Mangupura - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tahun 2018 telah melaksanakan Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun ke-4. Pada tahun 2018, KPI sudah melaksanakan survei sebanyak tiga kali, yang menunjukkan dari 8 kategori program siaran, hanya 4 kategori yang memenuhi standar kualitas KPI.
Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah mengatakan, dari 4 tahun survei ini sudah ada yang mau mengikuti standar kualitas KPI. "Alhamdulillah kami sudah ekspos yang pertama dari program-program televisi yang ada. Harapannya dari survei ini, hasilnya bisa jadi tolak ukur, barometer lembaga penyiaran melakukan perbaikan," ujarnya saat di temui Tribun-Bali.com saat sharing komunikasi bersama mahasiswa, Rabu (15/8/2018).
Dalam hasil survei tersebut, Ubaid mengatakan, baru ada 4 kategori program yang sudah memenuhi standar kualitas KPI, seperti program wisata budaya, religi, anak, dan talk show.
Sementara 4 kategori program lainnya masih belum memenuhi standar kualitas KPI seperti berita, variety show, sinetron, dan infotainment. "Ambil contoh seperti infotainment, dari tahun pertama hingga ke empat. Dari semua indikator masih di bawah angka tidak berkualitas, jadi di bawah angka tiga, kami berharap untuk ada perbaikan," tuturnya.
"Karena indikator tersebut bukan hanya KPI yang membua,t tapi juga melibatkan praktisi dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalam bidangnya, seperti pakar jurnalistik, budaya, dan pakar-pakar lainnya. Sehingga survei ini benar-benar bisa menjadi tolak ukur untuk lebih baik kedepannya," tambahnya.
KPI berharap survei yang dilakukan ini tidak hanya untuk perusahaan, namun juga untuk masyarakat yang melihatnya. Selain itu, KPI kedepannya ingin mengajak perusahaan layar kaca untuk tidak hanya mementingkan bisnis semata, namun juga siaran yang ditampilkan bisa bermanfaat bagi penonton.
Selama 4 tahun berjalan, KPI yang didukung berbagai pihak ingin mempertahankan sekaligus menguatkan kegiatan Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi.
Hal ini juga berkaitan untuk memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan isi siaran yang lebih baik serta berkualitas. Hasil penelitian dimaksudkan agar informasi berkualitas yang diterima masyarakat melalui frekuensi publik, program siaran televisi tidak hanya berisi hiburan ataupun sekadar mengikuti rating. Red dari Tribun Bali
DPRD Kabupaten Kuantan Singinggi, Sardiono, saat melakukan kujungan kerja ke Kantor KPI Pusat, Selasa (14/8/2018). Kunjungan diterima langsung Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini dan Kepala Bagian Perizinan KPI Pusat, Imam Waluyo.
Jakarta – Pemerintah Kabupaten Kuantan Singinggi, Provinsi Riau, berecana akan menghidupkan kembali lembaga penyiaran publik (LPP) radio. Saat ini, proses pengaktifan radio dengan nama Kuansing FM menunggu ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) tentang pendirian radio publik tersebut.
Rencana itu diungkapkan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kuantan Singinggi, Sardiono, saat melakukan kujungan kerja ke Kantor KPI Pusat, Selasa (14/8/2018). Kunjungan yang disertai Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Kuantan Singinggi, Syamsir Alam, diterima langsung Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini dan Kepala Bagian Perizinan KPI Pusat, Imam Waluyo.
“Saat ini sudah dibentuk Pansus tentang Perda lembaga penyiaran publik radio lokal. Kami berharap radio menjadi legal. Nanti pendanaannya juga akan legal dan didanai oleh APBD,” kata Wakil Ketua DPRD, Sardiono.
Sementara itu, Imam Waluyo menjelaskan, Pemda dapat mendirikan lembaga penyiaran publik lokal jika di daerah tersebut belum ada siaran TVRI ataupun RRI. Bahkan, alokasi frekuensi untuk lembaga penyiaran publik telah ada.
