Cirendeu - Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengakibatkan dampak signifikan bagi status Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah seluruh Indonesia. Status kelembagaan KPID tidak lagi menjadi bagian dari pemerintahan daerah sehingga berdampak pada dukungan anggaran dan sekretariatan.

“Penganggaran KPI Daerah akhirnya bersumber dari hibah. Berarti tergantung pada kedekatan dengan pemerintah daerah,” kata Ketua KPI Pusat Ubaidillah dalam sambutannya di Kick-Off Konferensi Penyiaran Indonesia 2024, di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Kamis (4/7). 

Termasuk pelaporannya, Anggota KPI Daerah juga yang melaporkan karena tidak ada dukungan sekretariatan. “Para komisioner membuat pertanggungjawaban administratif, sehingga menjalankan tugas ganda di daerah,” lanjutnya. 

Sebelumnya, dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran, anggaran KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mendapatkan dukungan sekretariatan. Dengan demikian, para Anggota KPI dapat maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara independen yang mengawasi lembaga penyiaran.

“Karenanya, kami mendorong kepada pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran ini dapat dilanjutkan, sehingga regulasi yang sudah berusia 22 tahun dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Termasuk juga kelembagaan KPI sebagai regulator penyiaran dapat bersifat struktural dengan penganggaran terpusat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN),”terangnya. 

Selain penguatan kelembagaan KPI, Ubaidillah juga mengusulkan pengaturan media baru sebagai bentuk level playing field dan audit rating. 

Terkait pengaturan media baru, Ubaidillah memberikan contoh soal tayangan rokok yang sangat dibatasi di TV dan radio. “Namun di platform media baru, jangankan iklannya, pembawa acaranya pun tampil sambil merokok,” terangnya. 

Pembatasan tayangan rokok diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS) KPI 2012, iklan rokok hanya boleh tampil pada pukul 21.30-03.00. Sedangkan siaran yang bermuatan penggambaran konsumsi rokok hanya dapat ditayangkan pada program dewasa dan wajib ditampilkan sebagai perilaku dan gaya hidup negatif serta tidak digambarkan sebagai sesuatu yang hebat dan menarik. 

Pengaturan konten di platform digital atau media baru sudah menjadi kebutuhan bagi publik. “Persoalan siapa yang dimandatkan melakukan pengawasan, bukan masalah buat KPI. Yang penting ada regulasinya, negara hadir” tegas Ubaidillah. 

Kick-Off Konferensi Penyiaran Indonesia yang berlangsung hari ini merupakan bentuk kolaborasi KPI dengan kalangan akademisi untuk memberi sumbangsih keilmuan atas arah penyiaran Indonesia. Kegiatan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang sudah berlangsung sepuluh tahun, adalah usaha KPI dalam menilai kualitas program siaran televisi yang ternyata hasilnya berbanding terbalik dengan angka dari lembaga pemeringkatan. Karenanya KPI juga mengusulkan pada Komisi I DPR RI, untuk mengatur tentang audit lembaga rating dalam regulasi. 

Kerja sama dengan UMJ ini juga dalam rangka memperkuat Pancasila sebagai ideologi yang harus dijaga. Harapannya, empat pilar kebangsaan yang digelorakan selama ini di tengah masyarakat, juga dapat tercermin dalam konten media. Ketua KPI juga berharap, kebutuhan masyarakat yang lain terkait penyiaran dapat diakomodasi. Misalnya, kemudahan proses perizinan bagi lembaga penyiaran komunitas (LPK), salah satu yang juga dibutuhkan oleh kampus. Saat ini, proses perizinan LPK dengan lembaga penyiaran swasta (LPS) sama saja. “Saya berharap, regulasi ke depan dapat memberi kemudahan bagi publik mendirikan LPK,” tegasnya. 

Turut hadir dalam Kick Off Konferensi Penyiaran Indonesia 2024, Rektor UMJ Prof. Ma’mun Moerad, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Amin Shabana dan Evri Rizqi Monarshi, serta Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Wayan Toni Supriyanto.

 

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta revisi Undang-Undang Penyiaran dilanjutkan tahapannya hingga dapat disahkan sebagai Undang-Undang Penyiaran yang baru pada periode DPR 2019-224. Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, saat menjadi narasumber FGD online Forum Media Barat 9, dengan tema “Menyusur Arah Penyiaran Indonesia”, (28/6).

