Yogyakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Diseminasi Indeks Kualitas Siaran Televisi 2022 dengan tajuk “Potret Siaran Religi di Indonesia” Minggu (22/5/2022) di Ruang Interactive Center Fishum UIN Sunan Kalijaga, Minggu (22/5/2022).

Acara diseminasi ini menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Prof. Ema Marhumah, Pengendali Lapangan Indeks, Bono Setyo, Direktur Produksi Trans 7, Andi Chairil, Ketua Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP), Isa Kurniawan, dan Dekan Fishum, Mochamad Sodik. 

Mengawali pemaparan, Ema Marhumah, memaparkan tentang perlu adanya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan yang baru mengenai penyiaran. Menurutnya, produksi siaran religi harus mengutamakan substansi agar dapat memberikan kebermanfaatan yang positif, tidak dengan mitos, tidak dengan membandingkan agama atau ketimpangan dalam menyampaikan materi terkait gender. 

“Pemilihan narasumber atau mubaligh dan mubalighah penting untuk diperhatikan agar apa yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

Prof. Marhumah menuturkan bahwa sebagai sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga khususnya bagi program studi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi maupun program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora mampu memproduksi ilmu pengetahuan dengan perspektif yang baru, sesuai dengan UU Penyiaran. 

Mereka juga mampu menghadirkan konten yang terintegrasi dan interkoneksi antara ajaran Islam dengan aspek lain. Beberapa catatan disampaikannya menyatakan perlu peningkatan kualitas siaran, serta potensi kolaborasi UIN Sunan Kalijaga untuk mengembangkan keragaman siaran religi yang variatif, humanis dan berkualitas.

Adapun Mochamad Sodik, menuturkan siaran religi jangan menjauhkan dari spiritualitas, dengan menghadirkan transendensi serta bukan hanya kebahagiaan fisikal saja di permukaan. Menurutnya, tontonan adalah tuntunan. Kreasi harus dikembangkan beserta inovasi dan menghasilkan prestasi. 

“Jika program religi tidak memiliki kreasi, inovasi dan prestasi, maka perlu adanya perbaikan. Tontonan harus menyehatkan baik untuk segi psikologis, memartabatkan antar manusia, segi sosiologis, menyadari bahwa kita adalah bagian kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang terakhir adalah segi komunikatif untuk menguatkan proses kesalingan, yakni saling asah asih dan asuh,” katanya. 

Sementara Bono Setyo memaparkan hasil diseminasi indeks kualitas siaran program religi di 13 Stasiun TV berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI. Menurutnya, sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, menginginkan kedamaian dan kenyamanan yang kemudian ditangkap media dalam membuat konten atau program acara di televisi. 

Menurutnya, program siaran religi di TV cukup banyak mendapatkan tempat. Beberapa program berhasil mendapatkan rating yang tinggi dan menarik perhatian para pemasang iklan.

“Secara umum hasil hasil indeks kualitas program siaran religi adalah berkualitas, dengan nilai >=4, yang artinya program siaran religi di televisi Indonesia periode I tahun 2022 tidak mengandung muatan yang merendahkan atau melecehkan suku, agama, ras, antar golongan, usia, budaya dan atau kehidupan sosial ekonomi,” tuturnya.

Namun begitu, lanjutnya, terdapat beberapa catatan untuk kategori program ini diantaranya soal host atau narasumber yang mengisi acara agar memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini untuk menghindari pembahasan yang dapat menimbulkan permasalahan baru sehingga memicu konflik antar golongan. 

“Stasiun TV juga bisa mempertimbangkan untuk menampilkan tema persatuan dan kesatuan bangsa yang dirasa sangat dibutuhkan untuk situasi dan kondisi saat ini,” pinta Bono.

Dia juga menyarankan stasiun TV tidak hanya mengejar aspek entertainment semata, namun juga harus mampu meningkatkan kualitas program agar dapat menumbuhkan dampak positif untuk masyarakat.

Selain itu, Bono berharap rekomendasi untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan indikator tambahan selain P3SPS. Pasalnya, pedoman tersebut cenderung menggiring penilaian pada hasil yang baik, padahal mungkin dapat dicermati di lingkungan terdapat fakta-fakta yang berbeda. Hal ini dapat menjadi catatan untuk riset indeks kualitas program siaran televisi yang akan datang.

