni berpendapat bahwa masyarakat punya hak mendapatkan informasi yang benar, bukan yang seenaknya sesuai keinginan pengelola televisi.  Masukan lainnya adalah pentingnya KPI memberikan pendidikan dan pencerahan pada masyarakat agar tetap kritis dan imun terhadap siaran televisi dan radio.

Komisioner KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran Nuning Rodiyah, dalam kesempatan itu menyatakan bahwa perlunya sanksi terhadap pengisi acara yang dalam penampilannya di televisi dan radio melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). “Kami berharap undang-undang mengakomodir adanya skorsing terhadap pengisi acara yang melanggar P3 & SPS”, ujar Nuning. Sementara komisioner KPI Pusat lainnya Dewi Setyarini menyampaikan masukan tentang aturan mengenai keberadaan lembaga penyiaran publik lokal (LPPL) serta aturan tegas tentang larangan muatan pornografi.

Di ujung pertemuan, Firman meminta adanya penyempurnaan atas masukan dari KPI  atas Rancangan Undang-Undang  tentang Penyiaran tersebut sebagai bahan pertimbangan Baleg DPR.  Mengingat Baleg DPR memiliki tenggat waktu tersendiri dalam melakukan harmonisasi terhadap Draf RUU. Selanjutnya, jika harmonisasi sudah selesai di Baleg DPR RI,  RUU akan disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi RUU Usul Inisiatif DPR RI.

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.