- Detail
- Dilihat: 6952
Batam - Selain menjelaskan tentang literasi media, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Judhariksawan menjelaskan tentang pentingnya penyiaran di kawasan perbatasan. Judha mencontohkan mudahnya masyarakat kawasan perbatasan seperti Batam yang begitu mudah dalam mendapatkan frekuensi siaran televisi radio dari neger tetangga, Singapura dan Malaysia. Namun kesulitan dalam mendapatkan siaran dari lembaga penyiaran Indonesia.
“Kondisi teman-teman kita di kawasan perbatasan seperti sebuah ironi. Kita yang berada di kota-kota besar cukup dengan antena UHF untuk mendapatkan acara dari lembaga penyiaran Indonesia dan menggunakan parabola untuk menangkap siaran asing. Tapi teman-teman di perbatasan malah sebaliknya, hanya dengan antena UHF untuk mendapatkan tayangan asing dan harus menggunakan parabola untuk memperoleh siaran dari dalam negeri,” kata Judhariksawan dalam pembukaan acara literasi media dan Rapat Koordinasi Penyiaran Perbatasan KPI di Hotel Planet Holiday, Batam Kepulauan Riau, Selasa, 17 Juni 2014.
Mudah diterimanya siaran asing oleh warga perbatasan, menurut Judha, karena luberan frekuensi dari negara tetangga. Indonesia yang menganut kebijakan langit terbuka (open sky policy) tidak boleh menghalangi frekuensi dari negara tetangga yang masuk ke wilayah Indonesia. Perlahan-lahan penduduk perbatasan akan nyaman dalam menerima penyiaran dari negara tetangga karena frekuensi yang meluber diperoleh dengan mudah sedangkan untuk mendapatkan siaran dalam negeri membutuhkan perangkat peralatan teknologi tambahan.
“Secara sekilas ini sepele, tapi kalau kita runut dan renungkan. Ini merupakan embrio dan potensi ancaman perubahan ideologi, ancaman terhadap budaya, ketahanan nasional kita. Adanya nilai-nilai yang disebarkan melalui media penyiaran tadi. Ini artinya media penyiaran adalah sarana yang strategis untuk menyampaiakan gagasan yang inklusif kepada pemirsanyanya,” ujar Judha mengingatkan.
Judha menambahkan, KPI menganggap frekuensi penyiaran yang meluber dari negara tetangga harus dipikirkan bersama oleh seluruh elemen terkait. Siaran yang meluber dari negara tetangga yang diterima penduduk perbatasan tidak bisa dianggap sepele, karena lambat laun akan mengubah pandangan ideologi, struktur budaya, karakter bangsa di kawasan perbatasan.
Langkah yang diambil, menurut Judha, sejak tahun lalu KPI membentuk Gugus KPID Perbatasan yang terdiri dari 12 daerah perbatasan dan disertakan dalam rapat koordinasi penyiaran perbatasan dan beberapa dari kementerian terkait dan lembaga negara lainnya. “Kita berharap ada langkah strategis setelah rapat koordinasi ini, tidak hanya terkait isi siaran,” harap Judha.
Lebih lanjut Judha menerangkan, persoalan penggunaan luberan frekuensi di daerah perbatasan terkait masalah teknologi yang digunakan masing-masing negara. Lembaga telekomonikasi internasional atau International Telecommunication Union (ITU) selaku lembaga yang mengatur penggunaan frekuensi dunia mengalokasikan frekuensi untuk Indonesia dan negara lainnya sama.
Indonesia masuk dalam Region 3 Asia bersama negara-negara lainnya. Artinya frekuensi yang dialokasikan untuk Indonesia dan negara lainnya sama. Judha menambahkan, ketika di daerah perbatasan ada ketimpangan teknologi, maka bisa dipastikan alokasi frekuensi itu digunakan dengan mudah oleh negara yang teknologinya lebih maju.
“Kemudian dinotifikasi ke ITU sebagai penggunaan suatu negara. Pada saatnya nanti Indonesia tidak lagi bisa menggunakannya. Krn ITU menggunakan prinsip siapa yang duluan datang dan menggunakan dialah yg mengendalikan. Oleh karena itu, persoalan perbatasam bukan hanya persoalan isi siaran, di sana juga soal infrastruktur di dalamnya,” papar Judha.
Sedangkan Wakil Gubernur Kepulauan Riau Soerya Respationo dalam sambutannya mengatakan, kesulitan akses informasi dari lembaga penyiaran dalam negeri oleh warga perbatasan patut menjadi kegelisahan bersama. Menurutnya dampaknya akan terasa di masa yang akan datang, karena media penyiaran dapat menjadikan stimulus perkasa yang dapat mempengaruhi pemirsanya.
Selaku pimpinan kepala daerah Kepri, Soerya mengaku mendukung acara rapat koordinasi penyiaran perbatasan. menurut Soerya, khususnya di Kepri, Pemda Kepri memiliki kepedulian dan perhatian yang besar pada pengembangan penyiaran di wilayah perbatasan, khususnya Provinsi Kepri.
“Lembaga penyiaran di Provinsi Kepulauan Riau wajib mengemban misi besar dengan menjadi bagian institusi budaya dan menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah NKRI. Lembaga penyiaran menjadi ujung tombak bahkan arus utama dalam membangun wilayah perbatasan di Kepulauan Riau yang penangannya bersama-sama dan kontinyu,” kata Soerya.
Terkait dengan penyiaran perbatasan Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mengatakan Indonesia membutuhkan strategi dalam menanggulanginya. Mahfudz menjelaskan, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membuat tiga langkah, yakni sabuk keamanan (security belt), sabuk kemakmuran (prosperity belt), dan sabuk informasi (information belt). Menurutnya hal itu harus berjalan secara seiringan dalam perkembangan dunia global saat ini.