Direktur Produksi Trans 7, Andi Chairil mengungkapkan bahwa siaran religi di televisi bukanlah suatu program yang populer, meskipun market telah tersedia. Menurunya, ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan program ini. 

“Ada beberapa format dalam siaran program religi, yakni format tausiyah, format dokumenter atau magazine dan format travelling. Di antara ketiganya, performa program religi berformat tausiah lebih baik dibandingkan format lainnya, baik jika dilihat dari share maupun rating,” katanya. 

Dia juga menjelaskan segi demografi pemirsa siaran religi didominasi oleh penonton usia 35 tahun ke atas. Andi menyatakan, jika stasiun TV memiliki formula yang tepat, penonton dari kalangan usia 35 tahun ke bawah juga bisa didapatkan. 

“Sebenarnya terdapat potensi untuk penonton usia 35 tahun ke bawah agar menggandrungi program religi. Seperti pada program Hafiz Indonesia yang tayang pada bulan Ramadan mendapatkan rating yang tinggi,” ujarnya.

Andi juga mengaminkan dengan apa yang disampaikan Bono Setyo bahwa  di era digital sekarang ini pemilihan narasumber atau tokoh agama perlu diperhatikan supaya materi yang disampaikan mudah dipahami. Mereka pun harus memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga programnya memiliki value yang mampu meningkatkan kekuatan iman. 

Di ruang yang sama, Ketua FMPP, Isa Kurniawan, mengapresiasi langkah KPI yang berkolaborasi dengan 12 universitas untuk melakukan pengukuran indeks siaran TV. Dia menginatkan agar siaran jangan kontra produktif dengan apa yang diharapkan. 

Dia menyatakan, masyarakat peduli penyiaran berharap stasiun TV tidak menyamakan program religi dengan siaran-siaran lainnya dalam artian tidak melulu mengejar rating. Program religi yang ditampilkan bisa juga dijadikan sebagai program sosial dari industri penyiaran. 

“Pada akhirnya, tugas kita bersama adalah menjaga kerukunan antar umat agama dan kerukunan antar umat beragama tersebut dapat diciptakan melalui tayangan religi yang berkualitas,” katanya. **

 

 

Yogyakarta – Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Prof. Phil Al Makin menyatakan posisi agama di masyarakat perlu pemikiran mendalam supaya dari segi sosial, ekonomi, dan politik menjadi lebih baik. Karenanya, UIN Sunan Kalijaga siap membantu visi pengembangan penyiaran khususnya dari sudut pandang keagamaan. 

Pandangan yang disampaikan Rektor UIN Sunan Kalijaga ini berkaitan dengan akan diselenggarakannya Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 yang akan berlangsung di Kota Yogyakarta pada Selasa (24/5/2022) mendatang. 

“Kita akan coba membuka riset-riset teman-teman dan keperihatinan kita. Kira-kira apa yang akan UIN Sunan Kalijaga sumbangkan,” katanya di sela-sela acara Diseminasi Indeks Kualitas Program Siaran TV 2022 tentang “Potret Siaran Religi di Indonesia” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga yang berlangsung Ruang Interactive Center Fishum UIN Sunan Kalijaga, Minggu (22/5/2022).

Rektor Makin mengomentari persoalan sertifikasi bagi pembahas soal agama di media penyiaran. Menurutnya, sertifikasi bagi penceramah agama TV dan radio sudah lama dibahas. 

“Mulai dari kementerian agama periode lalu hingga sekarang sudah menjadi perhatian kita agar yang berbicara agama bagi publik ada kompetensi khusus. Tapi bagaimana bentuknya ini kan harus dipikirkan juga, jangan sampai kita niatnya mengatur lebih baik malah jadi kotroversi. Ini juga perlu kita hindari. Jadi saya kira perlu kebijakan yang betul-betul bijak yang selalu jalan tengah sehingga semuanya terasa halus,” jelasnya. 

Menurut pengamatannya di beberapa negara tetangga seperti Brunei dan Malaysia, persoalan ini diatur sangat ketat. Demikian pula di Saudi Arabia dan Negara Teluk lainnya. “Di kita perlu mekanisme yang perlu dipikirkan dan saya kira harus bijak dan harus mendengar dari akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak lain,” katanya.  

