Yogyakarta - Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Pencinta Penyiaran Sehat Indonesia meminta Badan Legislasi DPR RI membahas kembali draf revisi Undang-Undang Penyiaran untuk memastikan sistem penyiaran lebih demokratis.

"Pemahaman kami, draf revisi UU Penyiaran versi Baleg DPR belum mencerminkan semangat demokratisasi penyiaran," kata Juru Bicara Koalisi Pencinta Penyiaran Sehat Indonesia Puji Rianto dalam Konferensi Pers menyikapi RUU Penyiaran Versi Baleg DPR di Yogyakarta, Minggu.

Ia menilai draf revisi UU Penyiaran versi Baleg DPR tertanggal 19 Juni 2017 belum bersifat memperbaiki UU sebelumnya, melainkan justru meniadakan demokratisasi dalam penyiaran dengan mengedepankan kepentingan pemilik modal.

Salah satu contohnya, di dalam draf RUU versi Baleg tersebut tidak diatur secara tegas mengenai pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran.

"Hal ini akan membuka peluang bagi dominasi segelintir lembaga penyiaran yang menghancurkan keberagaman sebagaimana telah terjadi," kata Puji yang juga peneliti Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media).

Selain itu, porsi siaran lokal yang ditentukan minimal 10 persen dalam draf RUU juga dinilai sangat kecil. Dengan rendahnya kepedulian terhadap siaran lokal tersebut, Puji khawatir masyarakat dan budaya daerah tidak akan terepresentasi dengan baik.

"Sebaliknya, justru tetap seperti sekarang, yakni dominasi siaran Jakarta yang secara bersamaan menindas budaya dan kearifan lokal," kata Puji.

Ia berharap revisi UU Penyiaran ke depan dapat mencerminkan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi keberagaman isi berita (diversity of content) akibat keberagaman pemilik media (diversity of ownership).

Sementara itu, aktivis Yayasan Satunama Valentina Sri Wijiyati memandang draf revisi UU Penyiaran versi Baleg tidak mendukung upaya membangun masyarakat yang produktif dan sehat. Hal itu ditunjukkan dengan peniadaan larangan iklan rokok di media penyiaran.

Upaya yang ditempuh DPR tersebut, menurut Wijiyati, bertentangan dengan mandat Sustainable Development Goals (SDGs) karena menggerogoti kesehatan serta perekonomian masyarakat.

Di samping itu, lanjut Wijiyati, draf revisi UU Penyiaran itu juga belum mencakup kewajiban lembaga penyiaran untuk menyiarkan isi siaran yang memberdayakan serta tidak menjadikan kelompok rentan sebagai objek.

"Kenyataannya kelompok rentan seperti penyandang disabilitas masih dijadikan objek eksploitasi produk siaran," kata dia. Red dari Antara

 

Jakarta - Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) menyayangkan Bada¬n Legislasi (Baleg) DPR yang menghilangkan larangan iklan rokok pada harmonisasi naskah revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32/2002 dari naskah yang sudah disusun Komisi I.

“Kami mengapresiasi naskah dari Komisi I DPR yang melarang iklan mempromosikan minuman keras, rokok, dan zat adiktif lainnya. Namun, kami menyayangkan dan prihatin terhadap Baleg yang menghilangkan kata ‘rokok’,” kata Koordinator Presidium GKIA Supriyatiningsih dalam siaran pers di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, pelarangan iklan rokok di media penyiaran ialah langkah awal melindungi warga negara dari bahaya konsumsi rokok. Iklan rokok di media penyiaran ialah salah satu sumber penyebaran dan promosi konsumsi rokok yang saat ini masih diperbolehkan.

Karena itu, ujar Supriyatiningsih, GKIA menilai penghapusan larangan iklan rokok dari naskah revisi UU Penyiaran ialah kemunduran dan akan menghambat perlindungan maksimal masyarakat dari paparan konsumsi rokok.

“Kami mendukung Komisi I untuk menolak rekomendasi hasil harmonisasi Baleg yang menghilangkan larangan iklan rokok di media penyiaran,” tuturnya.

Ia juga mendesak Baleg untuk mempertahankan naskah revisi UU Penyiaran dari Komisi I yang melarang iklan rokok di media penyiaran. “Membiarkan promosi dan iklan rokok menunjukkan negara menempatkan kepentingan industri rokok di atas kepentingan perlindungan kesehatan masyarakat dan kepentingan terbaik anak dengan membiarkan generasi muda terjerembap dalam adiksi rokok,” katanya.

Sementara itu, Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) menilai naskah revisi UU tentang Penyiaran yang disusun Komisi I dan Baleg belum berpihak pada perlindungan anak.

“Terutama naskah versi Baleg. Salah satu hal yang tidak berpihak pada perlindungan anak adalah bagian tentang iklan,” kata Ketua YPMA B Guntarto secara tertulis, Rabu (5/7).

