- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 33811
Depok - Pemanfaatan konten media sosial sebagai materi dalam program siaran televisi harus mendapatkan pengaturan yang lebih rinci, mengingat konvergensi media saat ini kerap kali mengabaikan aturan yang sudah ada. Dalam program infotainment di televisi misalnya. Kerap kali mengambil konten dari saluran media sosial artis untuk diolah sedemikian rupa dengan penambahan narasi tertentu, tanpa ada wawancara ulang dengan artisnya. Bagaimana pun juga, ada aturan yang berbeda antara penayangan konten di media sosial dan lembaga penyiaran.
Bahasan ini mengemuka dalam Diskusi Kelompok Terpumpun/ Focus Group Discussion (FGD) Informan yang digelar dalam rangka Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode pertama tahun 2021 untuk wilayah Jakarta, (28/5). Dalam pembukaan FGD tersebut, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio mengungkap tantangan bagi KPI ke depan, baik dalam menyongsong digitalisasi penyiaran ataupun konvergensi media yang sudah berlangsung saat ini.
Dunia penyiaran dan media sosial saat ini saling bersimbiosis untuk tetap eksis dalam industri media. Banyak tayangan media sosial yang viral, diangkat oleh televisi di layar kaca, ujar Agung. Misalnya pernikahan artis atau seleb media sosial yang disiarkan di televisi. Agung memperkirakan fenomena siaran seperti ini ke depan akan semakin banyak. Untuk itu, dia menilai, harus ada sinergi antara pemerintah yang saat ini memiliki kewenangan dalam pengaturan media sosial dengan KPI yang berwenang mengawasi layar kaca, tambahnya.
Hal lain yang terungkap dalam FGD Informan yang digelar KPI bekerja sama dengan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) adalah tentang opini redaksi yang dinilai kerap kali muncul dalam pemberitaan. Menurut informan ahli untuk kategori program berita, dalam sample program yang dinilai pada riset ini, ditemukan narasi pemberitaan yang tidak didukung fakta. Baik fakta berupa data ataupun pendapat narasumber. Memang redaksi dapat memiliki pendapat atau opini sendiri, namun harus dinyatakan oleh pihak lain dalam hal ini narasumber.
Catatan lain dalam kategori program berita adalah tidak menyajikan tayangan yang keji. Informan ahli menemukan adanya berita yang memuat konten sadis, seperti suami membakar istri dan perempuan yang memakan kucing. Jika mengutip teori kultivasi dalam komunikasi, berita seperti ini dikhawatirkan dapat menginspirasi masyarakat untuk melakukan tindakan serupa.
Kategori lain yang juga dibahas dalam FGD adalah program anak, variety show, berita, talkshow, religi dan wisata budaya. Riset Indeks yang digelar KPI ini berlangsung secara bergiliran di sebelas kota lainnya, yaitu Medan, Padang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Denpasar, Makassar dan Ambon. Dalam FGD ini, para informan ahli berkesempatan menyampaikan konfirmasi penilaian atas sample program yang menjadi obyek riset.
Sebagai sebuah program prioritas nasional, diharapkan dari riset ini angka indeks untuk semua kategori dapat mencapai angka tiga. Pada Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun 2020, nilai rata-rata yang diperoleh sudah mencapai 3,14. Namun masih ada tiga kategori yang mendapatkan angka di bawah standar yang ditetapkan KPI, yakni infotainment, sinetron dan variety show.