Dalam sambutan sekaligus membuka acara diseminaasi, Prof. Al Makin mengajak masyarakat Indonesia untuk merenungkan kembali bagaimana beragama yang lebih baik dan lebih santun. Menurutnya, kita harus kembali ke tengah dalam beragama.

Selain itu, lanjut Al Makin, banyak sekali yang lebih penting yang bisa dikemas menjadi pesan-pesan keagamaan seperti mengajak untuk berbuat kebaikan, perhatian terhadap pemanasan global, kerusakan lingkungan, isu Pulau Jawa yang akan tenggelam, kerukunan dalam perbedaaan, dan moderasi beragama. “Mari terus diingatkan melalui konten-konten keagamaan,” tandasnya.

Dalam acara tersebut, hadir Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz, yang menjadi keynote speech acara. Hadir pula Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat sekaligus PIC Program Indeks Kualitas, Yuliandre Darwis, Ketua KPID DIY, Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri, Direktur Produksi Trans 7, Andi Chairil, Dekan Fishum UIN Sunan Kalijaga, Mochamad Sodik dan narasumber lainnya. ***

 

 

Jakarta --  Sebagai lembaga penyiaran publik (LPP) yang menyandang tanggungjawab dari negara sebagai penyelenggara multifleksing (MUX), Televisi Republik Indonesia (TVRI) harus dapat mengembangkan dan memperkaya khazanah isi siarannya. Pasalnya, TVRI mesti memenuhi kuota konten sebanyak 50% yang harus dipenuhinya sebagai pemegang MUX.

Pendapat dan usulan tersebut dilontarkan Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, dalam sebuah kesempatan ketika menjadi salah satu narasumber talkshow di Radio Republik Indonesia (RRI) Denpasar, Bali, pekan lalu. 

Menurut Reza, konsep dan materi tayangan yang harus disiapkan LPP TVRI untuk mengisi slot yang harus dipenuhi dalam kanal digital makin banyak. Pasalnya, konsep sistem siaran digital berbeda dengan siaran analog yang statis atau lebih tepatnya siaran tunggal untuk satu kanal. Adapun siaran digital, bisa menampung banyak siaran dalam satu kanalnya. 

Apa yang diusulkan Reza ke TVRI sangat beralasan karena dari 4 kanal digital yang dimiliki TVRI dan sudah bersiaran dinilai belum sepenuhnya maksimal. “Saya masih sering menonton tayangan yang sama, itu-itu saja yang disiarkan, baik di saluran TVRI nasionalnya maupun yang TVRI daerahnya. Sayang sekali kalau isinya hanya itu. Kan membosankan,” tegas Echa, panggilan akrab Koordinator Bidang Pengelolaan Sistem dan Struktur Penyiaran KPI Pusat ini. 

Terkait kondisi itu, Reza mengusulkan agar LPP TVRI menggandeng LPP RRI, dalam hal ini RRI Net, untuk mengisi ruang tayang di saluran atau kanal afiliasi TVRI. Hal ini akan menambah keragaman konten untuk TVRI yang satu sama lain saling menguntungkan dengan informasi yang positif. 

Berdasarkan pengamatan Reza, keberadaan RRI Net hampir ada di seluruh stasiun LPP RRI di seluruh daerah. Selain itu, informasi yang disampaikan RR Net sangat beragam dan aktual. “Saya kadang kalau talkshow di RRI daerah ada bentuk visualisasinya. Ini sangat baik dan inovatif. Jadi seharusnya antar direksi program di LPP ini mesti bersinergi, biar konten-kontennya jadi lebih menarik,” tandasnya. ***

 

Purwodadi - Kesadaran saring sebelum sharing menjadi salah satu bentuk penjagaan kita terhadap integrasi sosial melalui penyebaran nformasi yang benar di era digital. Hal tersebut disampaikan A. Baginda Muhammad Mahfuzh, anggota DPRD Jawa Tengah saat menjadi narasumber dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dilaksanakan di SMA 1 Purwodadi, Jawa Tengah, (20/5). Kepada peserta GLSP yang merupakan pelajar dan pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMA 1 Purwodadi, Baginda memaparkan tentang integrasi sosial yang terkait dengan nilai-nilai kemajemukan suku bangsa, budaya, bahasa dan adat istiadat. Dia menilai, komunikasi saat ini menjadi salah satu kunci utama dalam  menjaga persatuan bangsa. 

