Denpasar - Perhelatan Rapat Koordinasi (Rakor) antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Pemerintah Daerah (Pemda) di Bali pada 20 November 2014 telah menghasilkan kesepakatan bersama kaitan optimalisasi kordinasi pengaturan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) Kabel.

“Koordinasi dengan Pemerintah Daerah ini penting, mengingat menjamurnya LPB Kabel di daerah yang berhimpitan dengan penyediaan instalasi dan domain infrastruktural di daerah. Termasuk beragam pemikiran tentang sejauhmana TV berbayar kabel ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah,” ungkap Danang Sangga Buwana, Komisioner KPI Pusat selaku penanggungjawab acara tersebut.

KPI menginisiasi Rakor bersama Pemda ini, lanjut Danang, juga merupakan respons atas kebijakan beberapa Pemerintah Provinsi yang telah mengeluarkan Peraturan Daerah perihal LPB Kabel, semisal Provinsi Sulawesi Selatan. Dan akan menyusul Provinsi Kepulaua Riau dan Provinsi Lampung.

“Terkait Perda ini, mendatang dimungkinkan akan lebih banyak lagi regulasi daerah yang mengatur soal LPB Kabel, dan secara umum tentang penyiaran. Nah, karena dinamika yang sedemikian cepat perihal penyiaran di daerah ini, maka penting bagi KPI untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah di seluruh Indonesia agar kita benar benar dapat mengoptimalkan penataan penyiaran di daerah, khususnya tentang LPB Kabel,” tegas Danang.

Danang menambahkan, hasil dari Rapat tersebut, menghasilkan tiag rekomendasi, yakni: pertama, perlunya peningkatan koordinasi KPI dengan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam penataan keberadaan LPB melalui pelayanan perizinan dan pengawasan serta pembinaan LPB daerah. Kedua, melakukan kajian penyusunan Peraturan Daerah tentang Penataan Lembaga Penyiaran Berlangganan. Ketiga, membentuk forum koordinasi yang terdiri dari KPI, Pemda, Asosiasi dan pihak terkait lainnya untuk menangani problem-problem LPB yang muncul di daerah.

“Rakor di Bali adalah momentum yang pertama kali dilakukan secara khusus antara KPI dan Pemda dan akan ditindaklanjuti lebih intensif pada pertemuan pertemuan yang lebih khusus,” pungkas Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran ini.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menerima kehadiran anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari daerah pemilihan Bali, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III. Anggota DPD dari Komisi III yang membidangi masalah agama dan budaya ini menyampaikan masukan kepada KPI Pusat terkait sanksi yang dijatuhkan KPI kepada program siaran Little Khrisna, Bima Sakti dan Mahabharata, beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan ini, komisioner KPI Pusat yang hadir adalah komisioner bidang pengawasan isi siaran Agatha Lily, dan komisioner bidang kelembagaan Fajar Arifianto Isnugroho. 

Arya berpendapat, sebaiknya KPI mengikutsertakan lembaga keagamaan untuk memberikan pertimbangan terkait program siaran yang dinilai melanggar aturan, namun bermuatan nilai-nilai agama dan budaya tertentu. Hal tersebut, menurut Arya, untuk menghindari adanya persepsi yang salah dari pihak terkait atas keputusan yang diambil KPI. “KPI dapat meminta pertimbangan dari Parisada Hindu Dharma misalnya, untuk tayangan yang memiliki muatan agama Hindu”, ujar Arya.

Kedatangan Arya ini sendiri didasari keresahan masyarakat Bali atas sanksi yang dikeluarkan KPI kepada beberapa tayangan yang bernuansa Hindu. Padahal, menurut Agatha Lily, sanksi-sanksi tersebut dikeluarkan KPI bukan didasarkan pada filosofi ceritanya.  Tiga program tersebut mendapatkan teguran pertama lantaran memuat adegan kekerasan secara berulang-ulang, padahal tayangan ini muncul sebelum jam 22.00. Batasan waktu ini memang telah diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang melarang adanya muatan kekerasan dan pornografi. KPI mengkhawatirkan efek dari muatan kekerasan yang muncul dalam program siaran tersebut dapat diduplikasi oleh anak-anak yang ikut menonton. KPI sendiri menghargai adanya keberagaman nilai-nilai agama dan budaya yang diyakini seluruh masyarakat Indonesia. Hanya saja, jika nilai-nilai tersebut mengandur unsur kekerasan apalagi sadisme, tentu saja tidak dapat tampil di layar televisi.

