Jakarta - Kehadiran tayangan televisi yang mengandung muatan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dikhawatirkan memberikan efek duplikasi terhadap anak dan remaja. Hal ini diyakini karena televisi masih memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bermasyarakat. “Sekalipun pada zaman sekarang, kecenderungan konsumsi televisi menurun, hasil riset menunjukkan bahwa televisi masih menjadi media yang memiliki kekuatan paling besar dalam mempengaruhi masyarakat”, ujar Hardly Stefano Pariela saat mengantar diskusi terbatas di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tentang Pembatasan Konten Yang Mengandung LGBT Dalam Siaran Televisi, (17/4).

Dalam diskusi tersebut hadir pula narasumber dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masduki Baidlowi, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel,  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Sandrayati Moniaga, dan dari praktisi media, Andi Chairil. Sedangkan komisioner KPI Pusat lainnya yang turut menghadiri diskusi terbatas tersebut adalah Mayong Suryo Laksono, Dewi Setyarini dan Nuning Rodiyah.

Menurut Masduki, frekuensi yang digunakan televisi pada dasarnya merupakan milik publik. Untuk itu dirinya mengingatkan KPI akan kewenangannya untuk mengontrol muatan televisi agar sesuai dengan regulasi guna terciptanya siaran yang cerdas dan menjunjung etika. Masduki menyampaikan pula tentang keresahan publik terhadap konten siaran yang berunsur LGBT. Padahal, dalam ajaran agama mana pun, praktik LGBT merupakan perilaku menyimpang.  Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI ini mengatakan, hal penting dari rekomendasi Fatwa MUI adalah negara diharapkan membuat regulasi yang dapat mengatur dan melakukan pencegahan atas berkembangnya aktivitas LGBT.

Sementara itu dari industri penyiaran mengakui adanya potensi penyebarluasan gaya hidup LGBT lewat tayangan di televisi. Padahal, ujar Andi Chairil, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012 mengatur tentang perlindungan terhadap kepentingan anak dan remaja, serta perlindungan kepada kelompok minoritas. “Namun sayangnya kelompok inilah yang suka menjadi bahan olok-olokan dan celaan di televisi”, ujarnya.

Andi mengakui adanya eksploitasi konten LGBT oleh lembaga penyiaran di televisi. “Diantaranya muncul lewat gimmick dan personality atau gesture dari para pengisi acara”, ujarnya.  Beberapa contoh tayangan disampaikan Andi, termasuk kritiknya terhadap program jurnalistik yang menayangkan percakapan tentang LGBT tersebut secara vulgar.

Jika bicara tentang karya dan prestasi oleh orang-orang atau figur terkenal yang ditengarai memiliki orientasi seksual tidak normal, Andi melihat tidak ada diskriminasi dari televisi. Namun dirinya melihat kecenderungan terjadinya eksploitasi hal-hal privat tentang LGBT di layar kaca, termasuk dengan fenomena kehadiran “alay” dalam memeriahkan acara televisi yang sangat erat dengan faktor keekonomian.

Terkait potensi penyebarluasan gaya hidup ini, Reza Indragiri Amriel menyampaikan pula hasil riset yang menunjukkan semakin tinggi pemirsa terpapar tayangan LGBT, maka akan semakin tinggi penerimaannya terhadap kehadiran LGBT. Selain itu, tambah Reza, semakin muda usia pemirsa saat terpapar tayangan LGBT, makan semakin mudah memberikan penerimaan terhadap LGBT. Reza pun sangat memaklumi kekhawatiran banyak pihak atas eksploitasi materi LGBT di televisi. “Apalagi jika merujuk pada pandangan para ahli kesehatan jiwa di Indonesia tentang LGBT”, ujarnya.

Bicara tentang LGBT sendiri memang tidak bisa dilepaskan pada hak-hak setiap individu untuk diperlakukan sebagai manusia di sebuah negara yang merdeka. Sandrayati Moniaga mengungkapkan, warga LGBT diprediksi sudah mencapai sekitar 2-3 juta orang. Namun kelompok ini kerap kali mendapat berbagi bentuk kekerasan baik fisik, simbolik atau struktural. Komnas HAM sendiri merekomendasikan, sejalan dengan prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM setiap warga, agar KPI merumuskan kebijakan yang didasarkan pada prinsip HAM secara komprehensif, utamanya mencakup rumusan indikator dan indeks untuk isu spesifik.

