Jakarta - Dalam rangka peningkatan kualitas siaran radio di Indonesia, KPI Pusat berkunjung ke  kantor pengurus pusat Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). PRSSNI adalah salah wadah perkumpulan radio swasta yang berdiri sejak tahun 1974. Kunjungan berlangsung pada Rabu, 16 April 2014 di kantor PRSSNI di bilangan Adityawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Adapun komisioner yang ikut serta dalam kunjungan itu Kunjungan Ketua KPI Pusat Judhariksawan dan komisioner lainnya seperti Bekti Nugroho, Fajar Arifianto Isnugroho, Danang Sangga Buana, dan Agatha Lily. Dalam kunjungan itu rombongan KPI Pusat diterima langsung oleh Ketua Umum PRSSNI Rohmad Hadiwijoyo dan pengurus sekretariat seperti, K. Candi P. Sinaga, Bobby Abuwisono, Bob Iskandar, Slamet Mulyadi, dan Chandra Novriadi

Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan, selain bidang pengawasan, KPI juga memiliki kewajiban dalam menjaga dan mendorong sektor bisnis dunia penyiaran. Termasuk juga terus mendorong peningkatan kemampuan pengelola lembaga penyiaran secara bertahap.

“KPI kepengurusan periode ini, minimal bisa menggandeng seluruh elemen penyiaran untuk terus meningkatkan kualitas isi siarannya yang juga sejalan dari segi bisnis, termasuk lembaga penyiaran radio. Penyiaran yang baik bagi masyarakat itu lahir dari pengelola yang profesional dan memiliki kemampuan yang baik di bidangnya. Nah, kami ingin mengajak PRSSNI sekaligus masukan terkait standar kompetensi profesi dalam lembaga penyiaran radio,” kata Judhariksawan.

Menurut Judha, dengan adanya standar kompetensi itu sebagai bentuk proteksi profesi penyiaran di Indonesia menjelang berlakunya pasar bebas Asean atau ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) pada 2015. “Dengan ada standar profesi ini, tidak hanya melindungi pekerja kita saat dimulai pasar bebas Asean nanti. Ini juga sebagai persiapan, dengan standar pofesi ini pekerja kita juga bisa bekerja di negara-negara Asean nantinya,” papar Judha.

Ketua Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan SDM PRSSNI Chandra Novriadi mengatakan, perkembangan teknologi informasi saat ini membuat radio berpikir keras dalam hal persaingan isi siaran dan bisnis. Menurutnya hal itu juga sebagai tantangan dalam dunia penyiaran radio.

Chandra yang juga pengelola radio Prambors FeMale Delta menuturkan, perkembangan radio saat ini mengalami penurunan dari segi sumber daya manusia pengelolanya. Menurut Chandra, hal itu karena minat generasi muda yang kian menurun terhadap dunia radio dan aturan keberpihakan kepada radio dari negara.

Radio di Indonesia memiliki banyak penggemar dalam dekade 1990-an. Chandra menuturkan, pada masa itu penyiaran radio mengalami peningkatan pesat dari segi acara dan iklan. Namun saat ini mengalami penurunan dan kebalikannya. “Saking hebatnya radio kita masa itu. banyak teman-teman dari kawasan Asean dan Asia yang belajar di sini tentang penyiaran radio. Sekarang, banyak radio di Jakarta yang konsultan dari luar negeri, yang sebenarnya mereka adalah yang pernah belajar di sini,” tutur Chandra.

Di tengah ketatnya persaingan radio saat ini, Chandra mengungkapkan, banyak radio saat ini melupakan esensi dari penyiaran radio itu sendiri. Bagi Chandra yang selama puluhan tahun bergelut di dunia penyiaran radio, pada dasarnya radio itu menyajikan informasi, pendidikan, dan hiburan kepada pendengarnya dengan berbagai kemasan dalam isi siarannya. 

“Mulanya radio itu menyajikan siarannya untuk pendengar semata. Siaran sepenuhnya untuk pendengar. Jika mereka sudah suka, pendengar yang lain akan datang makin banyak. Kalau sudah begitu, dengan sendiri iklan akan datang,” papar Chandra.

