Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melayangkan surat peringatan kepada 11 stasiun televisi terkait penayangan iklan “Sutra versi Biliar”. Menurut penilaian KPI Pusat, setelah dianalisis, siaran iklan “Sutra Versi Biliar” yang ditayangkan oleh sejumlah stasiun televisi, tersebut tidak memperhatikan pembatasan muatan seksual, ketentuan siaran iklan, serta norma kesopanan dan kesusilaan.

Hal itu dijelaskan dalam surat peringatan KPI Pusat kepada 11 stasiun televisi (ANTV, Global TV, Indosiar, Metro TV, PT Cipta TPI, RCTI, SCTV, Trans TV, Trans 7, TV One dan TVRI) yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto, Selasa, 9 Juli 2013.
 
Pada siaran iklan tersebut ditampilkan eksploitasi tubuh bagian dada dari 3 (tiga) talent wanita. Setelah adegan merapikan bola biliar, kamera menyorot secara medium shot tubuh bagian dada dari para talent wanita tersebut sehingga terlihat belahan dadanya.

Sebelumnya, KPI Pusat telah menerima surat No. 0055/UM-PP/V/2013 tertanggal 16 Mei 2013 dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) perihal tanggapan P3I terkait TVC Sutra. Dalam surat tersebut P3I berpendapat bahwa iklan tersebut terdapat adegan yang terlalu vulgar/erotis dan menampilkan eksploitasi daerah dada wanita, sehingga  melanggar Etika Pariwara Indonesia Bab IIIA No. 1. 26 (Pornografi dan Pornoaksi). Selain itu, pada iklan tidak terdapat tanda peringatan/spot warning sehingga melanggar SK Menteri Kesehatan RI No. 386/Men.Kes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Bagian B No. 1.3.3, yaitu iklan kondom harus disertai spot “Ikuti petunjuk pemakaian” (surat terlampir).
 
Mochamad Riyanto menjelaskan, keputusan KPI Pusat memberi peringatan tertulis bertujuan agar semua stasiun televise melakukan evaluasi internal dengan cara melakukan editing pada adegan dalam siaran iklan sebagaimana yang dimaksud di atas dan mengikuti ketentuan sebagaimana yang dimaksud P3I bila stasiun televisi tersebut telah menayangkan iklan tersebut. “Bagi stasiun televisi yang tidak atau belum menayangkan siaran iklan tersebut, surat peringatan ini bertujuan sebagai informasi bila suatu saat hendak menayangkan iklan tersebut,” katanya.

KPI Pusat, lanjut Riyanto, juga meminta kepada semua stasiun televisi agar menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran, termasuk iklan, dan diharapkan terdapat perbaikan pada program siaran yang sesuai dengan ketentuan P3 dan SPS sehingga program siaran bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.

“Kami akan melakukan pemantauan atas penayangan iklan tersebut. Bila ditemukan adanya pelanggaran terhadap P3 dan SPS, kami akan memberikan sanksi administratif,” tegasnya. Red

Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau kepada media untuk mengurangi tayangan yang mengandung unsur kekerasan, lawakan konyol, hingga ramalan.

“MUI tetap mengharapkan agar berbagai media massa televisi dan radio atau media cetak tidak menyiarkan tayangan yang bermuatan ramalan, kekerasan baik fisik maupun psikis, lawakan berlebihan (konyol), dan cara berpakaian yang tidak sesuai dengan akhlaqul karimah,” kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta, Senin, 8 Juli 2013.

Ma’ruf menambahkan, seperti tahun-tahun sebelumnya MUI akan tetap melakukan pemantauan terhadap berbagai siaran media massa elektronik (TV dan radio) sebagai bentuk tanggung jawab ulama dalam mengawal dan menjaga akhlak bangsa.

Dalam hal tersebut, MUI bekerja sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) supaya tayangan-tayangan yang dianggap berpengaruh negatif dilaporkan ke KPI dan bila tidak digubris akan dilaporkan ke polisi.