 

Menurut Reza, revisi Undang-Undang Penyiaran merupakan kebutuhan yang mendesak, dalam rangka penguatan kelembagaan bagi KPI termasuk KPI Daerah. Kemunculan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang otonomi daerah yang menempatkan penyiaran sebagai urusan pusat, membuat berat kondisi KPI di Daerah. Lantaran undang-undang tersebut dan peraturan turunannya, semua fasilitas kesekretariatan dan perangkat pengawasan isi siaran di daerah, dihentikan oleh pemerintah daerah. Dengan lobi KPI ke Kementerian Dalam Negeri, akhirnya ada anggaran untuk KPI Daerah melalui skema hibah. Namun, tambah Reza, karena skemanya hibah, ibaratnya KPID harus meminta belas kasihan untuk mendapat dukungan fasilitas dari pemerintah daerah. “Bagaimana mungkin yang melakukan pengawasan lembaga penyiaran di daerah, harus meminta dulu untuk mendapat dukungan manajerial dan operasional kegiatan, ini kan gak masuk akal,” tegasnya. 

 

Inilah yang menjadi salah satu alasan bagi KPI, bahwa revisi undang-undang penyiaran merupakan sebuah kebutuhan mendesak. Sedangkan hal lainnya, terang Reza, adalah soal pengawasan di media baru. Dalam beberapa kegiatan KPI di berbagai daerah, berulang kali publik menggugat konten-konten di media baru, yang dinilai melanggar norma di masyarakat.  

Saat ini saja, terang Reza, banyak tayangan di televisi dan radio yang bersumber dari media baru. “Terakhir soal pelecehan agama yang ditayangkan berulang-ulang, hingga KPI harus memanggil lembaga penyiaran agar berhati-hati dengan masalah ini,” ungkapnya. Belum lagi konten Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) yang mudah ditemukan di media Over The Top (OTT). Hingga saat ini, lembaga penyiaran kita tidak akan menyiarkan konten LGBT, namun tidak dengan OTT. “Apalah hal seperti ini akan terus dibiarkan, OTT tanpa ada pengaturan,” tambah Reza. 

Bagi KPI sendiri, kalau pun ada satu atau dua hal yang dinilai perlu diubah, silakan saja diperbaiki, saat draf undang-undang ini sudah secara resmi ditetapkan sebagai RUU setelah diserahkan DPR pada pemerintah untuk dibahas. Namun, pada prinsipnya, kebutuhan regulasi baru untuk dunia penyiaran sudah mendesak. 

Adapun terkait kewenangan KPI dalam pengawasan konten jurnalistik di lembaga penyiaran, sebenarnya sudah diatur juga dalam undang-undang saat ini. Namun demikian, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tetap menundukkan diri pada Undang-Undang Pers. Reza memaparkan beberapa program jurnalistik yang mendapatkan sanksi dari KPI Pusat. Diantaranya karena tidak menutup indentitas dari anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual. Atau, tambah Reza, saat peliputan gerebeg markas pinjaman online (pinjol) muncul layar komputer yang menampilkan situs porno.  Ada juga bencana kecelakaan bis, keluarga korban yang masih trauma diwawancarai termasuk juga sopir yang masih terkapar. Sementara di P3SPS jelas ada perintah untuk menghargai kondisi traumatik korban bencana. 

Dalam menanggapi isu RUU Penyiaran, KPI juga fokus pada isu pengaturan media baru dengan prinsip kesetaraan dan keadilan, sebagaimana aspirasi publik dan juga industri penyiaran.  Jika dianggap pengaturan tersebut membatasi kebebasan berekspresi, apakah selama ini kebebasan berekspresi di televisi dan radio dibatasi? KPI tidak dalam posisi membredel kebebasan berekspresi, tapi butuh kesetaraan dan keadilan dalam memperlakukan konten di semua platform media. 

Dirinya mengakui perlu adanya pembedaan perlakuan antara streaming dan broadcasting. Tapi apakah kemudian pendekatan yang dilakukan pada infrastruktur atau pendekatan konten? Kalaupun menggunakan pendekatan infrastruktur, sebagaimana yang sering disampaikan Kementerian Komunikasi dan Informatika, itu tidak ada masalah. Di beberapa negara, sudah dilakukan pengaturan tersebut. Yang pasti, ujar Reza, kita butuh duduk bersama untuk revisi undang-undang. Sekali lagi, kalau drafnya sudah ditetapkan DPR sebagai Rancangan Undang-Undang, kami akan berikan masukan resmi secara kelembagaan, pungkasnya. 