Selama bergelut di dunia radio, menurut Chandra, penyiaran radio memiliki kecenderungan yang dekat dengan pendengarnya bila dibandingkan dengan media penyiaran lainnya. Dia mencontohkan, bagaimana komunikasi antara pendengar dengan penyiarannya. “Jika ada siaran yang tidak bagus, dengan sendirinya pendengar akan protes. Ada yang langsung ke studio radio, lewat telepon atau yang lainnya. Sistem komunikasi itu secara tidak langsung membuat radio memiliki sensor internal dalam tiap siarannya,” terang Chandra.

Jakarta - Dalam kunjungan KPI Pusat ke kantor pengurus pusat Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) juga membicarakan tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Dua pedoman itu dijadikan KPI dalam melakukan pengawasan lembaga penyiaran.

Komisioner Bidang Isi Siaran Agatha Lily mengatakan, banyak kalangan yang menyebut saat ini dua pedoman itu terasa bernuansa televisi, belum detail dalam cakupan pengawasan penyiaran radio. Meski perkembangan teknologi informasi berkembang pesat, radio masih memiliki penggemar setia yang mengikuti irama perkembangan yang ada. 

Menurut Lily, KPI sudah mulai melakukan pengawasan radio lembaga penyiaran radio. Ini dilakukan agar lembaga penyiaran radio juga dalam penyiarannya tetap bertujuan sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan yang sesuai dengan nilai kultur Indonesia.

“Ada yang bilang P3SPS pengawasan taste-nya masih terasa ke televisi, belum mencakup penyiaran televisi. Dengan kunjungan ini kami berharap masukan untuk perbaikan,” kata Lily di kantor PSSSNI di kawasan Jalan Adityawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 16 April 2014.

Kunjungan itu juga dihadiri Ketua KPI Pusat Judhariksawan dan komisioner lainnya seperti Bekti Nugroho, Fajar Arifianto Isnugroho, dan Danang Sangga Buana. Dalam kunjungan itu rombongan KPI Pusat diterima langsung oleh Ketua Umum PRSSNI Rohmad Hadiwijoyo dan pengurus sekretariat seperti, K. Candi P. Sinaga, Bobby Abuwisono, Bob Iskandar, Slamet Mulyadi, dan Chandra Novriadi.

Rohmad mengatakan, selaku organisasi yang mewadahi radio-radio swasta se-Indonesia pihaknya sudah memikirkan hal itu. Rohmad mengakui, siaran radio memiliki efek terhadap pendengarnya. Menurutnya memang harus ada aturan yang membahas hal detail dalam rangka pengawasan siaran radio. “Kami sudah buat rancangan untuk pengawasan radio sebagai usulan perbaikan P3SPS ke depan. Tinggal mengajukan draf itu nanti sebagai bahan kajian dan usulan,” ujar Rohmad. 

Meski begitu, Ketua Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan SDM PRSSNI Chandra Novriadi menjelaskan, efek yang ditimbulkan siaran radio terkait isi siarannya tidak perlu ditakutkan dengan berlebihan. Menurut Chandra, radio punya kecenderungan memiliki kedekatan dengan pendengarnya. Menurutnya ada timbal balik antara pengelola radio dengan pendengarnya.

“Karena memiliki kedekatan dengan audiensnya. Maka ketika pendengar itu mendengar hal yang salah dari penyiarnya maka dengan sendirinya pendengar itu akan protes kepada pihak lembaga penyiarannya. Malah ada ibu-ibu yang langsung ke radio kami dan marah-marah akan siaran kami. Bagi kami selaku pengelola radio hukuman yang keras, bahkan melebihi hukuman dari KPI,” terang Chandra.

Walaupun demikian, menurut Chandra, hal-hal yang terkait dengan pengawasan penyiaran bidang radio harus tetap dimasukkan dalam P3SPS, karena tiap daerah memiliki kultur dan nilai lokal tersendiri. Dengan begitu ada standar etik yang bersifat universal yang sesuai dengan budaya Indonesia sebagai penyangga dalam pengawasannya.

Solo –  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengajak masyarakat melaporkan tayangan televisi yang tidak produktif, meresahkan dan tidak memberi edukasi. Tidak hanya melaporkan, KPI juga meminta masyarakat untuk tidak menonton tayangan yang berkualitas buruk tersebut.

