Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menghadiri pertemuan dengan Ketua dan Anggota Wantimpres, Menteri Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, TVRI, MNC, SCTV dan Indosiar membahas diseminasi informasi terkait penguatan ideologi pancasila untuk menanggulangi konten bermuatan sara, radikalisme, hoax, ujaran kebencian, termasuk konten yang melanggar UU (Undang-undang) tentang informasi dan transaksi elektronik serta KUHP, di Kantor Wantimpres, Selasa (17/4/2018).


Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mendukung upaya Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan penguatan karakter bangsa di masyarakat. Upaya tersebut sejalan dengan apa yang sedang dilakukan KPI yakni membangun karakter bangsa yang selaras dengan ideologi Pancasila melalui penyiaran yang sehat dan bermartabat.

Dukungan tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menghadiri pertemuan dengan Ketua dan Anggota Wantimpres, Menteri Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, TVRI, MNC, SCTV dan Indosiar membahas diseminasi informasi terkait penguatan ideologi pancasila untuk menanggulangi konten bermuatan sara, radikalisme, hoax, ujaran kebencian, termasuk konten yang melanggar UU (Undang-undang) tentang informasi dan transaksi elektronik serta KUHP, di Kantor Wantimpres, Selasa (17/4/2018).

Menurut Yuliandre Darwis, KPI Pusat memiliki sejumlah program penguatan dan pengembangan karakter bangsa seperti literasi media, pembentukan forum masyarakat peduli penyiaran, hingga bimbingan teknis (bimtek) atau Sekolah P3SPS KPI. “Program-program tersebut mendorong penyadaran masyarakat untuk lebih bijak, berpikir positif dan bertindak sesuai dengan nilai dan etika bangsa ini,” katanya.

Upaya peningkatkan kualitas dan pengembangan karakter bangsa juga dilakukan KPI Pusat melalui program survey indek kualitas yang bekerjasama dengan 12 perguruan tinggi. Hasil survey ini menjadi kajian dan masukan lembaga penyiaran dan juga kalangan akademis bahwa program yang diinginkan publik adalah yang memang memiliki nilai, mendidik dan mencerdaskan.

Hal lain yang tak kalah pentingnya, kata Andre, adalah mendorong lembaga penyiaran dan seluruh stakeholder terkait mengembangkan konten-konten positif. Produksi konten positif yang berkesinambungan dapat meminimalisir dan menyaingi penyebaran konten-konten negatif atau pun informasi hoax.

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah mengatakan, selain yang disampaikan Ketua KPI Pusat, KPI memiliki program pembangunan karakter dan nilai Pancasila melalui gerakan “Indonesia Bicara Baik”. Gerakan untuk mengajak masyarakat untuk berbicara baik ini dimulai dari kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), tempat KPI menyelenggarakan Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-85 dan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2018, beberapa waktu lalu.

“Kami melibatkan banyak instansi, komunitas, lembaga swadaya masyarakat dan dunia pendidikan dalam gerakan “Indonesia Bicara Baik” ini. Dengan turun ke jalanan, gerakan khotbah bicara baik di masjid dan gereja, sosialisasi di media sosial, Kami ingin memantik kesadaran masyarakat untuk mulai berbicara baik. Itu bagian dari program pengembangan karakter yang kami lakukan,” kata Ubaidillah, usai pertemuan.

Selain itu, KPI juga sudah meminta kepada lembaga penyiaran sesuai amanat UU 32/2002 tentang Penyiaran untuk membuat ILM baik membuat sendiri atau menerima dari luar yang kontennya tentang penguatan ideologi Pancasila, karakter bangsa, semangat nasionalisme, bahaya narkoba, nilai-nilai keluarga, bahaya radikalisme. KPI meminta ILM ditayangkan pada jam-jam produktif, sehingga masyarakat bisa mengambil energi positif dari ILM tersebut.

Sementara itu, Anggota Wantimpres, Agum Gumelar mengatakan, penanaman nilai-nilai Pancasila tidak hanya menjadi jargon tapi menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Upaya ini juga harus didukung oleh semua kalangan termasuk media penyiaran melalui penyajian konten yang sesuai dengan kondisi yang ada sekarang.