Menurutnya, iklan ialah materi yang harus diwaspadai anak karena daya persuasinya memenga-ruhi anak. Red dari MI dan Ant

Jakarta  – Naskah Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, baik yang disusun Komisi I DPR maupun Badan Legislasi DPR belum berpihak pada perlindungan anak. Salah satu hal yang tidak berpihak pada kepentingan perlindungan anak adalah bagian tentang iklan.

Ketua Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), B Guntarto di Jakarta, Rabu (5/7) mengatakan, iklan adalah materi yang harus diwaspadai oleh anak karena daya persuasinya yang dapat memengaruhi anak yang belum tumbuh daya kritisnya dalam mengonsumsi isi siaran. Dia menduga Baleg telah menghapuskan kata “rokok” pada ketentuan tentang iklan yang dilarang.

Padahal, naskah yang disusun Komisi I mencantumkan “rokok” sebagai salah satu produk yang dilarang diiklankan melalui media penyiaran. “Pasal 137 ayat (2) huruf (i) pada naskah versi Baleg hanya berbunyi ‘materi siaran iklan dilarang mempromosikan minuman keras dan zat adiktif lainnya’,” tuturnya.

Menurut Guntarto, Komisi I sudah tepat membuat naskah yang melarang iklan rokok bersama-sama dengan minuman keras dan zat adiktif lainnya. “Dalam kajian media dan anak, rokok umumnya dikelompokkan bersama dengan alkohol dan narkoba serta masuk dalam kelompok isi media yang menimbulkan efek negatif atau antisosial,” katanya. Red dari Koran Jakarta dan Ant/E-3

 

Pada saat berdirinya International Amateur Radio Union (IARU) tahun 1925, wilayah nusantara pada saat itu masih dikuasai oleh Belanda, dan pada saat itu tengah berkecamuk Perang Dunia Pertama. Pada saat itu komunikasi antara Netherland dengan Hindia Belanda (julukan untuk wilayah Nusantara) hanya mengandakan saluran kabel Laut yang melintas Teluk aden yang dikuasai oleh Inggris.

Timbul kekhawatiran Belanda atas saluran komunikasi tersebut, mengingat Inggris terlibat dalam perang dunia pertama tersebut sedangkan Belanda ingin bersikap Netral, oleh karenanya dilakukanlah berbagai percobaan dengan menempatkan beberapa stasiun Relay yang atara lain di Malabar, Sumatra, Srilangka dan beberapa tempat lagi.

Radio Malabar berdiri tanggal 5 Mei 1923 merupakan pemancar menggunakan teknologi arc transmitter yang terbesar di dunia. Tampak pada gambar samping adalah dua buah arc transmitter yang besar dengan kekuatan 2400kW yang dibuat oleh Klaas Dijkstra yang bekerja untuk Dr Ir De Groot. Input power pemancar Radio Malabar adalah 3.6 MegaWatt bekerja pada frekuensi 49.2kHz panjang gelombang 6100m dengan menggunakan callsign PMM. Daya untuk pemancar Radio Malabar di bangkit oleh sebuah pembangkit tenaga air buatan Amerika yang terletak di Pengalengan dengan tegangan 25kV.

Radio Malabar merupakan cikal bakal amatir radio di Indonesia dan merupakan radio pertama di Indonesia untuk komunikasi jarak jauh. Frekuensi yang digunakan masih sangat rendah dalam panjang gelombang sangat panjang, tidak mengherankan jika antenna yang digunakan harus di bentang memenuhi gunung Malabar di Bandung Selatan. Sisa-sisa Radio Malabar masih terdapat di sana berupa tiang-tiang antena-antena besar dan tinggi di tengah hutan.

Skema Antenna Radio Malabar Yang Meliputi Gunung

Pada tahun 1925 Prof Dr Ir Komans di Netherland berhasil melakukan komunikasi dengan Dr Ir De Groot yang menggunakan Radio Malabar di Pulau Jawa. Kejadian ini merupakan titik tolak masuknya Komunikasi Radio di Indonesia, dan Pemerintah Hindia Belanda mendirikan B.R.V. (Batavian Radio Vereneging) dan NIROM.

Para teknisi yang bekerja pada kedua instansi ini umumnya adalah orang Belanda dan ada beberapa Bumi putra, terus menekuni sistem komunikasi radio dengan melakukan koordinasi dan eksperiment bersama para Amatir Radio di Dunia. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang di kenal dengan nama Netheland Indice Vereneging Radio Amateur (NIVIRA).

Seorang anggota NIVIRA Bumi Putra dengan Callsign PK2MN, memanfaatkan kemampuannya dalam teknik elektronika Radio untuk membakar semangat kebangsaan, dengan mendirikan stasiun radio Siaran yang diberi nama Solose Radio Vereneging ( SRV) yang ternyata mendapat simpati rakyat.