Baginda menyinggung pula soal bahaya hoax yang menjadi salah satu konsekuensi dari melimpahnya informasi saat ini. Terutama saat masa pandemi yang berlangsung hingga dua tahun belakangan ini. Berbagai platform media sosial bahkan turut menyebarkan materi hoax yang menyesatkan di tengah masyarakat dan tentunya menyulitkan usaha pemerintah dalam mengatasi pandemi. “Sudah saatnya generasi milenial mengambil peran sebagai agen anti-hoax demi menjaga integrasi bangsa,” ujarnya.  Salah satunya dengan memanfaatkan beragam platform digital untuk kegiatan positif dan menyebarkan konten yang bermanfaat bagi publik. 

Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela turut hadir sebagai narasumber dalam GLSP yang merupakan program unggulan KPI Pusat. Dalam kesempatan ini Hardly menerangkan tentang realitas media terkini, baik itu media konvensional seperti televisi, radio dan media cetak, ataupun media baru yang menggunakan platform internet. Di tengah keberlimpahan konten media ini, Hardly menegaskan pentingnya publik untuk berdaya di hadapan media. Prinsipnya adalah selektif, kritis, dan apresiatif, ujar Hardly. Selektif dalam memilah dan memilih konten bermanfaat, kritisi dan melaporkan konten yang buruk dengan bahasa yang tepat, serta mengapresiasi konten baik di media termasuk juga membuatnya viral sehingga orang lain pun menerima manfaat konten tersebut.

Hardly juga menjelaskan cara menghindari pengaruh hoax. Pertama, ujar Hardly, harus memastikan informasi yang diterima adalah dari sumber yang kredibel. Kredibilitas informasi salah satunya ditentukan dari manajemen media yang baik dan terdaftar secara jelas pengelolanya. Misalnya televisi, radio dan juga media cetak yang terdata pada Dewan Pers. Demikian pula untuk informasi dari media online, pastikan pengelolanya jelas dan patuh pada aturan yang ada. 

Saat ini aturan rinci untuk platform media baru belum ada, sedangkan untuk media penyiaran sudah ada undang-undang penyiaran. Dalam regulasi penyiaran memberikan rambu-rambu pada televisi dan radio dalam menayangkan konten. Jika ada informasi hoax yang ditayangkan, KPI memiliki kewenangan memberikan sanksi dengan berbagai tingkatan hingga penghentian sementara. Aturan inilah yang kemudian menjadikan informasi dari media penyiaran lebih kredibel dan terpercaya. Untuk program siaran lainnya pun, KPI memiliki kewenangan dalam menjaga kualitas konten. Termasuk misalnya untuk program sinetron dan variety show yang kerap kali mendapat kritikan dari masyarakat. 

Pembicara lain yang turut menyampaikan materi adalah David Tjendriawan dari Terang Abadi Media Group. Sebagai pengelola televisi lokal, David menegaskan pentingnya konten lokal untuk selalu hadir di televisi demi menjaga khazanah lokal dan juga kebhinekaan bangsa. Turut serta secara daring, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia dari daerah pemilihan Jawa Tengah Casytha A Kathmandu yang menyampaikan tentang pemberdayaan potensi daerah melalui informasi berkualitas di Era Digital. Acara dimoderatori oleh Wakil Ketua KPID Jawa Tengah Ahmad Junaedi dan dibuka oleh Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat Nuning Rodiyah.  Hadir juga Budhi Santoso selaku Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IV Jawa Tengah yang memberi sambutan di awal acara sekaligus menyampaikan tentang Profil Pelajar Pancasila. (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)

 

Nusa Dua - Hasil riset indeks kualitas program siaran televisi yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diharapkan dapat mengungkap masukan dan pendapat dari informan ahli secara komprehensif sehingga dapat menjadi catatan penting (highlight) bagi lembaga penyiaran dalam melakukan perbaikan konten siaran. Hal ini disampaikan Prof Judhariksawan selaku akademisi yang terlibat dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun 2022 untuk kategori program siaran berita, yang diselenggarakan di Nusa Dua – Bali, (12/5). 