“Jangan lagi penyajian konten itu bersifat retorika atau juga doktrin. Cara demikian sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Kita harus menciptakan masyarakat yang memiliki daya tahan terhadap hal-hal yang negatif,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, turut hadir Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin, Ketua Wantimpres, Sri Adiningsih, dan Anggota Wantimpres, Sidarto Danusubroto. ***

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Fraksi Partai NasDem, Selasa (17/4/2018).

 

Jakarta - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Fraksi Partai NasDem, Selasa (17/4/2018). Acara ini dibuka oleh Mayjen TNI (Purn) Supiadin (Anggota Komisi I DPR).

Dalam sambutannya, Supiadin mengatakan bahwa FGD ini penting karena Indonesia sudah memasuki era digital. "Revisi UU No 32 Tahun 2002 didorong oleh fenomena masyarakat yang mulai berubah di era digital," tuturnya.

Dalam FGD yang mengangkat tema "Quo Vadis Sistem Penyiaran; Single Mux, Multi Mux atau Hybrid?" ini, Agung Suprio ikut mendesak RUU Penyiaran segera disahkan. Agung menilai bahwa Indonesia terbilang sebagai negara tertinggal dari negara lain yang telah migrasi ke digital.

"Maka RUU Penyiaran penting untuk segera disahkan. Jika lamban, kita akan menjadi beban bagi negara-negara tetangga perbatasan. Seperti Malaysia dan Singapore yang telah migrasi ke digital," ungkap koordinator Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat ini.

Agung juga menilai bahwa jika tidak segera disahkan, negara akan mengalami kerugian triliunan rupiah. "Negara potensial kehilangan pemasukan negara dari dividen digital," tambahnya.

Acara ini juga dihadiri oleh Sulaeman L. Hamzah (Anggota Baleg RI), Ishadi SK (Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) dan M. Mirdal Akib (Direktur Metro) sebagai narasumber. ***

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, di acara ATVSI. (Foto-foto by KPI/Agung Rahmadiansyah)

 

Jakarta - Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menggelar pertemuan dengan Dirjen PPI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Senin (16/4/2018). Pertemuan yang dimulai jam 13.00 WIB ini membahas tentang masukan ATVSI untuk revisi Peraturan Dirjen PPI No. 22 Tahun 2016, bertempat di Board Room-Financial Club, Graha Niaga Lt. 27, Jl. Jend. Sudirman, Jakarta Selatan.

Dalam pertemuan tersebut, ATVSI memaparkan dua prinsip dasar revisi. Pertama adalah, memperbaiki kekurangan atau kelemahan dari Peraturan Dirjen No. 2 Tahun 2016. Kedua, membuat peraturan Dirjen  baru yang sederhana, efisien, efektif, mudah dalam penerapannya.

Berita terkait:

http://kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34445-kpi-dukung-peringkasan-perizinan-lembaga-penyiaran

Menanggapi hal tersebut, Geryantika, Direktur Penyiaran Kominfo, mengatakan bahwa proses perizinan memang perlu percepatan, hal ini disesuaikan dengan arahan Presiden. "Proses perizinan perlu di percepat, biar investasi tidak terganggu," ujarnya.

Agung Suprio, Komisioner KPI Pusat menilai masukan ini ideal. "KPI mendukung masukan dari ATVSI juga apa yang disampaikan oleh Kominfo. Semuanya ideal, asalkan tidak bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan yang lain," tegas pria yang akrab disapa Agung ini. ***

 

Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia (RI), Achmad Yani Basuki, di Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI Angkatan XXVI di Kantor KPI Pusat di bilangan Jalan Djuanda Jakarta Pusat, Selasa (17/4/2018). (Foto by KPI/Agung Rahmadiansyah)

 

Jakarta -- Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia (RI), Achmad Yani Basuki, berbagi pengalaman, wawasan, regulasi sensor lembaganya, dan hubungan lembaganya dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI Angkatan XXVI di Kantor KPI Pusat di bilangan Jalan Djuanda Jakarta Pusat, Selasa (17/4/2018).