Menurut Imam yang terpenting adalah adanya komitmen menyelenggarakan penyiaran secara berkesinambungan di daerah tersebut. “Karena itu, dibutuhkan support dari bupati atau yang setingkatnya. Selain itu, ikuti proses perizinannya dengan berkirim surat atau proposal tembusan kepada menteri Kominfo dan KPI serta mengikut aturan dalam Permen No.18,” katanya.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, meminta radio ini jika sudah bersiaran secara legal agar mengutamakan siaran yang bermanfaat untuk publik yakni siaran yang bernilai pendidikan, kesehatan dan lainnya. “Siaran itu sebaiknya didahulukan,” katanya. ***
Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, saat bertemu dengan perwakilan lembaga penyiaran radio di Kantor KPI Pusat, Senin (13/8/2018).
Jakarta – Lembaga penyiaran radio diminta untuk menghentikan dan tidak lagi memutar lagu-lagu bersyair cabul, jorok, kasar dan berbau makian. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih menemukan adanya siaran musik, baik lokal maupun asing, yang berbau hal yang dilarang dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 khususnya dalam lagu bergenre Rap dan Dangdut.
“Kami mencatat terdapat beberapa radio yang memutarkan lagu yang syairnya mengandung kata-kata cabul, jorok, kasar dan makian. Sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk mengatur penyiaran, KPI juga punya tugas mengatur penyiaran radio,” kata Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, saat bertemu dengan perwakilan lembaga penyiaran radio di Kantor KPI Pusat, Senin (13/8/2018).
Menurut Dewi, meskipun banyak pihak yang pesimis terhadap keberlangsungan lembaga penyiaran ini, radio masih tetap menjadi media yang signifikan dipercaya sebagai sumber informasi dan hiburan. Maka menjadi penting untuk memastikan bahwa program siaran di radio tetap sesuai dengan regulasi penyiaran, termasuk lagu-lagu yang diputar di radio.
KPID DKI Jakarta ikut hadir dalam acara bertajuk pembinaan itu menyatakan menemukan banyak siaran lagu berbahasa Indonesia dan daerah yang mengandung hal itu terutama dalam lagu dangdut. “Liriknya mengadung unsur vulgar, cabul dan seksualitas . Kami minta radio tidak menayangkan lagu tersebut. Dan yang paling banyak lagu dangdut,” kata Wakil Ketua sekaligus Komisioner KPID DKI Jakarta, Rizky Wahyuni.
Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah mengatakan, lagu dengan muatan cabul, jorok, berbau makian berpotensi terkena sanksi teguran tertulis. Di Pasal 20 dan 24 SPS KPI dijelaskan soal larangan menyiarkan hal-hal tersebut. “Apakah siaran lagu ini sudah melalui proses sensor dari produsernya,” katanya.
Sementara Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengkhawatirkan siaran lagu demikian didengarkan anak-anak dan mereka jadikan ikutan menyanyikan liriknya. “Kita harus memastikan anak-anak tidak mendengarkan lagu-lagu seperti ini,” tambahnya.
Terkait siaran lagu, KPI mengusulkan adanya kerjasama dengan Pengurus Daerah (PD) Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) untuk melakukan proses verifikasi list lagu yang boleh dan tidak untuk diputarkan di radio. “KPI juga meminta radio melakukan sensor mandiri terhadap lagu-lagu cabul atau kasar, dengan tidak memutarkannya, atau melakukan pengeditan seperlunya terhadap lirik yang dimaksud,” kata Dewi Setyarini.
Selain soal lirik lagu, pertemuan tersebut juga membahas program bincang-bincang mengenai seksualitas di radio. Menanggapi hal ini, KPI meminta radio untuk berhati-hati ketika menyiarkan talkshow dengan muatan seperti itu. “Dalam bincang-bincang seks perlu kehati-hatian dan kesantunan, serta harus melibatkan ahli kesehatan atau psikolog, dan seyogyanya tayang di jam dewasa,” pinta Dewi Setyarini yang juga mempunyai latar belakang di dunia radio.
