Jakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Yuliandre Darwis menilai profesi wartawan atau jurnalis merupakan profesi penuh resiko. Oleh karena itu, profesi jurnalis harus mendapatkan perlindungan hukum demi menjamin keamanan dan kenyamanan mereka dalam menjalankan profesinya. Pandangan tersebut disampaikannya usai diskusi tentang “Kebijakan Redaksi dan Keselamatan Jurnalis” yang diadakan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) di Dewan Pers, Selasa, 14 Februari 2017.

Menurut Andre, kebebasan menjalankan fungsi pers atau kemerdekaan pers dijamin dalam UU Pers No.40 tahun 1999. Perlindungan itu dijamin sebagai hak asasi warga negara. Beberapa hal yang tidak boleh dilakukan terhadap pers nasional yakni adanya penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Kemerdekaan pers juga menjamin hal jurnalis untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

“Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara sangat menghormati profesi jurnalis khususnya di industri penyiaran dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, kami sangat menentang adanya tindak kekerasan atau intimidasi terhadap jurnalis pada saat menjalankan tugas jurnalis. Jika ada tindakan seperti itu adalah bertentangan dengan hukum yang ada,” jelasnya.

Ketua KPI Pusat ini menilai terjadinya tindak kekerasaan terhadap jurnalis disebabkan beberapa hal seperti persoalan independensi media penyiaran serta validitas informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Namun, apapun tindakan kekerasan terhadap jurnalis dalam menjalankan tugasnya tidak boleh dibiarkan. Jurnalis juga mempunyai hak untuk mempertanggungjawabkan pemberitaannya di depan hukum karena wartawan mempunyai hak tolak.

“Kami juga mengharapkan kebijakan yang dibuat setiap media khususnya lembaga penyiaran dapat memberikan rasa aman terhadap jurnalisnya. Oleh karena itu, kami sangat menekankan pentingnya independensi dan validitas informasi yang bisa dipertanggungjawabkan,” kata Yuliandre. ***

Jakarta – Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis meminta semua lembaga penyiaran untuk menghormati aturan di masa tenang sebelum penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017 yang akan berlangsung pada 15 Februari 2017. Masa tenang ditetapkan KPU mulai hari Minggu 12 Februari 2017 hingga Selasa 14 Februari 2017.

Pasal 52 Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2016 tentang Kampanye disebutkan bahwa selama masa tenang media massa cetak, elektronik dan lembaga penyiaran, dilarang menyiarkan iklan, rekam jejak Pasangan Calon, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan Kampanye yang menguntungkan atau merugikan Pasangan Calon .

Menurut Andre, semua lembaga penyiaran harus ikut menciptakan suasana kondusif.  Seperti yang disampaikan KPI dalam surat edaran ke lembaga penyiran terkait masa penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017.

Hal yang harus dilakukan lembaga penyiaran dalam edaran KPI disampaikan yaitu dengan menyiarkan pemberitaan/informasi terkait Pilkada secara berimbang, proporsional dan mengedepankan netralitas. Kemudian, mengutamakan kemaslahatan masyarakat dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak dari setiap pemberitaan, informasi, ataupun program siaran lain yang ditayangkan.

Selain itu, lembaga penyiaran diminta untuk menghindari pemberitaan, informasi, atau program siaran yang menghasut, mengadu domba perseorangan maupun masyarakat, bersifat fitnah, menyesatkan, bohong dan mendiskreditkan pasangan calon atau tokoh politik tertentu.

“Pilkada adalah bagian puncak demokrasi dalam suatu negara. Ukuran aman nyaman dan suka cita adalah sesuatu ukuran akhir dari proses pilkada. Semoga minggu tenang ini membuat kesejukan bagi kita semua untuk menentukan pilihan,” papar Ketua KPI Pusat kepada kpi.go.id. ***

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta seluruh lembaga penyiaran untuk ikut menciptakan suasana kondusif dalam masa peyelenggaraan Pilkada Serentak 2017. Demikian disampaikan KPI Pusat dalam surat edarannya yang ditandatangani Wakil Ketua KPI Pusat ke seluruh lembaga penyiaran, Rabu, 8 Februari 2017.

Upaya yang harus dilakukan lembaga penyiaran, menurut KPI dengan menyiarkan pemberitaan/informasi terkait Pilkada secara berimbang, proporsional dan mengedepankan netralitas. Kemudian, mengutamakan kemaslahatan masyarakat dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak dari setiap pemberitaan, informasi, ataupun program siaran lain yang ditayangkan.

Selain itu, lembaga penyiaran diminta untuk menghindari pemberitaan, informasi, atau program siaran yang menghasut, mengadu domba perseorangan maupun masyarakat, bersifat fitnah, menyesatkan, bohong dan mendiskreditkan pasangan calon atau tokoh politik tertentu.