Hal ini juga disepakati oleh konsultan ahli riset KPI, Pinckey Triputra yang mengatakan, jalannya diskusi untuk bahasan program berita sudah sangat baik, sebagai sebuah pendalaman dari penilaian yang sudah diberikan informan ahli  setelah menonton tayangan-tayangan yang menjadi sample dalam riset.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela dalam sambutan pengantar diskusi menegaskan bahwa KPI sudah melakukan disain ulang terhadap riset di tahun 2022. Harapannya, ujar Hardly, hasil dari riset tidak semata dengan angka kuantitatif indeks tapi juga mengelaborasi lebih jauh dan lebih dalam lagi secara substantif dari kategori program berita. 

Angka indeks program berita sendiri, ujar Hardly, selama beberapa tahun sudah melampaui angka tiga yang menjadi standar KPI. Hal ini berarti secara umum informasi yang disampaikan adalam informasi yang berkualitas. “Kita juga dapat mengakui bahwa berita di televisi adalah informasi yang akurat dan tentunya dapat menjadi rujukan, “ tegasnya.

Diskusi pada kategori berita ini dipimpin oleh Alem Febri Sonni dari Universitas Hasanuddin dan Ni Made Ras Amanda Gel Gel dari Universitas Udayana yang melibatkan informan ahli lainnya dari dua belas perguruan tinggi. Diantara catatan yang mengemuka dalam diskusi tersebut adalah pentingnya pemahaman jurnalis terhadap istilah hukum guna menghindari trial by press. Selain itu, beberapa informan ahli juga mengharapkan adanya keragaman informasi dari daerah. 

Menurut Aceng Abdullah selaku informan ahli dari Universitas Padjajaran, ada ketimpangan informasi di televisi. Padahal banyak orang perguruan tinggi dari daerah yang pintar namun tidak diberi kesempatan tampil di televisi.  Daerah tidak akan muncul dalam pemberitaan kalau tidak ada kriminalitas, kecelakaan, korban kelaparan atau musibah. Menurutnya, hal ini merupakan bentuk penjajagan televisi nasional yang hanya menjual acara dengan rating tinggi yang mengungkap penderitaan daerah.

Sementara itu, untuk kategori program infotainment, Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo mengingatkan bahwa angka indeks untuk program ini masih menjadi problem dari tahun ke tahun, lantaran belum juga mencapai nilai standari dari KPI. Dalam diskusi di kategori infotainment ini, Mulyo berharap dapat menghasilkan banyak masukan baik untuk industri penyiaran ataupun untuk KPI Pusat dalam menyusun kebijakan. 

Secara khusus Mulyo mengakui sudah menyampaikan pada industri penyiaran tentang kemungkinan mengangkat sisi positif para selebritas dalam program program infotainment. "Mengingat para artis ini menjadi model yang kerap kali dicontoh oleh remaja kita,” ujarnya. Tapi tampaknya urusan hubungan cinta dan gosip sangat erat dengan infotainment sebagaimana kehadirannya pertama kali yang memang membahas soal kehidupan artis. 

Masukan dan catatan dari informan ahli dalam riset indeks inilah yang membedakannya dengan riset pengukuran rating program siaran. Mulyo mengungkap pula bahwa di bulan Juli mendatang, akan ada perubahan secara signifikan dari lembaga pemeringkat program siaran, baik dari jumlah panelnya ataupun sebaran kota yang akan diukur. Di satu sisi, Mulyo menilai, industri penyiaran juga harus diberikan masukan secara detil dari hasil riset indeks ini. “Sehingga kelemahan dari program infotainment ataupun sinetron yang juga masih mendapat angka di bawah standar, dapat segera diperbaiki oleh lembaga penyiaran, “ ujarnya. 

Dalam diskusi di kategori infotainment, Farida Hanim dari Universitas Sumatera Utara hadir sebagai moderator yang memandu diskusi bersama dua belas informan ahli lainnya di perguruan tinggi. Sedangkan konsultan ahli yang turut serta dalam diskusi adalah Mulharnetty Syas.

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.