Depok - Orientasi lembaga penyiaran terhadap modal mengakibatkan ukuran baik dan buruknya sebuah program yang tampil tergantung pada selera pasar. Sementara alat kontrol yang ada bagi media sangat lemah, baik secara struktural ataupun opini di masyarakat. Hal itu disampaikan KH Ahmad HAsyim Muzadi, Tokoh Nahdlatul Ulama saat dikunjungi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di POndok Pesantren Al Hikam, Depok (23/1). Karenanya Hasyim mengkhawatirkan fenomena kebebasan media yang tanpa kontrol ini. “Jika kondisi ini dibiarkan, maka yang menjadi korban adalah masyarakat. Pragmatisme jadi ukuran dan norma yang diyakini sebagai kebenaran pun menjadi jungkir balik”, ujarnya

Hasyim melihat, ke depan KPI harus menggandeng berbagai tokoh bangsa untuk ikut menyuarakan agenda lembaga ini demi menjaga watak dan kepribadian bangsa yang diam-diam tergerus, salah satunya oleh media penyiaran.  Untuk itu harus ada ukuran yang jelas untuk dipakai KPI, diantaranya regulasi yang kuat untuk penyiaran. “Selain itu orientasi menjaga dunia penyiaran adalah kemaslahatan bangsa”, ujarnya.

Kehadiran KPI sendiri ke kediaman Hasyim Muzadi langsung dipimpin oleh Ketua KPI Pusat Judhariksawan dan didampingi Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad. Sementara komisioner lain yang ikut hadir adalah Bekti Nugroho, Fajar Arifianto, Amiruddin, dan Danang Sangga Buwana. Menurut Judha, masukan dari tokoh-tokoh bangsa seperti Hasyim Muzadi, sangat penting untuk KPI. Apalagi latar belakang Hasyim yang merupakan salah satu tokoh utama organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, diyakini dapat memberikan masukan berharga bagi KPI menata dunia penyiaran agar memberi manfaat yang optimal bagi bangsa.

Hasyim juga memberikan masukan tentang tayangan agama di televisi. Dalam beberapa waktu belakangan memang muncul banyak masukan pro dan kontra pada KPI terkait tayangan-tayangan agama tersebut. Dalam pandangan Hasyim, seharusnya hal-hal yang sudah disepakati sebagai masalah khilafiyah tidak perlu dibicarakan. Karenanya mantan Ketua PBNU ini mengusulkan agar seluruh tayangan agama sebaiknya mendapatkan rekomendasi dari lembaga-lembaga keagamaan masing-masing untuk mengurangi hadirnya keresahan ummat.

Hal lain yang juga jadi sorotan Hasyim adalah eksploitasi seksual yang muncul berbagai tayangan televise, baik itu program siaran ataupun iklan. “Bahkan di iklan-iklan yang  tidak ada hubungannya dengan seks, eksploitasi itu muncul”, sesalnya. Selain itu, tokoh yang pernah maju sebagai calon wakil presiden ini juga menilai banyak tayangan televisi yang merusak sejarah lewat sinetron kolosal. “Kalau mitos difilmkan, silakan saja berimprovisasi. Tapi kalau sejarah, jangan sembarangan membuat jalan ceritanya”, tegas Hasyim. Dirinya memberikan contoh kemunculan kisah Majapahit dan Pajajaran dalam sinetron televisi, yang seharusnya dibuat dengan menjaga keaslian nilai-nilai sejarah. “Sehingga generasi muda kita tidak salah kaprah tentang tokoh-tokoh yang ada di dalamnya”, tambahnya.

Hasyim menyadari betul kekuasaan media saat ini yang demikian dominan. “Bahkan melebihi partai politik dan supra struktur pemerintah”, kata Hasyim.Untuk itu KPI harus segera menggandeng masyarakat untuk memaksa media mengutamakan kemaslahatan bangsa di atas segala-galanya, pungkas Hasyim. 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menjatuhkan sanksi berupa pengurangan durasi selama 30 menit selama tiga hari berturut-turut kepada program siaran “Dahsyat” RCTI. Hal itu ditegaskan KPI Pusat dalam surat sanksi yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Judhariksawan.

Pertemuan pembertitahuan sanksi berlangsung di Gedung KPI Pusat dan mengundang perwakilan dari RCTI pada Kamis, 23 Januari 2014. Sebelum diberikan surat sanksi, Komisioner KPI Pusat S. Rahmat Arifin dan Agatha Lily menyampaikan keputusan pengurangan durasi sesuai dengan ketentuan pasal 79 ayat (3) Standar Program Siaran (SPS) dan hasil rapat pleno KPI Pusat pada 8 dan 17 Januari 2014.

Keputusan KPI itu bersumber dari pengawasan atas siaran “Dahsyat” pada tanggal 20 Desember 2013. Acara itu tayang  pada pukul 07.57 WIB yang mempertontonkan adegan presenter yang mengancam seorang anak, mempermainkan nama anak, serta mengeluarkan anak yang sedang menggunakan sepeda dari studio, menutup pintu studio sehingga anak tersebut menangis. “Kami juga meminta RCTI untuk meminta maaf melalui program itu kepada publik atas pelanggaran yang terjadi dalam program itu,” kata Rahmat.