Serpong - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyerahkan draf revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) kepada Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, usai penyelenggaraan Seminar Nasional Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2024, (25/6). Penyerahan draf tersebut dilakukan oleh Ketua KPI Pusat Ubaidillah disaksikan peserta Rakornas KPI yang terdiri atas anggota KPI Pusat dan anggota KPI Daerah se-Indonesia.

Revisi P3SPS yang dilakukan KPI ini, merupakan bentuk adaptasi regulasi atas dinamika penyiaran, termasuk perkembangan teknologi informasi yang memiliki pengaruh sangat kuat bagi industri penyiaran. P3SPS sendiri, merupakan aturan detil yang dibuat KPI atas isi siaran. Terakhir, penyusunan P3SPS dilakukan pada tahun 2012, yang disahkan saat Rakornas KPI 2012 di Surabaya.

Dalam penyusunan draf P3SPS, KPI juga menerima masukan tertulis dari beberapa asosiasi lembaga penyiaran, diantaranya Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), juga masukan dari Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Usai menerima draf P3SPS ini, Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, Komisi I akan segera melakukan pembahasan bersama atas aturan yang dibuat KPI.

 

BERITA ACARA

RAPAT KOORDINASI NASIONAL KOMISI PENYIARAN INDONESIA

TAHUN 2024

 

 

Pada hari ini, Selasa, tanggal dua puluh lima, bulan Juni, tahun dua ribu dua puluh empat (25-06-2024), pada pukul 20.20 WIB, bertempat di Tangerang, Banten, telah dilaksanakan Rapat Pleno pada Rapat Koordinasi Nasional Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Tahun 2024 yang telah menghasilkan beberapa rekomendasi dan keputusan pada masing-masing bidang sebagai berikut:

 

I. Bidang Pengawasan Isi Siaran

1. Kebijakan KPI untuk mengeluarkan Surat Edaran dalam rangka pengawasan siaran Pilkada Serentak 2024;

2. Pengawasan konten lokal pada Lembaga Penyiaran Sistem Stasiun Jaringan (SSJ).

 

II. Bidang Kelembagaan

1. Mendorong disahkannya Revisi Undang-Undang Penyiaran;

2. Melakukan sosialisasi terkait dengan PKPI Kelembagaan dan Tata Kelola Komisi Penyiaran Indonesia;

3. Menyusun perumusan dan implementasi kegiatan bersama KPI Pusat dan KPI Daerah;

4. Meningkatkan pola komunikasi dengan para pihak untuk penguatan kelembagaan di pusat dan di daerah.

 

III. Bidang Pengembangan Kebijakan dan Sistem Penyiaran (PKSP)

1. Menindaklanjuti draft PKPI P3SPS yang telah diharmonisasi secara internal dan eksternal untuk disahkan dan diproses hingga menjadi PKPI;

2. Mengusulkan Kajian Minat, Kepentingan dan Kenyamanan (MKK) Publik terhadap Program Siaran Lembaga Penyiaran menjadi Program Kerja KPI seluruh Indonesia;

3. Menyusun Keputusan KPI Pusat yang merupakan turunan PKPI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kelembagaan dan Tata Kelola Komisi Penyiaran Indonesia;

4. Menindaklanjuti draft PKPI tentang Evaluasi Laporan Tahunan Pengembangan Program Siaran Lembaga Penyiaran untuk disahkan dan diproses hingga menjadi PKPI;

5. Menindaklanjuti draft PKPI tentang Pengenaan Sanksi Denda Administratif Pelanggaran Isi Siaran untuk disahkan dan diproses hingga menjadi PKPI.

 

Demikian Berita Acara ini dibuat setelah dimengerti dan disepakati oleh seluruh peserta Rapat Koordinasi Nasional Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2024.