Komisioner KPI Pusat, Fajar A Isnughoro mengatakan, KPI sebenarnya telah berulang kali memberikan teguran kepada lembaga penyiaran yang menayangkan tayangan yang tidak produktif, dan tidak memberikan edukasi. Hanya saja, teguran KPI tidak akan berarti tanpa keterlibatan masyarakat luas. Hal itu dikemukakan Fajar kepada wartawan di kantor Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta, (11/4).

“Kadang masyarakat melaporkan tetapi tetap menonton. Padahal ukuran rating kan diambil dari seberapa banyak tayangan itu ditonton,” katanya.

Dijelaskan Fajar,, lembaga penyiaran memiliki empat fungsi utama yakni sebagai lembaga informasi, lembaga edukasi, kontrol sosial dan memberi hiburan. Namun, yang terjadi lembaga penyiaran terutama televisi lebih menonjolkan fungsi hiburan. Fungsi lainnya justru sering dilupakan.

Fajar melanjutkan, KPI selama ini juga mengalami sejumlah kendala dalam mengajak masyarakat agar kritis terhadap lembaga penyiaran. Dicontohkannya sosialisasi dalam bentuk iklan yang dipersiapkan KPI ditolak televisi lantaran dianggap merugikan televisi.

Untuk itu, saat ini, KPI lebih mengandalkan lembaga penyiaran lain seperti radio, baik radio reguler maupun radio komunitas dalam mensosialisasikan literasi media. “Intinya agar masyarakat kritis terhadap isi media,” pungkasnya.

KPI sendiri, dalam rangka Hari Penyiaran Nasional, melangsungkan kegiatan Literasi Media:Pagelaran Wayang Kontekstual di Monumen Pers, Solo. Dalam acara tersebut, KPI juga memberikan Anugerah Mangkunagoro VII kepada Pahlawan Nasional, Bung Tomo.  Dalam penilaian KPI, Bung Tomo telah berjuang mempertahankan kemerdekaan tidak saja lewat perlawanan fisik, tapi juga melalui media penyiaran.

 

 

 

Jakarta - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengunjungi kantor pengurus pusat Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) pada Rabu, 16 April 2014 yang berkantor di kawasan Jalan Adityawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kunjungan langsung dipimpin oleh Ketua KPI Pusat Judhariksawan dan segenap komisioner lainnya, seperti Bekti Nugroho, Fajar Arifianto Isnugroho, Danang Sangga Buana, dan Agatha Lily.

Rombongan KPI Pusat diterima langsung oleh Ketua Umum PRSSNI Rohmad Hadiwijoyo dan pengurus sekretariat seperti, K. Candi P. Sinaga, Bobby Abuwisono, Bob Iskandar, Slamet Mulyadi, dan Chandra Novriadi. Acara pertemuan berlangsung santai dibarengi dengan pembicaraan seputar kondisi penyiaran radio dan regulasi penyiaran radio.

Judhariksawan mengatakan, kunjungan ke PRSSNI untuk silaturahmi ke lembaga asosiasi lembaga penyiaran radio yang keberadaannya sejak tahun 70-an. Menurut Judha, bulan-bulan sebelumnya KPI Pusat sudah mengunjungi asosiasi profesi, lembaga penyiaran, tokoh masyarakat, dan pihak lainnya untuk menggandeng seluruh pihak dalam rangka pengawasan  dan memperbaiki penyiaran di Indonesia.

“Kunjungan ke berbagai pihak adalah program kepengurusan komisioner yang sekarang. Sejak kami terpilih, sehari dalam seminggu kami melakukan kunjungan. Namun, karena kesibukan pemilu legislatif kemarin, kami baru bisa berkunjung ke PPRSNNI sekarang,” kata Judha. Selain itu, Judha menerangkan, kunjungan KPI ke PRSSNI juga tentang perlunya standar profesi penyiaran, khususnya bidang penyiaran radio.

Rohmad selaku Ketua Umum PRSSNI mendukung upaya KPI selama ini yang terus mengawasi penyiaran dengan segenap wewenang yang dimilikinya. Rohmat juga mengapresiasi upaya KPI untuk menggandeng seluruh pihak dalam rangka memperbaiki kualitas siaran lembaga penyiaran yang ada.

“Dengan adanya komunikasi dengan lembaga asosiasi lembaga siaran kami merasa profesi bidang penyiaran ini diperjuangkan. Memang dalam hal ini semua pihak harus diajak urun rembuk dan bersinergi di dalamnya agar penyiaran kita semakin baik,” ujar Rohmad. 

