Surabaya – Kasus pembajakan siaran televisi berlangganan semakin marak. Dua tahun terakhir kasus yang ditemukan Asosiasi Perusahaan Multimedia Indonesia (APMI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencapai 27 kasus pelanggaran yang dikatagorikan pelanggaran hak cipta.

Pelanggaran ini diakibatkan karena perkembangan TV berlangganan sangat pesat. Menurut Media Partner Asia, penetrasi televisi berbayar mencapai 46% pada tahun 2009 (meningkat 9% dari tahun sebelumnya), atau sekitar 47% dari total pelanggan televisi berbayar di dunia. Tahun 2015 diprediksi akan ada setidaknya 400 juta pelanggan televisi berbayar di kawasan Asia Pacific (termasuk Indonesia).

Menurut Handiomono, Head of Legal & Litigation APMI dalam sebuah diskusi Pembajakan Siaran Televisi Berlangganan beberapa waktu lalu, akibat pembajakan konten di Asia pada 2009, total kehilangan pendapatan mencapai USD 2 Miliar atau naik dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Menurut riset Dataxis tampak bahwa kerugian akibat pembajakan tumbuh lebih cepat dibandingkan laju pendapatan yang bisa diraup industri yang sah.

Karena itu, Polri serius untuk menangani kasus ini. Polri siap melanjutkan investigasi dan penindakan hukum secara lebih serius terhadap pelaku penyiaran TV berlangganan illegal. “Karena itu perlu peran aktif dari industri, aparat hukum, maupun pemerintah sebagai pemegang regulasi untuk melakukan tindakan hukum secara nyata dan meluas,” jelas Handiomono.

Kampanye anti pembajakan siaran televisi berlangganan saat ini gencar dilakukan sebagai langkah penting melindungi pertumbuhan siaran televisi berlangganan di Indonesia. Pelaku pembajakan terdiri dari korporasi legal dan individu yang mencoba mengambil keuntungan secara pribadi ataupun korporasinya dengan melakukan pembajakan konten siaran. Rata-rata pelaku individual tidak memiliki ijin usaha ataupun ijin penyiaran. Mereka mendistribusikan saluran premium secara illegal kepada pelanggannya. Sementara beberapa kasus juga dilakukan korporasi resmi sebagai badan usaha dan pemilik ijin siaran dari Kominfo, namun tidak memiliki kerjasama dengan content provider untuk menyiarkan saluran premium yang didistribusikan kepada para pelanggan.

Saat ini, tindakan hukum telah dilakukan APMI dengan memberikan somasi hingga melaporkan kasus tersebut kepihak berwajib. Dari 27 kasus, beberapa diantaranya sudah menghasilkan keputusan hukum, dan ada pula yang masih taraf persidangan seperti yang terjadi beberapa waktu ini di Karanganyar (Jawa Tengah).

Tindakan hukum ini memang penting dilakukan karena dikatakan Handiomono sudah sangat merugikan penyedia layanan TV Berbayar secara resmi. Salah satu contoh kasus adalah penahanan terhadap Daniel, seorang warga Manado, Sulawesi Utara, yang tertangkap tangan melakukan pembajakan siaran premium. Salahsatu perusahaan TV berbayar telah melaporkan aksi kejahatan tersebut ke Polres Manado, dalam hitungan hari tinggal menunggu vonis terhadap Daniel. Soalnya segala bukti-bukti telah terkumpul dan telah melewati beberapa kali proses pengadilan.

Tersangka Daniel dijerat dengan tindak pidana pelanggaran Hak Cipta dan Hak Siar sebagaimana diatur dalam pasal 49 dan 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan atau pasal 25 dan 33 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Hak Siar juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Modus operandi yang dilakukan oleh tersangka adalah dengan menangkap siaran tanpa ijin pemilik dan tanpa ijin pemerintah (IPP – Ijin Penyelenggaraan Penyiaran). Berdasarkan catatan APMI, setidaknya terdapat 695 pelaku usaha televisi berbayar yang meredistribusikan siaran secara ilegal di seluruh Indonesia. Dari angka tersebut, diperkirakan jumlah pelanggan televisi berbayar ilegal di Indonesia mencapai 1,4 juta rumah tangga. Berdasarkan data yang pernah dirilis di 2011 menyebutkan bahwa jumlah pelanggan ilegal mencapai lebih dari dua juta per bulannya. Kerugian yang diterima penyelenggara resmi TV berlangganan mencapai hingga miliaran rupiah setiap bulannya. Red dari Surabayapagi.com