Selain itu, Dewi juga mengingatkan bahwa masih banyak persoalan yang beririsan dengan dunia radio, misalnya iklan kesehatan, iklan dewasa, dan eksplorasi lokal konten. Harapannya, persoalan norma dan etika dalam pemutaran lagu sudah terselesaikan sehingga ke depan bisa fokus kepada persoalan lain yang tidak kalah penting, termasuk terlibat dalam perubahan regulasi dan strategi menghadapi tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesat. ***
Produser, sutradara muda, penulis latar, aktris, dan sekaligus pemeran pengganti Indonesia yang berkiprah di Hollywood, Livi Zheng, menyambangi Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Jakarta, Rabu (14/8/2018).
Jakarta – Livi Zheng, seorang produser, sutradara muda, penulis latar, aktris, dan sekaligus pemeran pengganti Indonesia yang berkiprah di Hollywood menyambangi Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Jakarta, Rabu (14/8/2018). Kedatangan Livi bersama kru filmnya diterima langsung Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano dan Nuning Rodiyah.
Dalam kunjungan singkatnya di KPI Pusat, Livi yang lahir di Jawa Timur, 29 tahun silam, menceritakan pengalaman hidupnya mengawali dunia perfilman di Amerika Serikat. Ia memulai kariernya sebagai pemeran pengganti pada usia lima belas tahun. Ia berperan pada serial televisi tiga puluh episode yang populer berjudul Laksamana Cheng Ho, dan kemudian berpindah ke Beijing, China pada usia enam belas tahun untuk melanjutkan riset dan kerja pada serial tersebut.
Zheng yang memiliki satu adik, Ken Zheng, juga terlibat dalam film dan seni bela diri. Ia dan saudaranya kemudian pindah ke Amerika Serikat ketika ia berusia delapan belas tahun.
Pada 2014, Livi menyutradarai film Brush with Danger. Film ini mengisahkan tentang kakak beradik yang menggunakan kemampuan mereka untuk bertahan hidup di tanah asing, yang diperankan oleh Livi Zheng dan saudara sungguhannya, Ken Zheng. KPI Pusat mendapat kesempatan menyaksikan film tersebut meskipun singkat.
Menurut Livi, dalam membuat film dirinya selalu menyisipkan unsur-unsur tentang Indonesia, baik itu berupa musik maupun bentuk lain. Salah satu yang sering di sisipkan adalah musik gamelan. “Indonesia itu sangat kaya dan jika kita ingin mengekplorenya tidak akan cukup sampai usia kita tua,” kata Duta Kementerian Pemuda dan Olahraga ini.
Prestasi Livi yang tak kalah dengan membuat film adalah kepiawaiannya olahraga beladiri khususnya Karate. Dia mewakili tim Karate negara bagian Washington pada tahun-tahun ia berada di kampus dan memenangkan lebih dari 25 medali dan trofi untuk kompetisi wilayah dan nasional di Amerika Serikat.
Zheng memenangkan kompetisi dari 2009 US Open, Orlando, Kejuaraan Karate Terbuka Shorinryu Tahunan ke-36, sampai Turnamen Invitasional Federasi Karate Negara Bagian Washington 2010 dan Kualifikasi Federasi Karate Nasional AS. “Saya juga sering menjadi dosen tamu disejumlah kampus di Amerika Serikat,” ungkapnya.
Salah satu pengalaman menarik diceritakan Livi di KPI yakni pada 2017, pada saat dirinya menjadi salah satu narasumber di Annual Meetings of the World Bank Group and the IMF Global Media Gathering yang diadakan di World Bank Headquarter, Washington D.C.
Bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia Luhut Pandjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo. Livi Zheng, memperkenalkan konsep Bhineka Tunggal Ika, dalam acara tersebut. Livi menjelaskan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau dan lebih dari 300 suku yang hidup berdampingan dengan keanekaragaman budaya dan kekayaan alam yang melimpah.
Pada acara itu, Livi bercerita tentang Bali, yang disebutnya merupakan pilihan tepat untuk menjadi tuan rumah 2018 Annual Meetings of the World Bank Group and the IMF. Menurut Livi, warga Bali sangat ramah. Mereka, tidak segan belajar bahasa asing agar siap menerima kedatangan wisatawan dari mancanegara.