Terkait keputusan itu, perwakilan RCTI yang hadir, Adji S. Suratmadji dan Syafril Nasution, tidak menyangka dengan sanksi yang diberikan KPI Pusat. Meski begitu, pihaknya tetap menerima apa yang sudah ditetapkan KPI Pusat. “Kami akan membahas keputusan ini terlebih dahulu dengan manajemen sebelum memberikan surat jawaban ke KPI Pusat terkait waktu penjalanan sanksi,” kata Syfaril.

Selama ini, program acara “Dahsyat” memiliki durasi tayang hingga tiga jam lebih. Selain itu, RCTI juga berjanji akan menyampaikan permintaan maaf kepada pemirsa atas pelanggaran acara “Dahsyat” pada tanggal 20 Desember tahun lalu.

“Kami juga akan memberi teguran kepada host dan kameramannya. Selain itu, kami akan memperketat master control acara,” ujar Syafril berjanji. Red

Jakarta - Standar program Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang telah ditetapkan dalam Rakornas KPI 2013 di Bali, harus menjadi rujukan setiap KPI Daerah dalam merencanakan kegiatan selama setahun. Hal tersebut juga dapat dijadikan acuan bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam memberikan anggaran bagi KPID di masing-masing provinsi. Hal tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, saat menemui pimpinan dan anggota Komisi I DPRD Sumatera Selatan di kantor KPI Pusat (21/1).

Judha menilai, penting bagi DPRD untuk mengetahui ke-25 standar program yang telah ditetapkan oleh KPI tersebut. Sehingga, selain untuk memberikan alokasi anggaran, DPRD juga dapat mengetahui sejauh mana capaian kinerja KPID selama ini. Judha mengatakan, selama ini banyak pertanyaan yang muncul dari pemerintah daerah tentang kontribusi yang diberikan KPID terhadap pemasukan daerah. Padahal, terang Judha, KPI bertugas menjaga agar karakter bangsa terjaga dan tidak terjajah oleh virus  yang disebarkan Lembaga Penyiaran lewat berbagai tayangannya, yang justru memiliki ongkos sosial yang lebih besar untuk menanggulanginya. “Kontribusi KPI adalah mencegah munculnya ongkos sosial yang muncul akibat dampak negatif penyiaran”, paparnya.

Ketua Komisi I DPRD Sumatera Selatan, Yuswar Hidayatullah, mengamini pernyataan Judha tersebut. Untuk itu, menurut Yuswar, DPRD Sumatera Selatan telah memberikan peningkatan anggaran bagi KPID Sumatera Selatan di tahun 2014 ini agar dapat bekerja lebih baik lagi. Selain itu, Yuswar juga menyampaikan ke KPI Pusat, hasil pemilihan anggota KPID  Sumatera Selatan periode 2014-2017 yang baru dipilih DPRD.  “Kami mengikuti saran dari KPI Pusat untuk memberikan kesempatan pada komisioner periode lalu untuk kembali menjadi anggota KPID Sumatera Selatan, demi menjaga kesinambungan kerja-kerja KPID ke depan”, ujarnya. Meski demikian, DPRD tetap menguji dengan ketat semua calon anggota KPID tersebut dalam Fit and Proper Test.

Sementara itu, menanggapi usulan KPI Pusat tentang standar progam, anggota Komisi I DPRD Sumatera Selatan lainnya Baihaki Sofyan menyarankan agar KPI Pusat menyampaikan pada Kementerian Dalam Negeri tentang rekomendasi rakornas tersebut. “Agar Mendagri dapat membuatkan nomenklatur tersendiri untuk program-program tersebut, sehingga semua KPID memiliki keseragaman program”, kata Baihaki.

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Rabu, 23 Januari 2013, mengundang sejumlah pakar periklanan dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Dewan Pengawasan Iklan (DPI) dan Asosiasai Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA ) ke kantor KPI Pusat, Jakarta. Pertemuan itu  membahas cara pengiklan agar lebih selektif dalam memasang iklan di program siaran.

Komisioner KPI Pusat Agatha Lily mengatakan agar para pengiklan lebih selektif memilih program siaran yang berkualitas dalam beriklan. Sayangnya, yang terjadi sekarang justru banyak pengiklan yang lebih memilih program atau tayangan yang menurut KPI tidak mengandung nilai positif dan mendidik.

“Pertemuan ini untuk mendiskusikan bagaimana cara agar para pengiklan tersebut lebih memilih beriklan di program-program bermutu. Saya berharap para pengiklan lebih mengedepankan idealismenya,” kata Lily, panggilan akrab Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat tersebut.

Agar harapan itu terwujud, KPI Pusat akan melakukan sosialisasi pada semua pihak terkait dengan iklan di media penyiaran. Hal itu dinilai penting untuk menyampaikan secara langsung tujuan dan maksud yang diinginkan KPI yakni mewujudkan terciptanya siaran yang sehat dan mendidik.