Cirebon- Indonesia mengalami ketidakhadiran atas tiga hal yang dibutuhkan sebuah negara untuk maju dan berkembang. Tiga hal itu adalah ketidakhadiran kepemimpinan, kejujuran dan kepercayaan. Untuk itu, dibutuhkan revitalisasi media penyiaran menghadirkan tiga hal tersebut. Demikian disampaikan Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi I DPR-RI, dalam acara Diskusi Publik Daerah dengan tema Media Penyiaran sebagai Sarana Pendidikan Bagi Masyarakat ,(17/7).

Revitalisasi media penyiaran juga diperlukan untuk menyeimbangkan seluruh peran dan fungsi lembaga penyiaran sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh Undang-Undang Penyiaran. Sehingga,  masyarakat juga mendapatkan manfaat yang sangat optimal dengan kehadiran media penyiaran di tengah mereka.

Sementara itu, komisioner KPI Pusat  Azimah Subagijo menyampaikan peran penting media dalam mengedukasi masyarakat. Selama ini sudah banyak orang yang memanfaatkan media, khususnya penyiaran, menjadi sarana pembelajaran. Namun demikian, harus disadari, pembelajaran ini pun ada dua jenis, yang baik dan buruk. Azimah menyontohkan kasus pembobolan ATM Bank yang ditayangkan modusnya di televisi, ternyata menginspirasi masyarakat yang punya niat jahat untuk melakukan tindakan kriminal serupa. Untuk itu, ujar Azimah, media penyiaran

Media penyiaran ini, menurut Mahfudz, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi masyarakat seharusnya bersyukur karena banyaknya media penyiaran di sekitarnya menjadi berkah untuk mempermudah komunikasi antas masyarakat. Namun di sisi lain, media pun bisa menjadi musibah kalau program siarannya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 

Dalam kesempatan dialog tersebut,  Ketua KPID Jawa Barat, Neneng Athiatul Faiziyah menyampaikan permasalahan penyiaran di  Jawa Barat. Menurutnya, Jawa Barat memang memiliki potensi penyiaran paling besar se-Indonesia. Terbukti dari 2300-an lembaga penyiaran yang berizin, 1300 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Hal ini sangat wajar, ujar Neneng, mengingat jumlah penduduk Jawa Barat memang terbesar se-Indonesia, hingga 49 juta orang. Namun demikian, Neneng berharap kehadiran muatan lokal di lembaga penyiaran harus dirasakan oleh masyarakat. Saat ini, dirinya merasakan betul, tergerusnya karakter bangsa dengan serbuan budaya luar yang masuk lewat penyiaran.

Muatan lokal sendiri, menurut Neneng, bukan sekedar masalah tari-tarian dan kuliner lokal. Ada banyak unsur lain yang bisa dihadirkan di ruang siar masyarakat, terkait muatan lokal. Kewajiban muatan lokal ini menurut perwakilan dari Radio Prima FM, dari Haurgeulis Indramayu, memang mengakomodir keinginan masyarakat banyak. Namun bagi lembaga penyiaran, menghadirkan muatan lokal tidak menjanjikan secara ekonomis. Sebagai contoh, program Tarling di radio tersebut, ternyata digemari oleh pendengar dengan usia 50 tahun ke atas. Meskipun ada pendengar, namun untuk kalangan usia tersebut, ternyata tidak mengundang pengiklan yang strategis.

Dalam diskusi yang juga dihadiri lembaga penyiaran dari Indramayu, kota dan kabupaten Cirebon itu, banyak memberikan masukan bagi KPI dan juga Komisi I DPR RI. Diantaranya kembali mewajibkan relay dari RRI pada setiap peringatan hari-hari nasional, guna menumbuhkan lagi rasa nasionalisme di tengah masyarakat.