Masukan terhadap KPI terkait eksploitasi LGBT ini disampaikan pula oleh perwakilan organisasi agama, diantaranya Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi). Pada prinsipnya semua agama hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Dari KWI memberikan catatan, pelaku LGBT tetap harus diperlakukan dengan belas kasih. “Namun perilakunya jangan menyimpang di depan publik”, ujar Catherine yang hadir mewakili KWI. Terkait kemunculan di televisi, Catherine berharap pengelola televisi menyadari betul bahwa tayangannya memiliki pengaruh yang sangat luar biasa pada masyarakat.

Sedangkan dari Dr Sopa dari Muhammadiyah mempertanyakan kenapa permisivisme seperti itu dibiarkan muncul di televisi. Menurutnya, KPI harus segera lakukan intervensi dan literasi pada pelaku kreatif di industri penyiaran, agar produk-produk siarannya bebas dari eksploitasi LGBT, demi melindungi kepentingan dan masa depan anak-anak Indonesia.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano dan Nuning Rodiyah, saat menutup Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standat Program Siaran) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Angkatan XXVIII, Kamis siang (19/4/2018).

 

Jakarta -- Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standat Program Siaran) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Angkatan XXVIII, Kamis siang (19/4/2018), resmi ditutup oleh Koordinator bidang Isi Siaran sekaligus Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano. Kegiatan bertajuk bimbingan teknis (bimtek) yang berlangsung tiga hari (17-19 April 2018) dikuti 30 peserta yang terdiri atas kru produksi di lembaga penyiaran, masyarakat umum dan mahasiswa.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat menutup kegiatan tersebut mengatakan, pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh di Sekolah P3SPS diharapkan dapat ditularkan ke lingkungan kerja maupun kampus. “Kami berharap peserta Sekolah P3SPS angkatan ini dapat menjadi duta bagi KPI di mana pun berada. Kalian sudah menjadi bagian dari keluarga KPI,” kata Hardly.

Hardly menyampaikan, kegiatan ini tidak hanya memberi pengetahuan baru bagi peserta sekolah, tapi juga bagi KPI. Banyak masukan dan sudut pandang baru yang muncul dari para peserta di setiap angkatan Sekolah P3SPS. “Kami pun mendapatkan hal-hal yang baru dari kegiatan ini,” tambahnya.

Dia berharap, kegiatan Sekolah ini dapat memotivasi peserta untuk terus mengembangkan dan mendorong kualitas penyiaran menjadi lebih baik dan maju. 

Pernyataan senada turut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah. Nuning berharap kegiatan ini dapat menjadi masukan dan bermanfaat khususnya untuk pekerja di lembaga penyiaran. “Jika melihat jawaban para peserta, hampir sebagian besar sudah memahami cara menganalisa sebuah tayangan dan kaitan dengan aturan yang berlaku,” tambahnya.

Sementara itu, Peserta Terbaik Sekolah P3SPS KPI Angkatan XXVIII, Rizman Gumilang, menyatakan sangat apresiasi dan mendukung adanya kegiatan Sekolah yang diselenggarakan KPI. “Banyak sekali materi yang bermanfaat untuk kami dan kami baru tahu jika pekerjaan KPI ini sangat berat,” paparnya. ***

Berita Terkait: 

http://kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34454-ketua-lsf-peran-strategis-film-untuk-ketahanan-budaya-dan-kesejahteraan

http://kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34451-peserta-sekolah-p3sps-angkatan-xxviii

 

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Fraksi Partai NasDem, Selasa (17/4/2018).

 

Jakarta - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Fraksi Partai NasDem, Selasa (17/4/2018). Acara ini dibuka oleh Mayjen TNI (Purn) Supiadin (Anggota Komisi I DPR).

Dalam sambutannya, Supiadin mengatakan bahwa FGD ini penting karena Indonesia sudah memasuki era digital. "Revisi UU No 32 Tahun 2002 didorong oleh fenomena masyarakat yang mulai berubah di era digital," tuturnya.

