- Detail
- Dilihat: 7768
Jakarta - Terbangunnya masyarakat demokratis dan pertumbuhan industri penyiaran seperti yang disebut regulasi sebagai tujuan terselenggaranya penyiaran nasional, bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), baik pusat dan daerah, harus memerankan diri sebagai agen intelektual yang mengontrol semua proses demi tercapainya semua tujuan penyiaran nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang. Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, dalam Seminar “Mewujudkan Peran Lembaga Penyiaran yang Netral dan Berimbang Untuk Menjamin Masyarakat Memperoleh Informasi yang Benar dan Berkualitas”, yang diselenggarakan dalam rangka Rapat Pimpinan (RAPIM) KPI 2014, di Ancol (3/9).
Menurut Mahfudz, tantangan KPI sebagai regulator penyiaran ke depan memang semakin berat. Dirinya mencermati empat fenomena yang mempengaruhi realitas dunia penyiaran saat ini. Fenomena pertama adalah booming industri yang dipicu salah satunya oleh kemajuan teknologi komunikasi informasi. Yang kedua adalah dunia penyiaran yang sedang menuju sistem oligopoli, sebuah fenomena yang lebih dulu terjadi di negara maju. Konsentrasi kepemilikan media ini punya implikasi secara politik dan ekonomi. Seperti di Amerika Serikat misalnya, para pemilik media punya kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar dalam mempengaruhi kebijakan negara dan landscape sosial masyarakatnya.
Selanjutnya adalah fenomena saat politik dan media melakukan sebuah koalisi. “Hal ini sudah kita rasakan saat pemilu legislatif dan pemilu presiden lalu”, ujarnya. Saat ini, hampir mustahil kegiatan politik dipisahkan dari media massa. Media massa dalam komunikasi politik ini bukan hanya sebagai transmiter tetapi telah mengambil fungsi bersama sebagai sender. Fenomena keempat, proses progresif dari pembentukan budaya massa (pop culture).
Fenomena ini adalah sebuah realitas yang harus dihadapi KPI dalam tugasnya menjaga dunia penyiaran. Karenanya, Mahfudz berpesan, KPI jangan terjebak dengan masalah-masalah teknis penjatuhan sanksi, melainkan harus ikut mulai memikirkan bagaimana model rekayasa sosial untuk mencapai tujuan penyiaran. Mahfudz meminta KPI dan KPID eksis mengambil peran sebagai agen intelektual tanpa perlu merasa dibatasi dengan baju kewenangan. “Mungkin kalau KPID merasa terlalu kecil mempunyai kapasitas, tetapi sesungguhnya Tuhan telah memberi kita kemampuan berpikir dan merekayasa suatu pemikiran baru untuk memperbaiki keadaan”, ujarnya.
Sementara itu menurut Ashadi Siregar, pengamat komunikasi yang juga hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut, menilai bahwa rekayasa sosial harus melibatkan dua elemen. Yakni negara lewat legislasi, dan masyarakat dengan gerakan sosialnya. Ashadi juga menilai gagasan Mahfudz Siddiq patut dipikirkan lebih jauh. “Sudah saatnya berpikir lebih sistemik. Konten siaran yang saat ini penuh dengan limbah, disebabkan limbah yang sudah ada sejak hulu”, ujarnya. Karenanya perbaikan itu harus dilakukan lebih sistematis dan terekayasa.
Pembicara lain yang hadir memberikan materi adalah Imam Wahyudi dari Dewan Pers. Pada kesempatan tersebut Imam mengakui ada penurunan profesionalisme, akibat permintaan wartawan yang semakin tinggi. Seharusnya, ujar Imam, ada pilar lain yang menopang profesionalisme wartawan, salah satunya organisasi profesi. Sayangnya, setelah era reformasi, wartawan tidak lagi diwajibkan menjadi anggota organisasi wartawan. Padahal, ujar Imam, dengan adanya organisasi profesi ini jika ada wartawan yang melanggar kode etik maka bisa dipecat.
Selain itu Imam juga melihat bahwa masyarakat sebagai pemilik sah dari frekuensi ini, tidak cukup aware dengan media. “Hak mereka begitu besar terhadap frekuensi, tapi mereka tidak melakukan protes ketika isi media bermasalah, termasuk juga pemerintah dan elemen yang lain”, ujarnya. Terakhir Imam memandang perlu ada revisi atas regulasi penyiaran, terutama Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang membuka kemungkinan konsentrasi kepemilikan lembaga penyiaran. Selebihnya, menurut Imam, yang penting menegakkan aturan yang ada tanpa perlu membuat aturan baru.