Livi menuturkan, ketika dalam kunjungannya ke Bali saat masih kecil, ia melihat warga Bali bisa berbahasa Inggris karena kebanyakan turis berasal dari Australia. Namun saat ini setiap tahun jutaan orang datang dari berbagai negara di seluruh dunia. Kini ia melihat banyak warga Bali yang bisa berkomunikasi dengan bahasa-bahasa asing lain seperti bahasa Jepang dan Mandarin.
Livi mengatakan, ia berkesempatan menjalani shooting film barunya, Bali: Beats of Paradise, di Bali. Ia merasa beruntung tinggal dan berinteraksi langsung dengan warga setempat. Pemandangan Bali sangat indah tapi yang paling ia cintai dari negara tempat kelahirannya adalah kebudayaan dan tradisi yang masih kental di kehidupan sehari-hari.
Livi Zheng juga bercerita tentang kampung halamannya, Kota Blitar, Jawa Timur. Dia mengatakan, Blitar adalah sebuah kota kecil, kota ini bukan hanya spesial bagi dia, tapi juga bagi Indonesia. Menurutnya, Presiden pertama Indonesia, Soekarno, menghabiskan masa kecilnya di sana. Di kota itu pula Soekarno dimakamkan.
Usai pertemuan itu, Livi dan kru melihat bagian pemantauan langsung KPI Pusat. Dalam kesempatan itu, Ia melakukan dialog dan bertanya kepada sebagian tenaga pemantau KPI. Livi menyatakan, kunjungan ke KPI sangat berkesan dan menilai peran lembaga ini sangat penting dan dikuatkan agar mutu siaran makin meningkat. ***
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi sanksi teguran pada program siaran “Hitam Putih” di Trans 7 karena tidak menyamarkan wajah orangtua dan nenek serta identitas pelaku pada saat dialog dengan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang menikah di usia dini. Pelanggaran tersebut terjadi di program “Hitam Putih” yang tayang pada 18 Juli 2018 mulai pukul 18.14 WIB.
Dalam surat teguran yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Senin pekan lalu (6/8/2018), disebutkan acara tersebut menampilkan dialog dengan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang menikah di usia dini. KPI Pusat mencatat Trans 7 telah melakukan penyamaran wajah terhadap kedua anak, namun wajah ibu dan nenek kedua anak yang dimaksud tidak turut disamarkan dan terdapat penyebutan identitas nama kedua anak tersebut yakni “Arifin dan Ira”.
Menurut KPI Pusat, hal itu berpotensi membentuk stigma masyarakat dan menimbulkan dampak psikologis terhadap kedua anak tersebut. “Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas ketentuan tentang perlindungan anak-anak dan remaja,” kata Yuliandre Darwis.
Berdasarkan keputusan KPI Pusat, tayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran KPI Tahun 2012 Pasal 14 serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 15 Ayat (1). Berdasarkan pelanggaran tersebut, KPI Pusat memberikan sanksi administratif teguran tertulis.
“Kami minta Trans 7 menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran dan segera melakukan perbaikan agar kejadian serupa tidak terulang,” tutur Andre, panggilan akrab Ketua KPI Pusat. ***
Tayangan ini mengandung pernikahan dini usia anak. Usia legal untuk menikah di Indonesia adalah 19 tahun, sedangkan dalam sinetron tersebut zahra berusia 17 tahun, yang lebih mirisnya adalah diperankan oleh anak yang belum genap 15 tahun. .
Jika tayangan ini terus berlanjut maka sama saja menganggap normal pernikahan pada usia anak. 1 hal lagi, peran suami dalam sinetron tersebut memiliki gap usia yang sangat jauh dari si istri ketiga. Yakni 40 tahun dengan anak 15 tahun. Jika tayangan ini terus berlanjut maka akan mengarah pada romantisasi pedofilia. Tolong kebijakannya. HENTIKAN TAYANGAN INI.