Namun demikian, menurut Fajar Arifianto, KPI menghargai masukan yang diberikan anggota DPD ini. Fajar juga menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada masyarakat Hindu, khususnya di Bali yang sangat responsif terhadap muatan tayangan di televisi, sehingga membantu KPI dalam memberikan penilaian serta menjatuhkan sanksi pada program yang terbukti melanggar. Ke depan, untuk meminimalkan kesalahan persepsi, KPI tentu akan berkoordinasi dengan lembaga keagamaan terkait untuk program siaran bermuatan agama yang dinilai bermasalah. 

Jakarta - Perkembangan teknologi saat ini harus diimbangi dalam kerangka regulasi yang responsif. Sehingga pelbagai implikasi sosial akibat perkembangan teknologi dapat dimitigasi dengan baik. Hal itu dipaparkan Menkominfo Rudiantara dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komite I DPD RI dengan Kominfo, Dewan Pers, Komisi Informasi Pusat, dan Komisi Penyiaran Indonesia, di ruang rapat Komite I DPD RI, Rabu (26/11/2014).

Saat menyoroti persoalan digitalisasi penyiaran Menkominfo Rudiantara menawarkan wacana RUU Konvergensi dalam Renstra 2015-2019 sebagai pengganti UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, UU 32/2002 tentang Penyiaran, serta UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) beserta Peraturan Pemerintah turunannya. Wacana ini sebagai bentuk review terhadap perubahan teknologi peyiaran yang tidak bisa lagi dibendung. "Kita akan bersama dengan KPI juga stakeholder penyiaran untuk menyusun regulasi terkait konvergensi telekomunikasi," ungkap Rudiantara selaku Menkominfo.

Ketua KPI Pusat  Judhariksawan, menyikapi konsep penyelenggaraan multipleksing menyatakan bahwa penyelenggaraan digitalisasi ini harus dapat memberikan dampak positif bagi siapapun termasuk daerah baik segi budaya ataupun nilainya. "Daerah bisa ikut merasakan perkembangan dari ekosistem  penyiaran jika lembaga penyiaran mau melaksanakan 10 persen konten lokal," tegasnya.

Hingga saat ini diseminasi informasi di Indonesia masih memprihatinkan. Masih banyak wilayah di Indonesia yang tidak terlayani informasi (blankspot area) akibat keterbatasan infrastruktur bisa karena faktor geografis, atau minusnya penyedia informasi publik, baik pemerintah melalui TVRI dan RRI maupun lembaga penyiaran swasta.  "Masyarakat di area tersebut harus berupaya dengan mempergunakan parabola, celakanya siaran itu masuk tanpa filter dan ini cenderung mengancam ketahanan negara," lanjutnya.

Sementara itu dalam catatan rapat kerja, Ketua DPD RI,  H. Akhmad Muqowam yang sekaligus memimpin rapat dengar pendapat kali ini menyebutkan akan mengkaji lebih lanjut usulan RUU tentang Konvergensi yang diusulkan Kemenkominfo.

Banten - Program jurnalistik semestinya digunakan untuk kepentingan publik yang lebih besar sebagai penyedia informasi dalam memenuhi Hak Azasi Manusia yang paling hakiki, yakni hak untuk tahu dan hak berpendapat masyarakat. Namun kini ditemukan banyak gejala program jurnalistik digunakan sebagai "Marketing Public Relations" oleh stasiun televisi untuk institusi pemerintah, perorangan, maupun badan privat lainnya. 

Hal itu dikemukakan Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat Amirudin dalam forum Evaluasi Uji Coba Siaran (EUCS) yang dilaksanakan untuk 8 (delapan) Lembaga Penyiaran di Wilayah Banten di Hotel Aryaduta, Tangerang, Karawaci, Banten, Rabu, 26 November 2014.