“MUI juga mengajak seluruh organisasi lembaga Islam khususnya lembaga pendidikan untuk mengisi bulan Ramadan agar lebih bermakna dengan melakukan pengayaan nilai dan khasanah Ramadan sebagai bulan penuh berkah,” katanya ditulis malangonline. Red

Jakarta - Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Hery Chariansyah, mengatakan mayoritas anak menjadi perokok lantaran terpengaruh iklan di televisi.

"Iklan rokok begitu massif melakukan promosi di media penyiaran yang bertujuan menjerat anak menjadi perokok pemula," kata Hery dalam diskusi di kantor Yayasan Kanker Indonesia, Kamis, 4 Juli 2013.

Menurut Hery promosi rokok di media penyiaran seperti televisi dan radio sering mengasosiasikan rokok dengan citra keren, gaul, percaya diri, setia kawan dan macho. Hal ini dinilainya merupakan rangkaian diseminasi pesan sistematis dan taktik pemasaran yang menyesatkan.

Tak adanya larangan iklan rokok di media penyiaran, menurut Hery, membuat anak dan remaja secara terus menerus mendengar kampanye-kampanye dari industri rokok. Penyampaian pesan yang berulang-ulang membuat individu anak dan remaja mengingat isi pesan dalam iklan.

"Anak dikondisikan untuk menganggap rokok sebagai hal biasa yang mampu merepresentasikan dirinya sesuai dengan citra dalam iklan yang diinginkan."

Berdasarkan data Lentera anak, 70 persen lebih perokok mulai merokok pada usia 19 tahun. Ada kecenderungan jumlah perokok anak meningkat dua kali lipta dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun.

Akhir 2012 lalu, Komisi Nasional Perlindungan Anak telah melakukan penelitian dampak iklan rokok di televisi terhadap minat anak untuk merokok. Dari 10 ribu anak usia Sekolah Menengah Pertama di 10 kota ditemukan bahwa 93 persen anak mengetahui dan tertarik iklan rokok di media televisi. Sebanyak 34 persen dari 10 ribu anak mengaku merokok karena tertarik saat acara musik.

Tingginya pengaruh media televisi dan radio terhadap minat anak merokok ini, menurut Hery, harus segera dihentikan. "Membiarkan iklan rokok patut disebut tindakan menjual generasi muda pada industri rokok."

Padahal menurut Hery, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 sudah mengamanahkan negara untuk melindungi anak termasuk dari bahaya rokok. Alasannya sesuai Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan rokok dengan tegas disebut sebagai zat berbahaya karena bersifat adiktif.

Lentera kata Hery mendesak pemerintah untuk mengeluarkan aturan yang melarang iklan rokok di media penyiaran. Momen ini bisa diambil dari revisi Undang-Undang Nomor 32 tentang Penyiaran yang tengah dibahas di Komisi Penyiaran Dewan Perwakilan Rakyat. Hery menyatakan Lentera kecewa lantaran larangan iklan rokok ini belum masuk dalam draft revisi yang tengah dibahas. Red dari Tempo

Jakarta - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma`ruf Amin mengatakan pihaknya akan melakukan pemantauan terhadap stasiun televisi dan radio selama bulan suci Ramadhan.

"MUI akan melakukan pemantauan terhadap tayangan televisi dan radio. Kemudian akan diberi nilai," ujar Ma`ruf dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 8 Juli 2013.

Pemantauan tersebut, lanjut dia, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab ulama dalam mengawal dan menjaga akhlak bangsa.

Dia menyampaikan bahwa MUI memberikan apresiasi kepada stasiun televisi dan radio yang telah mengisi siaran Ramadhan yang sesuai dengan nilai akhlakul kharimah atau akhlak yang baik sehingga tercipta situasi Ramadahn yang khusyuk dan khidmat.