Keberhasilan ini ditiru oleh beberapa Anggota NIVIRA Bumi putra dengan mendirikan stasiun Radio Siaran serupa, antara lain MARVO – CIRVO – VORO – VORL dll, dan pada tahun 1937 mereka bergabung dengan membentuk Persatoean Perikatan Radio Ketimoeran (PPRK). Perhimpunan ini tidak dilarang oleh kolonial Belanda, karena dengan banyaknya masyarakat memiliki pesawat penerima radio maka mereka akan dapat memungut pajak radio sebanyak¬ banyaknya.

Era pendudukan Jepang di Nusantara telah memusnahkan seluruh perangkat komunikasi radio dan radio siaran yang ada, NIROM di kuasai dan diganti namanya dengan Hoso Kanry Kyoku, kegiatan Amatir Radio dilarang. Namun Amatir Radio bumi putra tetap berjuang dengan melakukan kegiatan secara sembunyi¬-sembunyi guna menunjang perjuangan kemerdekaan dengan membentuk Radio Pejuang Bawah Tanah, dan tak sedikit Amatir Radio yang di penggal karena di tuduh sebagai mata¬-mata Sekutu. Red dari M. Faisal Anwar (YB1PR) & Internet

Komisoner KPI Pusat, Hardly Stefano.

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menolak seluruh gugatan yang diajukan Partai Berkarya dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia kepada Pengadilan Tata Usaha Negara atas Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia nomor 225/ K/ KPI/ 31.2/04/2017 tanggal 21 April 2017. Hal tersebut disampaikan KPI Pusat dalam sidang lanjutan penyampaian jawaban terhadap gugatan Tata Usaha Negara (TUN) antara Partai Berkarya dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia sebagai penggugat dan KPI sebagai tergugat, (4/7).

Melalui kuasa hukum yang dipimpin oleh Sehat Damanik, SH., KPI menyampaikan bahwa dalil gugatan yang disampaikan penggugat sangatlah keliru dan tidak mendasar. Hal ini dikarenakan bahwa, surat edaran bukan obyek sengketa TUN. Selain itu,  Sehat menjelaskan pula bahwa obyek sengketa dalam gugatan ini adalah surat edaran yang melarang lembaga penyiaran menayangkan iklan/ mars/ himne partai politik di luar masa kampanye. Ruang lingkup dari obyek sengketa ini hanya terhadap lembaga penyiaran yang terdiri atas stasiun televisi dan stasiun radio, selaku internal penyiaran. KPI menilai bahwa penggugat tidak memiliki kepentingan untuk mengajukan gugatan TUN terhadap obyek sengketa.

Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Hardly Stefano Pariela menyampaikan bahwa dalam jawaban gugatan tersebut dijelaskan kondisi mendesak yang menyebabkan dikeluarkannya surat edaran. Diantaranya dalam kurun waktu dari tahun 2016 hingga tahun 2017 terdapat partai politik yang sangat gencar mengiklankan mars atau himne partainya di beberapa lembaga penyiaran. Berdasarkan data yang ada ternyata penyiaran iklan partai politik juga hanya diiklankan di lembaga penyiaran tertentu, yang pemiliknya juga merupakan pendiri partai politik yang beriklan tersebut. Penayangan mars atau himne tersebut dilakukan secara masif di beberapa lembaga penyiaran dengan durasi 60 (enam puluh) detik. Mengingat seringnya iklan partai politik tersebut muncul dalam ruang siar, maka timbul keresahan masyarakat yang disampaikan melalui jalur pengaduan ke KPI dengan meminta agar tayangan iklan partai politik dihentikan.

KPI sendiri sudah melakukan beberapa kali pertemuan dengan lembaga penyiaran yang meminta agar dilakukan penghentian atas penayangan iklan partai politik tersebut, namun pada pelaksanaannya iklan tersebut tetap muncul. Beberapa pertimbangan hukum juga disampaikan KPI dalam jawaban gugatan tersebut, diantaranya Undang-Undang nomor 8 tahun 2012, Peraturan KPI nomor 1 dan 2 tahun 2012, serta Undang-Undang nomor 32 tahun 2002.

KPI juga menilai bahwa surat edaran ini tidaklah menyebabkan usaha memberikan pendidikan politik pada masyarakat tercederai karena adanya pembatasan dan pelarangan. “Partai politik tentunya memiliki kebebasan untuk melakukan pendidikan politik pada rakyat dalam bentuk lain, selain penayangan iklan kampanye di televisi dan radio”, ucap Hardly. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, iklan partai politik tidaklah termasuk dalam pendidikan politik.

Hardly menegaskan bahwa surat edaran yang menjadi obyek sengketa tersebut diterbitkan dalam rangka menjaga agar penyiaran yang dilakukan dengan menggunakan frekuensi publik, tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.