 

Ditandatangani oleh:

Ketua KPI Pusat,

 

 

(Ubaidillah)

 

KPI Daerah Provinsi Jambi

 

(A. Rohim)

 

KPI Daerah Provinsi Kalimantan Tengah

 

 

(Nisa Rahimia)

 

 

KPI Daerah Provinsi Sulawesi Utara

 

 

 

 

(Meilany Rauw)

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

Serpong - Penguatan kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di tingkat pusat atau pun daerah, sudah diatur Komisi I DPR RI dalam revisi undang-undang penyiaran. Dengan demikian, KPID tidak perlu lagi menunggu belas kasihan dari pemerintah provinsi untuk penganggaran lembaganya. Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, tidak ada pertentangan antara fraksi yang ada di DPR, terkait kelembagaan KPI. Dalam draf revisi undang-undang tersebut, sudah diatur bahwa hubungan antara KPI Pusat dan KPI Daerah adalah hirarkis, dan penganggarannya dibebankan pada APBN. Hal ini disampaikan Abdul Kharis saat menjadi narasumber Seminar Nasional Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2024 yang digelar di Serpong, (24-26 Juni). 

Namun demikian, sebelum undang-undang penyiaran yang baru disahkan, kelembagaan KPID saat ini harus mendapatkan perhatian secara khusus. Hal itu disampaikan Purnomo Sucipto selaku Deputi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Sekretaris Kabinet, saat menyampaikan materi di hadapan peserta Rakornas KPI 2024.  “Sebelum undang-undang itu ada, Kementerian Dalam Negeri dapat mengeluarkan surat edaran agar ada kebijakan daerah dalam membuat formulasi anggaran,” ujarnya. Jadi penganggaran untuk KPID tidak dilepas begitu saja, tergantung mood dan concern pemerintah daerah. 

Purnomo juga berpendapat, saat ini dibutuhkan regulasi yang memperluas cakupan definisi penyiaran, sehingga memberi kemungkinan penyiaran itu mencakup internet. Selain itu, harus ada juga regulasi yang mengantisipasi adanya benturan antara penyiaran konvensional dengan penyiaran di media baru. “Agar tidak ada crash antara penyiaran konvensional dan penyiaran di media baru,” terangnya. 

Kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Purnomo berharap ada treatment dukungan kesekretariatan pada KPID, sebagaimana juga Komisi Informasi memiliki kesekretariatan dan anggaran yang lebih permanen. Menurutnya, KPID dan Komisi Informasi adalah dua komisi yang sama karakteristiknya, tapi ada perbedaan perlakuan bagi keduanya. 

Turut menjadi narasumber pada seminar tersebut, Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Kastorius Sinaga, dan Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Geryantika Kurnia. Dalam pandangan Kastorius Sinaga, perlu ada sosialisasi dan edukasi tentang keberadaan KPI pada pemerintah provinsi. “Kondisi KPID saat ini harus diakui, banyak yang hidup segan mati tak mau,” ujarnya. Kalau melihat agak ke dalam sistem pemerintah daerah, banyak Bupati, Walikota dan Gubernur yang belum paham tentang tugas dan manfaat dari penyiaran jika dikuatkan. Bahkan tidak kenal tentang KPI, atau menggabungkan antara KPID dan KI Daerah. “Saya setuju, bahwa KPID ini kalo mau diperkuat harus mengikuti pola kesekjenan, anggaran sendiri dan membiayai urusannya di daerah,” tegas Kastorius. 

Dalam memperkuat KPI, setidak ada tiga hal yang harus dilakukan, menurutnya. Pertama, secara struktural KPID harus jadi lembaga terintegrasi termasuk juga pendanaan. Kedua, harus ada sosialisasi atau edukasi tentang keberadaan KPI dan KPID khususnya di era disrupsi teknologi informasi. Bahkan dengan adanya tantangan disrupsi teknologi, justru harus diberikan peran lebih bagi KPI. Ketiga, komitmen kepala daerah terhadap demokrasi, penyiaran dan media massa sebagai unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintahan.  Yang jelas, tambahnya, KPI juga harus merumuskan kembali peran dan fungsinya di tengah arus globalisasi dan penetrasi berbagai platform media yang mulai sangat intens. Di satu sisi, Kastorius mengakui, Kemendagri sangat terbantu dengan KPI untuk penyelenggaraan agenda nasional yang sosialisasinya turut dimasifkan melalui lembaga penyiaran. 

Dalam kesempatan tersebut, Ketua KPID Maluku Utara Alwi Sagaf Alhadar mengungkap kondisi lembaga yang dipimpinnya. Sekalipun pemerintah provinsi tidak memberikan perhatian yang signifikan, KPID tetap melakukan pelayanan pada publik termasuk dalam pengawasan konten siaran di provinsi kepulauan tersebut. “Dari tujuh anggota KPID yang dilantik pada tahun 2016, sekarang tersisa dua orang saja,” ujar Alwi.  

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.