Jakarta – 4 stasiun TV (RCTI, SCTV, Trans TV dan PT Cipta TPI) mendapat teguran KPI Pusat terkait penayangan iklan “PT Djarum Edisi Bulan Ramadhan versi merawat orangtua” di stasiun TV tersebut. Iklan di atas dinilai melanggar ketentuan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2012. Hal itu disampaikan KPI Pusat dalam surat tegurannya yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto, Kamis, 25 Juli 2013.

Pelanggaran yang dilakukan dalam iklan itu adalah ditampilkannya bentuk dan strategi promosi yang dibuat oleh produsen rokok, yakni PT Djarum, yang ditayangkan di luar pukul 21.30 – 05.00 waktu setempat. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan siaran iklan dan perlindungan anak dan remaja.

Adapun iklan yang melanggar ditayangkan oleh stasiun RCTI pada tanggal 23 Juli 2013 pukul 17.45 WIB. Stasiun SCTV pada tanggal 23 Juli 2013 pukul 17.47 WIB. Stasiun Trans TV pada tanggal 23 Juli 2013 pukul 12.47 WIB. PT Cipta TPI pada tanggal 23 Juli 2013 pukul 17.53 WIB.

Beberapa waktu lalu, KPI Pusat telah mengirimkan surat No. 389/K/KPI/07/13 tertanggal 16 Juli 2013 perihal peringatan tertulis atas iklan tersebut kepada seluruh stasiun TV. Dalam surat tersebut, KPI Pusat telah meminta Saudara untuk segera melakukan evaluasi internal dengan cara tidak lagi menayangkan iklan tersebut di luar pukul 21.30 – 05.00 waktu setempat

Menurut Mochamad Riyanto, tindakan penayangan iklan tersebut melanggar P3 KPI Pasal 14 dan Pasal 43 serta SPS Pasal 15 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) dan (2).
   
“Kami meminta kepada semua stasiun TV agar menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran, termasuk iklan, dan diharapkan terdapat perbaikan pada program siaran yang sesuai dengan ketentuan P3 dan SPS sehingga program siaran bermanfaat bagi kepentingan masyarakat,” jelas Riyanto. Red

Jakarta – Pemilihan umum 2014 memang masih beberapa bulan lagi. Tapi persiapan menuju pesta demokrasi lima tahunan tersebut mulai galak-galaknya dilakukan berbagai pihak termasuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah satu upaya yang disedang dikerjakan KPI adalah merumuskan pengaturan penyiaran Pemilu 2014 bersama-sama lembaga terkait dalam kegiatan Fokus Grup Diskusi (FGD), Jumat, 27 Juli 2013.

Dalam FGD lanjutan yang berlangsung usai sholat Jumat yang dipimpin langsung PIC Penyiaran Pemilu 2014 KPI, Idy Muzayyad, dibahas persoalan-persoalan yang harus segera dituntaskan seperti ketentuan iklan kampanye, ketentuan pemberitaannya, iklan layanan masyarakat serta fokus pengaturan penyiaran Pemilu.

Diawal acara FGD, berlangsung pemaparan dari beberapa narasumber yakni Komisioner KPI Pusat, Ferry Kurni Rizkiyansyah, Perwakilan ATVSI, Uni Lubis, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), M. Afifuddin, dan Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Amir Effedi Siregar. Acara pemaparan ini dimoderatori Komisioner KPI Pusat, Azimah Soebagyo.

Feri dalam pemaparannya menjelaskan permasalahan sosialisasi dan pendidikan Pemilu bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan partisipasi angka pemilih dalam Pemilu 2014. KPU menargetkan partisipasi masyarakat menembus angka 75%. Angka ini setidaknya lebih tinggi dari partisipasi pemilih dalam Pemilu 2009 lalu yang hanya mencapai 72%.