Dalam FGD yang mengangkat tema "Quo Vadis Sistem Penyiaran; Single Mux, Multi Mux atau Hybrid?" ini, Agung Suprio ikut mendesak RUU Penyiaran segera disahkan. Agung menilai bahwa Indonesia terbilang sebagai negara tertinggal dari negara lain yang telah migrasi ke digital.

"Maka RUU Penyiaran penting untuk segera disahkan. Jika lamban, kita akan menjadi beban bagi negara-negara tetangga perbatasan. Seperti Malaysia dan Singapore yang telah migrasi ke digital," ungkap koordinator Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat ini.

Agung juga menilai bahwa jika tidak segera disahkan, negara akan mengalami kerugian triliunan rupiah. "Negara potensial kehilangan pemasukan negara dari dividen digital," tambahnya.

Acara ini juga dihadiri oleh Sulaeman L. Hamzah (Anggota Baleg RI), Ishadi SK (Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) dan M. Mirdal Akib (Direktur Metro) sebagai narasumber. ***

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menghadiri pertemuan dengan Ketua dan Anggota Wantimpres, Menteri Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, TVRI, MNC, SCTV dan Indosiar membahas diseminasi informasi terkait penguatan ideologi pancasila untuk menanggulangi konten bermuatan sara, radikalisme, hoax, ujaran kebencian, termasuk konten yang melanggar UU (Undang-undang) tentang informasi dan transaksi elektronik serta KUHP, di Kantor Wantimpres, Selasa (17/4/2018).


Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mendukung upaya Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan penguatan karakter bangsa di masyarakat. Upaya tersebut sejalan dengan apa yang sedang dilakukan KPI yakni membangun karakter bangsa yang selaras dengan ideologi Pancasila melalui penyiaran yang sehat dan bermartabat.

Dukungan tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menghadiri pertemuan dengan Ketua dan Anggota Wantimpres, Menteri Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, TVRI, MNC, SCTV dan Indosiar membahas diseminasi informasi terkait penguatan ideologi pancasila untuk menanggulangi konten bermuatan sara, radikalisme, hoax, ujaran kebencian, termasuk konten yang melanggar UU (Undang-undang) tentang informasi dan transaksi elektronik serta KUHP, di Kantor Wantimpres, Selasa (17/4/2018).

Menurut Yuliandre Darwis, KPI Pusat memiliki sejumlah program penguatan dan pengembangan karakter bangsa seperti literasi media, pembentukan forum masyarakat peduli penyiaran, hingga bimbingan teknis (bimtek) atau Sekolah P3SPS KPI. “Program-program tersebut mendorong penyadaran masyarakat untuk lebih bijak, berpikir positif dan bertindak sesuai dengan nilai dan etika bangsa ini,” katanya.

Upaya peningkatkan kualitas dan pengembangan karakter bangsa juga dilakukan KPI Pusat melalui program survey indek kualitas yang bekerjasama dengan 12 perguruan tinggi. Hasil survey ini menjadi kajian dan masukan lembaga penyiaran dan juga kalangan akademis bahwa program yang diinginkan publik adalah yang memang memiliki nilai, mendidik dan mencerdaskan.

Hal lain yang tak kalah pentingnya, kata Andre, adalah mendorong lembaga penyiaran dan seluruh stakeholder terkait mengembangkan konten-konten positif. Produksi konten positif yang berkesinambungan dapat meminimalisir dan menyaingi penyebaran konten-konten negatif atau pun informasi hoax.

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah mengatakan, selain yang disampaikan Ketua KPI Pusat, KPI memiliki program pembangunan karakter dan nilai Pancasila melalui gerakan “Indonesia Bicara Baik”. Gerakan untuk mengajak masyarakat untuk berbicara baik ini dimulai dari kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), tempat KPI menyelenggarakan Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-85 dan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2018, beberapa waktu lalu.