Herry Margono, praktisi sekaligus Anggota DPI yang diundang dalam pertemuan itu, menekankan agar KPI lebih aktif menyosialisasikan programnya kepada para pengiklan. Menurutnya, selama ini, banyak pengiklan yang tidak tahu keberadaan KPI yang terkait iklan dan program siaran. “Jangan lupa, setiap teguran pada program acara yang melanggar juga dipublikasikan dan diberitahukan kepada pengiklan. Ini penting untuk menyadarkan mereka sebelum memasang iklan di tayangan tersebut,” katanya.

Selain itu, Herry juga meminta kepada semua pihak bagaimana akan kesadaran dalam beriklan itu. Menurutnya, jika kesadaran ini sudah kolektif maka akan tercipta pula kontribusi massif. Kemudian, Dia berharap media penyiaran akan mengikuti arus tersebut.

Sementara itu, Ridwan Handoyo, yang juga Anggota DPI menambahkan, masyarakat harus ikut dilibatkan dalam pembekalan nilai-nilai baik dalam bentuk literasi media. “Jika masyarakat diedukasi secara berkesinambungan akan menciptakan masyarakat yang terdidik,” ujarnya.

Sedangkan pakar iklan dan Anggota DPI lain, Fachri Muhammad, meminta KPI untuk memberikan apresiasi para program iklan yang berkualitas. Upaya ini untuk meningkatkan semangat mereka membuat iklan-iklan yang baik dan berkualitas. “Jika kesadaran tersebut sudah memasuki semua level, maka apa yang disebutkan tadi yaitu kontribusi kolektif yang baik akan terwujud,” paparnya.

Dalam pertemuan itu, turut hadir Ketua KPI Pusat, Judhariksawan dan Anggota KPI Pusat, S. Rahmat Arifin. Red

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyadari sepenuhnya bahwa sumber daya frekuensi harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Untuk itu, ketika menjelang Pemilu 2014 ditemukan adanya siaran-siaran politik yang tidak proporsional dan cenderung berpihak pada pilihan politik dari pemilik lembaga penyiaran, KPI telah memberikan sanksi administratif. Ke-tujuh lembaga penyiaran tersebut adalah: TVRI, ANTV, MNC TV, TV One, Global TV, RCTI dan Metro TV .  Sanksi tersebut merupakan salah satu usaha KPI untuk menjaga diutamakannya kepentingan publik oleh lembaga penyiaran, sebagaimana yang diamanahkan oleh regulasi.

Keterangan ini disampaikan Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, menanggapi desakan masyarakat yang diwakili oleh Gerakan Frekuensi Milik Publik, yang meminta KPI bersikap tegas pada stasiun televisi yang dinilai tidak netral pada aksi di depan kantor KPI Pusat (16/1). Menurut Judha, KPI sendiri sudah menjalin kerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Pers, yang kemudian menggabungkan diri dalam sebuah gugus tugas (task force) pengawasan penyiaran pemilu. KPI telah membuat tim pemantauan khusus yang mengawasi muatan siaran politik dan pemilu, pada momen pemilu 2014 ini. Hal ini juga untuk menguatkan basis data dari tim gugus tugas dalam melakukan kajian dan penjatuhan sanksi atas setiap pelanggaran.

Sebagai tindakan preventif, sebelum menjatuhkan sanksi KPI memberikan surat edaran  bagi lembaga penyiaran tentang penggunaan spektrum frekuensi untuk kepentingan publik. KPI  juga mengingatkan mereka agar memperhatikan dan menaati seluruh ketentuan hukum terkait kewajibannya menjaga netralitas dan larangan penggunaan media penyiaran untuk kepentingan golongan tertentu sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang penyiaran dan P3SPS.

Sementara itu, menindaklanjuti rekomendasi Rapim KPI 2013, KPI membuat rancangan surat keputusan yang mengatur pemanfaatan lembaga penyiaran untuk kepentingan publik. KPI meyakini, dengan banyaknya masukan dari berbagai pemangku kepentingan penyiaran baik dari lembaga penyiaran, pemantau media, pengawas pemilu ataupun partai politik sendiri,  aturan yang tengah dilakukan finalisasi ini dapat disahkan dalam waktu dekat.

Lebih jauh Judha mengatakan, langkah terdekat yang akan diambil oleh KPI adalah meminta fatwa pada Mahkamah Agung untuk mendapatkan tafsir hukum terhadap pengertian kampanye sebagaimana yang disebut dalam undang-undang nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu. Menurut Judha,  tafsir hukum ini dibutuhkan karena KPU, Bawaslu dan lembaga penyiaran menilai bahwa pengertian kampanye merupakan akumulasi dari berbagai kegiatan yang disebut dalam undang-undang pemilu. Sementara, tambah Judha, secara sosiologis dan pendekatan hukum progresif kampanye dapat didefinisikan berdiri sendiri atau tidak akumulatif.  Jika sudah didapatkan tafsir hukum dari MA, ujar Judha, sinergi KPI, Bawaslu, KPU dan Dewan Pers akan lebih mudah untuk menertibkan lembaga penyiaran dari pemanfaatan untuk kepentingan politik para pemiliknya.

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.