Kemudian, Uni Lubis, menyampaikan masukan dari ATVSI terkait peraturan Pemilu bagi media penyiaran khususnya televisi. Masukan dari pihaknya sudah dikirimkan ke Dewan Pers dan KPI. Uni juga menceritakan pengalaman di sejumlah Negara mengenai keterlibatan media di negara tersebut ketika berlangsungnya prosesi demokrasi seperti ini.

Sementara itu, Amir Effendi Siregar, pada saat pemaparan, menyoroti soal independensi dan netralitas media dan jurnalis dalam Pemilu mendatang. Menurutnya, ditulis dalam materi presentasinya, media tidak akan bisa 100 persen independen. Namun, semakin tinggi derajat independensi dan netralitasnya, semakin tinggi kredebilitasnya, semakin disukai dan semakin mampu membentuk opini publik.

“Akhirnya, jika ingin menjadi media jurnalis dan media yang baik, independensi dan netralitas harus ditegakkan. Bila tidak, media akan ditinggalkan audiens, bisa mendapatkan sanksi etik dan atau hukum," paparnya di depan peserta FGD yang juga dihadiri sejumlah perwakilan dari stasiun TV dan radio.

Afifuddin menyampaikan pentingnya pendidikan politik bagi pemilih. Dan, pendidikan tersebut wajib juga dilakukan oleh media penyiaran. Hal-hal yang media mesti lakukan antara lain memberikan informasi kepada masyarakat terkait Pemilu secara umum, misalnya himbauan ke masyarakat untuk cek DPS dan lainnya. Kemudian, memberi informasi pada masyarakat atas program-program peserta Pemilu serta melakukanpendidikan pemilih kepada masyarakat secara umum.

“Media juga berfungsi sebagai pemantau sekaligus dipantau. Media itu berfungsi memantau peserta Pemilu, penyelenggara Pemilu, memberitakan aktifitas peserta Pemilu. Selain itu, siaran media menjadi obyek yang harus dipantau oleh publik, misalanya iklan capres yang sudah marak,” kata Afifuddin.

Pada saat sesi tanyajawab, beberapa peserta menanyakan fungsi beberapa media seperti lembaga penyiaran komunitas. Pasalnya, lembaga penyiaran komunitas memiliki peran strategis untuk meningkatkan angka partisipasi masyarakat. Hal ini tidak lepas dari fungsi dan kedekatan media ini dengan komunitasnya. Red

Perkembangan informasi media penyiaran yang pesat berakibat pada beragamnya arus informasi yang muncul dan diterima publik. Saat ini jumlah televisi di Indonesia menurut catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat sampai dengan Mei 2013 sebanyak 2.590 lembaga penyiaran, baik yang telah mendapatkan IPP Tetap, IPP Prinsip maupun Eksisting.

 

Keberadaan media penyiaran yang memproduksi informasi yang begitu besar, di satu sisi memudahkan masyarakat mengonsumsi informasi, tapi di lain, pihak publik juga dibuat bingung dengan meningkatnya informasi tersebut. Akibatnya, mana berita, mana opini, mana yang valid dan objektif sulit dijelaskan. Kemudian, mana informasi bernada provokasi, propaganda, menghujat dan membuat fitnah pun tipis jaraknya. Sulit membedakan antara informasi hiburan dengan pendidikan. Itu semua trkesan bercampur aduk dalam kanalisasi informasi yang belum ditata secara baik.

 

Fenomena tersebut mestinya diberikan perhatian serius, terutama terhadap media televisi yang memiliki pengaruh luas dan menggunakan frekuensi publik. Apalagi, dewasa ini penetrasi publik terhadap TV cukup tinggi.

 

Di Indonesia, dari data Nielsen menunjukkan pada tahun 2012 pertumbuhan konsumsi media televisi (94 persen), mobile phone (60 persen), internet (29 persen), radio (25 persen), surat kabar (13 persen), film (13 persen), tabloid (7 persen), dan majalah (6 persen). Data tersebut menunjukkan televisi masih menduduki tempat utama dari konsumsi masyarakat di antara media lainnya.