“Kami melibatkan banyak instansi, komunitas, lembaga swadaya masyarakat dan dunia pendidikan dalam gerakan “Indonesia Bicara Baik” ini. Dengan turun ke jalanan, gerakan khotbah bicara baik di masjid dan gereja, sosialisasi di media sosial, Kami ingin memantik kesadaran masyarakat untuk mulai berbicara baik. Itu bagian dari program pengembangan karakter yang kami lakukan,” kata Ubaidillah, usai pertemuan.

Selain itu, KPI juga sudah meminta kepada lembaga penyiaran sesuai amanat UU 32/2002 tentang Penyiaran untuk membuat ILM baik membuat sendiri atau menerima dari luar yang kontennya tentang penguatan ideologi Pancasila, karakter bangsa, semangat nasionalisme, bahaya narkoba, nilai-nilai keluarga, bahaya radikalisme. KPI meminta ILM ditayangkan pada jam-jam produktif, sehingga masyarakat bisa mengambil energi positif dari ILM tersebut.

Sementara itu, Anggota Wantimpres, Agum Gumelar mengatakan, penanaman nilai-nilai Pancasila tidak hanya menjadi jargon tapi menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Upaya ini juga harus didukung oleh semua kalangan termasuk media penyiaran melalui penyajian konten yang sesuai dengan kondisi yang ada sekarang.

“Jangan lagi penyajian konten itu bersifat retorika atau juga doktrin. Cara demikian sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Kita harus menciptakan masyarakat yang memiliki daya tahan terhadap hal-hal yang negatif,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, turut hadir Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin, Ketua Wantimpres, Sri Adiningsih, dan Anggota Wantimpres, Sidarto Danusubroto. ***

Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia (RI), Achmad Yani Basuki, di Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI Angkatan XXVI di Kantor KPI Pusat di bilangan Jalan Djuanda Jakarta Pusat, Selasa (17/4/2018). (Foto by KPI/Agung Rahmadiansyah)

 

Jakarta -- Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia (RI), Achmad Yani Basuki, berbagi pengalaman, wawasan, regulasi sensor lembaganya, dan hubungan lembaganya dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI Angkatan XXVI di Kantor KPI Pusat di bilangan Jalan Djuanda Jakarta Pusat, Selasa (17/4/2018).

Dalam presentasinya yang berjudul “Nilai Strategis Informasi Sebagai Konten Publikasi”, Yani mengatakan film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin. Karena itu, negara bertanggung jawab memajukan perfilman di Indonesia.

Menurut Yani, film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia Internasional. Oleh karena itu, lanjut Dia, film perlu dikembangkan dan dilindungi.

Di era globalisasi, tambah Yani, film dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari konten negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa.  “Dampak globalisasi membawa kemudahan dalam pertukaran budaya. Film juga disamping menjadi media komunikasi juga menjadi alat peneterasi budaya, berfungsi ganda,” kata Jenderal Purnawirawan bintang dua ini.

Yani menilai bangsa yang lemah komitmen budayanya akan mudah dipengaruhi oleh budaya asing dan cenderung konsumerisme. Perlindungan budaya, menurut Dia, hanya dapat dilakukan dengan membangkitkan kesadaran internal warga masyarakatnya.

Selain itu, Yani menyoroti dampak perkembangan teknologi seperti adanya konvergensi yang melahirkan e-cinema. Hal ini mengakibatkan penyensoran tidak bisa dibebankan hanya kepada LSF semata, tetapi menjadi tanggung jawab juga seluruh pemangku kepentingan. “Perkembangan teknologi ternyata lebih cepat daripada aturannya. Ini menyebabkan tidak bisa dijamah oleh aturan,” katanya.

Yani mendorong adanya literasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi film atau informasi lainnya. “Kesadaran itu dapat dimulai dari orangtua dengan tidak mudah memberi kebebasan kepada anaknya menyaksikan film yang tidak sesuai dengan klasifikasi umur. Orangtua harus tega untuk melarang anaknya,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua LSF ini menegaskan, setiap film yang sudah lulus sensor dari lembaganya kemudian masuk ke layar kaca, aturan yang berlaku adalah ketentuan Komisi Penyiaran Indonesia. ***

Berita terkait:

http://kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34451-peserta-sekolah-p3sps-angkatan-xxviii

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.