Amir menambahkan, kecenderungan ini terlihat dari banyaknya program berita berupa program liputan khusus berdurasi  30 - 60 menit yang digunakan untuk tayangan "special event" tertentu di daerah oleh Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) TV Lokal. Program ini rata-rata  berdurasi 30 - 60 menit yang ditayangkan dalam satu hari mencapai 30 persen dari total durasi siaran.

"Ini gejala menarik dan perlu ada penegasan dari pihak televisi bahwa program jurnalistik itu sesungguhnya diperuntukan untuk apa. Sebab jika tidak ada penegasan maka LPS TV tersebut dapat diduga melakukan pelanggaran P3SPS atas larangan pemanfaatan program siaran untuk kepentingan kelompok, golongan, atau pemiliknya. Namun jika program berita itu niatnya diperuntukan sebagai jasa Public Relations, maka dapat diposisikan sebagai program iklan yang masuk dalam hitungan durasi siaran iklan maksimal 20 persen,” ujar Amir. 

Hal serupa juga dijelaskan Ketua KPID Banten  Muhibuddin, “Program jurnalistik wajib menjunjung tinggi prinsip- prinsip jurnalistik, antara lain: akurat, berimbang, adil, tidak berpihak dan yang paling penting, wajib menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal maupun pemilik lembaga penyiaran."

EUCS yang dipimpin Amirudin beserta tim EUCS terdiri dari Ketua KPID Banten, Direktorat Penyiaran Kominfo Agnes Widyanti, Syaharuddin, Dwi Wahyudi beserta Direktorat Sumber Daya Kominfo, Adityawarman dan Balmon Spekturm Frekuensi Kelas II Banten, Insan Semesta, berlangsung lancar. (Int)


Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan audiensi dengan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M Nasir, di kantor kementerian Ristek Dikti di bilangan Sudirman (25/11). Hadir dalam audiensi tersebut Ketua KPI Pusat Judhariksawan yang didampingi komisioner KPI Pusat lainnya, Rahmat Arifin, Fajar Arifianto, Amiruddin dan Agatha Lily.

Pada pertemuan tersebut Judhariksawan memperkenalkan KPI sebagai lembaga negara independen yang  menjadi regulator dalam dunia penyiaran.  Judha juga menyampaikan bahwa KPI membutuhkan dukungan kuat dari pihak akademisi untuk menegakkan hukum penyiaran dalam menata dunia penyiaran agar menjadi lebih baik.

Selain itu, Judha juga menjelaskan beberapa program kerja KPI yang bersinggungan dengan dunia perguruan tinggi. Diantaranya survei kepemirsaan yang akan dilakukan KPI Pusat untuk mengukur minat dan kebutuhan masyarakat tentang program siaran. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan dalam undang-undang penyiaran bahwa pemberian izin penyelenggaraan penyiaran harus didasarkan pada minat, kepentingan dan kenyamanan publik.  Program kerja KPI lain yang beririsan dengan kewenangan Kemenristek dan Dikti adalah pembuatan standar kompetensi SDM penyiaran.

Menanggapi yang disampaikan oleh KPI ini,  M Nasir mengakui bahwa dunia penyiaran memiliki peran yang sangat strategis dalam memperbaiki kualitas masyarakat. Untuk itu Nasir berharap dalam pembuatan survey kepemirsaan tersebut, KPI juga mencari tahu tentang manfaat program siaran yang sekarang ini tayang terhadap kehidupan masyarakat. “Bagaimana dampak siaran bagi pendidikan, baik dalam muatan siarannya ataupun durasi waktu siaran”, ujar Nasir.  Dirinya juga melihat, di beberapa daerah sudah ada aturan mematikan televisi selama satu jam pada saat jam belajar anak-anak. “Ini harus dilihat, seperti apa dampak televisi hingga harus ada aturan mematikan satu jam untuk anak-anak belajar”, ujarnya.

Lebih jauh Nasir juga mengingatkan mengenai daya kompetisi SDM di Indonesia yang masih rendah baik di bidang sains, teknologi ataupun riset. Dirinya sangat setuju dengan rencana KPI untuk membuat standarisasi kompetensi SDM penyiaran. “Agar pada saat 2015 nanti, SDM kita juga mampu bersaing dengan pekerja dari luar negeri”, ujarnya.  Baik Judha maupun Nasir juga sepakat untuk segera merumuskan nota kesepahaman antara KPI dan Kemenristek Dikti.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.