- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 19167
Jakarta – Bagaimana bisa 2200 orang menentukan arah konten siaran televisi nasional, sedangkan jumlah penduduk negeri ini mendekati angka 250 juta jiwa. Pertanyaan sekaligus pendapat tersebut banyak memenuhi ruang diskusi ataupun forum penyiaran di manapun termasuk ketika Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) menerima kunjungan Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) di ruang rapat kantor KPI Pusat, di Jalan Djuanda Jakarta Pusat, Senin (28/1/2017).
Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, jumlah responden yang dipakai oleh satu-satunya lembaga rating di Indonesia, Nielsen, untuk menetapkan hasil survey terhadap jenis tontonan yang paling digemari publik perlu dipertanyakan karena tidak sepadan dengan jumlah penduduk Indonesia yang jumlahnya ratusan juta. “Mereka tidak pernah transparan secara metodelogis dengan aktivitas survey di 11 kota tersebut,” katanya di sela-sela pertemuan KPI Pusat dan ATVNI.
Ketua Umum ATVNI, Wishnutama, menyikapi hal itu mengatakan perlu ada audit terhadap lembaga Nielsen. Selama ini dan tidak pernah sekakali Nielsen tidak diaudit. “Hanya di Indonesia Nielsen lembaga rating tidak pernah diaudit. Saya tidak ngerti bagaimana. Nielsen yang beroperasi di Negara lain harus kontra dengan aturan-aturan yang dibuat pemerintah setempat,” kata Wishnu.
Di Australia, kata Wisnu mencontohkan, mereka menganut television audience measurement (TAM) atau yang biasa disebut OzTAM adalah kumpulan dari stakeholder pemerintah yang setiap tahun mereka menunjuk satu lembaga untuk melakukan survey. Hal ini memicu setiap lembaga rating disana ingin menjadi pemenangnya.
Jadi, setiap tahun mereka akan berpikir dan terus melakukan perbaikan agar dapat terus bertahan melakukan survey. “Jika ada lembaga yang tidak fair, mereka akan diaudit oleh pihak berwenang di sana. Cara yang dilakukan Australia dinilai cukup tepat jika diterapkan di Indonesia,” kata Wishnu.
Menurut Wisnu, pihaknya cq lembaga penyiaran tetap membutuhkan rating. Tapi, rating yang diharapkan mereka adalah yang relevan dengan semangat zaman. “Contohnya Indonesia, dengan dua ratusan juta jiwa hanya diwakilkan dua ribu orang. Di Australia dengan penduduk 20 juta cukup relevan dengan respondennya yang 20.000 people meters,” jelasnya.
Di Inggris, lanjut Wishnu, sistem ratingnya lebih bagus lagi. Mereka memiliki lembaga survey yang terpisah dengan lembaga penghitunganya serta satu lembaga lain yang terkait. Kebijakan itu, menurut Wishnu, membuat rating semakin baik.
Menurut Wishnu, lembaga rating yang ada sekarang harus berubah dan melakukan langkah maju mengikuti perkembangan dunia media yang cepat. Kalau tidak, industri tidak akan mendapatkan apa-apa karena mereka sangat tergantung rating. “Untungnya sekarang ini ada digital, yang bisa membuat kami mendapatkan sedikit untung,” katanya dalam pertemuan yang juga dihadiri Wakil Ketua KPI Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin dan Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, Nuning Rodiyah, dan Hardly Stefano.
Dalam kesempatan itu, Wishnu juga berharap Indonesia segera memiliki regulasi yang tepat untuk dunia maya. Menurutnya, dari platform internet seperti google, youtube, dan facebook, seharusnya negara dapat mengambil keuntungan finansial lewat pungutan pajak.
“Harus ada terobosan regulasi yang menjangkau ranah internet yang saat ini seperti hutan rimba, agar ranah penyiaran free to air dengan regulasi yang ketat ini tidak menuju senjakalanya,” pungkasnya yang diamini Sekjen ATVNI, Mochamad Riyanto, dan beberapa pengurus ATVNI yang hadir. ***