Fajar mengatakan, dengan adanya sinergi dari semua pihak bidang penyiaran segala kekurangan dan yang lainnya akan menjadi masalah bersama dan diselesaikan bersama-sama. Fajar mencontohkan, tentang banyaknya kritik terhadap KPI yang wewenangnya hanya dalam tahapan memberikan sanksi teguran kepada lembaga penyiaran yang melanggar.

“Saat ini RUU Penyiaran yang baru masih belum selesai di DPR. Kami berharap semua pihak bidang penyiaran bisa memikirkan bagaimana baiknya, mungkin bisa memberikan masukan dan kritik dari lembaga asosiasi penyiaran radio. Ini tidak lain, agar penyiaran kita semakin lebih baik,” terang Fajar.

Selaku ketua umum lembaga asosiasi penyiaran radio, Rohmad mengatakan timnya juga sudah membahas hal itu di lembaganya. Menurutnya, saat ini perkembangan radio swasta semakin ketat dengan perkembangan teknologi informasi saat ini. Meski begitu, Rohmad menjelaskan lembaganya akan mengadakan simposium membahas tentang isu penyiaran radio.

“Nanti akan kami bahas semuanya dalam acar simposium sekaligus dalam acara kebangkitan nasional pada 20 Mei nanti. Di sana akan dibicarakan tentang regulasi penyiaran radio, hingga standar profesi yang sudah lama kami susun,” terang Rohmad.

Jakarta – Pertumbuhan produksi tayangan sinetron atau yang dulu disebut drama televisi sejak tahun 1993 mengalami kenaikan cukup siginifikan. Dalam setahun saja, diperkirakan jumlah produksi tayangan sinteron mencapai ratusan judul. Sayang, tingginya angka produksi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas isinya. Dan, sinteron yang berkualitas itu jumlah tidak banyak alias kecil.

Ketua bidang Isi Siaran dan Anggota KPI Pusat, S. Rahmat Arifin dalam Diskusi bertajuk Tayangan Sinteron yang diselenggarakan KPI Pusat, 11 April 2014  mengungkapkan pihaknya banyak menemukan pelanggaran dalam tayangan sinetron seperti kekerasan baik fisik maupun verbal, konflik, penggunaan simbol agama tertentu yang tidak sesuai, adab yang tidak pantas dalam lingkup sekolah seperti penggunaan seragam dan perlakukan terhadap guru, adegan berbahaya seperti menyetrum, dan yang lainnya.

“Materi-materi seperti itu sebaiknya dihilangkan dari isi. Kita berupaya meminimalisir dampak yang terjadi. Apalagi jika dampak itu berpengaruh buruk terhadap anak-anak dan remaja. Ini menjadi catatan yang harus diperhatikan,” kata Rahmat di depan peserta diskusi.

Menurut Rahmat, dalam upaya menekan terjadinya pelanggaran dan dampak buruk dari isi tayangan yang tidak baik adalah dengan mengetatkan fungsi sensor baik di LSF maupun di internal stasiun televisi. “Harus ada sensor ulang di televisi meskipun tayangan tersebut sudah melalui lembaga sensor film. Kami berharap quality control dalam internal dapat menekan tayangan-tayangan yang tidak pantas untuk disiarkan,” katanya yang juga diamini Anggota KPI Pusat bidang Isi Siaran, Agatha Lily.

Rahmat juga menyampaikan pihaknya akan melakukan revisi terhadap P3 dan SPS KPI yang detail dan rinci agar tidak ada lagi kebingungan dan multitafsir.

Sementara itu, Anggota LSF Jamalul meminta adanya kreatifitas dalam membuat ide cerita sinetron. Menurut dia, ide cerita sinetron kebanyakan sifatnya mengkloning gaya luar yang dipaksakan masuk dalam gaya Indonesia. “Cerita seperti ini tidak mencerminkan budaya bangsa Indonesia,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Agatha Lily mengingatkan pihak LP untuk memperhatikan waktu tayang setiap program sinetron dan promo programnya. Hal ini untuk menghindari adanya penonton-penoton yang tidak sesuai dengan kategori seperti anak-anak. Red

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.