"MUI tetap mengharapkan agar media massa tidak menyiarkan tayangan yang bermuatan ramalan, kekerasan, lawakan berlebihan, serta cara berpakaian yang tidak sesuai dengan akhlakul kharimah," kata Ma`ruf Amin menegaskan.

MUI juga menyerukan kepada masyarakat untuk meningkatkan ibadah dan amal saleh.

"Untuk seluruh organisasi atau lembaga Islam khususnya lembaga pendidikan untuk mengisi Ramadhan agar lebih bermakna dengan melakukan pengayaan nilai dan program keutamaan seperti tadarus Al Quran, pesantren kilat, kursus keagamaan dan lainnya," kata Ma`ruf Amin ditulis antara.

Jakarta - Sejumlah pihak amat berharap akan keberadaan payung hukum yang melarang iklan rokok. Harapan ini sempat membuncah tatkala muncul butir larangan iklan rokok dalam draf revisi UU Penyiaran yang tengah digodok DPR. Namun belakangan diketahui larangan tersebut urung dicantumkan.

Jika disetujui, draf ini akan menggantikan UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran karena mengikuti perkembangan hukum dan norma terbaru. Sebenarnya, pelarangan iklan rokok secara menyeluruh sudah dimuat dalam draft awal revisi UU yang disiapkan oleh Komisi I DPR.

Namun menurut Direktur Eksekutif Lentera Anak, Hery Chariansyah, ketika draft RUU ini masuk dalam pembahasan di Badan Legislatif (Baleg) DPR sekitar bulan Oktober 2012, terjadi perubahan norma. "Yang awalnya melarang (iklan rokok) menjadi pembatasan. Sehingga tidak berbeda dengan norma pada UU Penyiaran yang lama," kata Hery dalam acara Media Briefing Menyoal Isu Iklan Rokok dalam RUU Penyiaran yang diselenggarakan di Yayasan Kanker Indonesia, Jl Dr. Sam Ratulangi No.35, Jakarta Pusat, Kamis, 4 Juli 2013.

Hal tersebut disampaikan Hery berdasar salinan draf revisi UU Penyiaran yang diperolehnya.

Menanggapi hal itu, Kartono Muhammad, ketua Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) menyebut Baleg tidak konsisten. "Apalagi Undang-undang Kesehatan menyatakan bahwa rokok itu adiktif," kata Kartono.

Pemerintah sebelumnya telah melakukan pembatasan iklan rokok, yaitu hanya membolehkan penayangannya di media penyiaran mulai pukul 21.30 sampai 05.00. Tujuannya untuk memberi perlindungan kepada anak-anak, dengan asumsi anak-anak sudah tertidur pada jam-jam tersebut.

Sayangnya, pembatasan jam penayangan tersebut dirasa tidak efektif. Global Youth Tobacco Survey tahun 2006 menunjukkan bahwa 83 persen anak dan remaja melihat iklan rokok di televisi. Demikian juga hasil penelitian Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2007 yang menemukan bahwa 99,7 persen anak-anak melihat iklan rokok di televisi.

"Kalau alasannya karena belum ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa rokok boleh diiklankan, itu kan sebelum ada UU Kesehatan. Sekarang sudah ada keputusan MK bahwa rokok adalah zat adiktif, jadi harusnya diikuti," tegas Kartono.

Sebelumnya, uji materi mengenai pasal 113 dan 116 Undang-undang Kesehatan mengenai tembakau sebagai zat adiktif telah ditolak oleh MK. Dengan demikian, tembakau tetap digolongkan sebagai zat adiktif. Kartono lantas menyoroti bahwa berbagai zat adiktif lain di Indonesia sudah dilarang iklannya, kecuali rokok.

"Mengapa industri miras dan susu formula dilarang beriklan, tetapi rokok tidak? Padahal susu formula saja bukan zat adiktif. Mengapa Badan Legislatif mengurusi iklan rokok? Mengapa rokok diistimewakan dalam hal ini?" ucap Kartono mempertanyakan. Red dari detikhealth

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.