Mengenai hal-hal lain terkait penyiaran penyelenggaraan Pilkada, KPI Pusat meminta lembaga penyiaran agar tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Edaran yang disampaikan KPI Pusat ini juga ditembuskan ke Presiden Republik Indonesia, Komisi I DPR RI, Menteri Komunikasi dan Informatika, KPU RI, Bawasalu, Dewan Pers dan KPI Daerah seluruh Indonesia. ***

Jakarta - Pers Indonesia harus melakukan konsolidasi guna memastikan akses informasi yang sesuai hak asasi manusia dapat terpenuhi bagi seluruh rakyat Indonesia.  Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Yuliandre Darwis menilai, membanjirnya informasi yang di tengah masyarakat baik itu didapat melalui insitusi pers resmi ataupun media-media sosial yang menjadi kanal-kanal baru bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, merupakan tantangan tersendiri bagi dunia pers saat ini.  Hal tersebut disampaikan Yuliandre di sela-sela peringatan Hari Pers Nasional 2017 di Ambon, (9/2).
 
“Produksi berita-berita hoax atau berita palsu, telah menjadi ancaman bagi kehidupan berdemokrasi kita”, ujar Yuliandre. Untuk itu, sebagai salah satu pilar demokrasi, Pers harus memastikan informasi yang disampaikan ke tengah masyarakat telah teruji akurasi dan validitasnya. “Informasi yang valid dan akurat, akan membantu masyarakat mengambil keputusan yang tepat untuk kesinambungan kehidupan mereka”, ujar Yuliandre.
 
Pria asal ranah Minang ini mengutip pesan dari Presiden Joko Widodo dalam acara yang sama, bahwa media harus tetap menjunjung etika jurnalistik yang menuntut faktualitas, obyektivitas dan disiplin melakukan verifikasi.  Selain itu, Yuliandre berharap pers juga tetap mengedepankan independensi dan menjaga jarak dengan kekuasaan, agar tidak kehilangan daya kritis.
 
“Kita masih tetap membutuhkan hadirnya pers yang sehat agar mekanisme check and balance juga hadir, untuk menghasilkan tatanan demokrasi yang lebih berkualitas”, ujar Yuliandre.  Selain itu, tambahnya, pers Indonesia juga diharap berperan aktif dalam mengawal demokrasi yang memberikan kesejahteraan rakyat dan menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jakarta - Kebutuhan pemenuhan translasi bahasa isyarat pada program siaran di televisi harus mengikutsertakan partisipasi stasiun televisi.  Dalam 7 (tujuh) komitmen yang ditandatangani pemilik televisi saat proses perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran 10 (sepuluh) televisi swasta yang bersiaran jaringan secara nasional, penggunaan bahasa isyarat dalam program siaran berita menjadi salah satunya klausul yang harus dipenuhi. Hal tersebut menjadi bentuk pemberian perlindungan dan pemberdayaan khalayak khusus, terutama kalangan tuna rungu wicara. Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran, Dewi Setyarini menjelaskan hal tersebut dalam Rapat Koordinasi yang dilaksanakan di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan kementerian/ lembaga lainnya. 

Dalam kesempatan tersebut, perwakilan dari organisasi tuna rungu menyampaikan apresiasi pada lembaga penyiaran yang telah menyediakan bahasa isyarat saat penyelenggaraan debat kandidat Pilkada DKI beberapa waktu lalu. Namun demikian, menurut mereka masih diperlukan keseragaman dalam penyediaan bahasa isyarat agar tidak membuat bingung para penyandang disabilitas tersebut. Panji Surya Putra Sahetapy bahkan berpendapat sebaiknya disediakan pula close caption atau tekspada layar televisi untuk memudahkan mereka yang memiliki kesulitan pendengaran untuk mengerti apa yang sedang diperbincangkan di layar kaca. Surya memberikan contoh di beberapa negara yang memiliki aturan kewajiban untuk memberikan close caption pada program siaran tertentu, dan bukan lagi bahasa isyarat.  “Sehingga kebutuhan informasi bagi penyandang tuna rungu wicara dapat terpenuhi”, ungkap Surya. 

Selama ini, penyediaan bahasa isyarat baru dilakukan oleh TVRI dengan adanya dukungan anggaran dari Kementerian Sosial Republik Indonesia. Dewi  menilai, dibutuhkan payung hukum yang dapat memaksa lembaga penyiaran untuk menyediakan secara mandiri perangkat-perangkat kebutuhan informasi bagi khalayak khusus tersebut. Mengingat hal ini menjadi salah satu dari tujuh komitmen yang akan dilaksanakan oleh lembaga penyiaran, KPI akan menjadikannya sebagai bahan evaluasi tahunan atas kinerja penyelenggaraan penyiaran pengelola televisi

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.