Dalam presentasinya yang berjudul “Nilai Strategis Informasi Sebagai Konten Publikasi”, Yani mengatakan film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin. Karena itu, negara bertanggung jawab memajukan perfilman di Indonesia.

Menurut Yani, film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia Internasional. Oleh karena itu, lanjut Dia, film perlu dikembangkan dan dilindungi.

Di era globalisasi, tambah Yani, film dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari konten negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa.  “Dampak globalisasi membawa kemudahan dalam pertukaran budaya. Film juga disamping menjadi media komunikasi juga menjadi alat peneterasi budaya, berfungsi ganda,” kata Jenderal Purnawirawan bintang dua ini.

Yani menilai bangsa yang lemah komitmen budayanya akan mudah dipengaruhi oleh budaya asing dan cenderung konsumerisme. Perlindungan budaya, menurut Dia, hanya dapat dilakukan dengan membangkitkan kesadaran internal warga masyarakatnya.

Selain itu, Yani menyoroti dampak perkembangan teknologi seperti adanya konvergensi yang melahirkan e-cinema. Hal ini mengakibatkan penyensoran tidak bisa dibebankan hanya kepada LSF semata, tetapi menjadi tanggung jawab juga seluruh pemangku kepentingan. “Perkembangan teknologi ternyata lebih cepat daripada aturannya. Ini menyebabkan tidak bisa dijamah oleh aturan,” katanya.

Yani mendorong adanya literasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi film atau informasi lainnya. “Kesadaran itu dapat dimulai dari orangtua dengan tidak mudah memberi kebebasan kepada anaknya menyaksikan film yang tidak sesuai dengan klasifikasi umur. Orangtua harus tega untuk melarang anaknya,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua LSF ini menegaskan, setiap film yang sudah lulus sensor dari lembaganya kemudian masuk ke layar kaca, aturan yang berlaku adalah ketentuan Komisi Penyiaran Indonesia. ***

Berita terkait:

http://kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34451-peserta-sekolah-p3sps-angkatan-xxviii

 

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, ketika menjadi narasumber acara Media Gathering dan Penyamaan Persepsi yang diselenggarakan Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) di Sentul, Bogor, Sabtu (14/4/2018).

 

Bogor – Lembaga penyiaran diminta tidak menonjolkan fenomena atau fakta tentang ujaran kebencian dan isu SARA khususnya dalam konteks kontestasi politik. Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, ketika menjadi narasumber acara Media Gathering dan Penyamaan Persepsi yang diselenggarakan Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) di Sentul, Bogor, Sabtu (14/4/2018).

Menurut Hardly, yang harus dilakukan lembaga penyiaran ketika banyak beredar informasi mengenai hal itu adalah melakukan negasi jika hal itu merupakan sesuatu yang negatif. “Lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio, harus mampu menempatkan posisi sebagai sumber rujukan informasi yang valid dan berkualitas bagi seluruh masyarakat,” katanya di depan puluhan wartawan yang hadir.

Dengan adanya berbagai rambu dalam memproduksi program siaran, lanjut Hardly, seharusnya tidak ada lagi tempat bagi tampilnya hoax, ujaran kebencian maupun isu SARA melalui media penyiaran.

Hardly mengatakan, ada tiga hal yang menjadi dasar ketika berbicara Pemilu. Pertama, bagaimana penyiaran membangun demokrasi dengan sehat," katanya. Kedua, membangun kondusifitas dengan informasi yang berkualitas dan valid. "Bukan berujaran kekerasaan dan kebencian," ucapnya.

Kemudian, Ketiga, kohesifitas media informasi pendidikan yang menjadi perekat sosial. Dalam kesempatan itu, Ia berharap kepada para pekerja media tetap melakukan verifikasi. "Kita berharap media memberikan sisi ketepatan berita dan pemanfaatan berita," paparnya. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.