 

Konsentrasi masyarakat terhadap TV yang tinggi bukan tak mungkin akan membuat publik semakin bingung. Bahasa lain, bukan malah tercerahkan penontonnya. Malah menimbulkan "kegaduhan" di tengah realitas sosial. Media mana yang dapat menjadi rujukan atas suatu informasi yang dahsyat itu? Bahkan, tak jarang suatu peristiwa didapat publik dengan beragam versi baik data, analisis, maupun paparan media. Informasi yang berseliweran telah membingungkan masyarakat, siapa dan mana yang pantas dijadikan rujukan atau bahkan tuntunan.Di lapangan kita seringkali mendengar pendapat atau lebih tepat keluhan masyarakat tentang perkembangan media televisi. Sekarang, informasi yang diproduksi televisi (TV) cepat tapi kadang membuat pusing, mengaduk-aduk emosi, membikin masyarakat marah, hiburan tidak jelas tentang pesan pendidikan/moral yang penting tertawa, serta humor melecehkan fisik seseorang, dan lain-lain. Tayangan media yang jauh dari nilai-nilai kebangsaan, yakni filsafat dan ideologi bangsa, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sejatinya telah diminimalkan.

Belum Maksimal

 

 

 

Harus diakui kini kebutuhan masyarakat akan media sangat tinggi. Namun begitu, pengaturan terhadap informasi yang pantas didapatkan masyarakat belum dikelola secara optimal oleh negara atau lembaga yang memiliki kompetensi. Tujuannya, supaya masyarakat tercerahkan dengan informasi media televisi, bukan malah kian dibuat bingung khalayak.

 

Terhadap pelayanan publik di media penyiaran memang tak dapat dipungkiri hingga kini masih belum maksimal dirasakan. Dominannya kepentingan bisnis-politik, orientasi kepentingan kelompok yang masih menguat, dan masih minimnya keberpihakkan sosial, menjadi tantangan tersendiri bagi terpenuhinya kebutuhan frekuensi publik tersebut.

 

 

Oleh karenanya, kondisi tersebut sewajarnya diberikan catatan dan koreksi sebab hal tersebut tak sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang mengamanahkan agar industri penyiaran memberikan pelayanan utama pada masyarakat di atas kepentingan ekonomi, bisnis, pribadi, maupun golongan. Hal ini mengingat, frekuensi yang digunakan industri penyiaran adalah milik publik dan TV menjangkau berbagai ruang. Itu artinya, kebutuhan akan frekuensi sebesar-besarnya bagi kepentingan publik luas.

 

 

Saya berpikir, sembari mengupayakan terwujudnya frekuensi publik dengan maksimal baik melalui pendekatan regulatif-politis, melakukan negosiasi dengan industri penyiaran, bekerja sama dengan pemerintah dan stakeholder lain, tampaknya perubahan baru perlu kita gagas untuk mempercepat kebutuhan frekuensi publik bisa terlaksana.

 

 

Dalam bayangan saya, penting adanya frekuensi untuk public service content. Yaitu, layanan kepada publik melalui media televisi dengan channel khusus untuk informasi emergensi, sosialisasi penanggulangan bencana alam, informasi pendidikan, soal penegakan hukum, sosialisasi tentang pemberantasan korupsi, informasi mengenai perlindungan anak dan perempuan, topik tentang perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan lain-lain termasuk layanan kesehatan masyarakat. Mengapa hal itu dilakukan? Alasannya, agar masyarakat lebih cepat mendapatkan informasi yang dikelola secara khusus. Yaitu, terpenuhinya kebutuhan akan layanan informasi, edukasi melalui media televisi yang valid, objektif.

 

Channel tersebut dikelola oleh negara melalui lembaga independen yang diperintahkan undang-undang (UU) supaya terjaga netralitasnya dan tidak ada unsur komersil untuk slot iklan di dalamnya. Semata-mata menjadikan media sebagai sarana informasi dan edukasi. Oleh karenanya, hemat saya perlu dimasukkan salah satu lembaga penyiaran jasa public service content dalam perubahan UU Penyiaran yang sampai sekarang masih dalam proses judicial review di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). ***

 

Mochamad Riyanto Rasyid

Ketua KPI Pusat

*dimuat di harian Suara Karya

 

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.