Jakarta – Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) adalah momentum yang menjadi tonggak hidupnya penyiaran nasional. Dimulai dari Surakarta, dengan berdirinya perkumpulan radio pribumi pertama, Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1 April 1933. Semenjak itu, wajah penyiaran nasional telah banyak berubah. Peringatan hari penyiaran menjadi refleksi bagi penyiaran nasional dari tahun ke tahun.
Peringatan hari jadi penyiaran juga dilaksanakan di tingkat daerah, seperti di Provinsi Jawa Barat (Jabar). Saat berkunjung ke Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Jumat (31/5/2024), rencana tersebut disampaikan langsung Ketua KPID Jabar Adiyana Slamet ke Anggota KPI Pusat, Tulus Santoso dan Mimah Susanti.
Dalam kesempatan itu, Ketua KPID Jabar menyampaikan undangan ke KPI Pusat untuk hadir dalam peringatan Hari Penyiaran di Jawa Barat. Dia menjelaskan bahwasanya KPID Jabar akan menyelenggarakan berbagai rangkaian kegiatan.
“Kami datang untuk mengundang langsung Harsiarda termasuk undangan permohonan sambutan untuk Ketua KPI Pusat,” ucap Adiyana.
Menanggapi permohonan tersebut, Anggota KPI Pusat sekaligus Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Tulus Santoso, menyatakan niatnya untuk turut meramaikan peringatan Harsiarda tersebut. Mengingat, KPI saat ini tengah fokus menyiapkan penyelenggaraan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI seluruh Indonesia.
“Semoga kita bisa hadir ditengah tengah padatnya jadwal dan kegiatan kami. Tanggal 8 semoga kami bisa ikut meramaikan acara. Setelah kegiatan di beberapa kota, kami fokus ke Rakornas dan Harsiarnas,” ucap Tulus.
Rangkaian kegiatan Harsiarda melibatkan banyak pihak. Kegiatan telah dimulai sejak 14 Mei lalu. Adapun rangkaian acaranya antara lain kegiatan bersama komunitas pemberdayaan masyarakat, roadshow ke perguruan tinggi dan penanaman pohon, broadcast expo, hingga kampanye bertajuk “Ayo Nonton TV & Dengarkan Radio Terus." Puncak peringatan Harsiarda akan digelar pada 9 Juni dan rencananya akan dihadiri Penjabat Gubernur Jabar. Abidatu Lintang
Bogor – Pembahasan substansi draft revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standai Program Siaran (P3SPS) terus dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal ini untuk memastikan draft revisi sesuai dengan dinamika penyiaran saat ini sekaligus juga dapat diterima semua pihak khususnya publik.
Pandangan ini disampaikan Akademisi dari Universitas Padjajaran Dadang Rahmat Hidayat, dalam forum diskusi kelompok terpumpun atau FGD tentang Masukan Revisi P3SPS yang digelar KPI Pusat di Bogor, awal pekan ini.
Menurut Dadang, publik menjadi alasan utama regulator untuk melakukan proses revisi P3SPS. Karenanya, proses revisinya harus dilakukan secara terbuka dan membuka ruang masukan dari luar. “Jangan dilakukan sembunyi-sembunyi,” katanya.
Selain itu, kebutuhan untuk merivisi pedoman ini cukup dilihat dari aspek substantifnya. Jadi melihatnya dari apa saja yang belum diakomodir dalam pedoman tersebut. “Menambahkan hal-hal yang ada namun belum diatur dan menghapuskan hal-hal yang tidak perlu diatur,” ujar Dadang yang pernah menjabat Anggota KPI Pusat periode 2010-2013 lalu.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan KPI terkait penerimaan usulan dari stakeholder (publik dan lembaga penyiaran). Pelibatan ini untuk memastikan pedoman ini ketika ditetapkan dapat diterima semua pihak.
“Perlu berhati-hati, sebab pihak lembaga penyiaran khususnya radio merasa tidak dilibatkan atau dianaktirikan. P3SPS adalah sarana yang memiliki fungsi imperatif. KPI sebagai regulator administrator. Jangan sampai dalam P3SPS muncul pasal-pasal yang bisa menimbulkan wacana penolakan revisi P3SPS,” usul Dadang Rahmat Hidayat.
Dalam kesempatan itu, Dadang mengingatkan KPI adalah lembaga yang menjalankan perintah dan memiliki kewenangan. Namun demikian, lanjutnya, jangan juga KPI berjalan melampaui kewenangannya.
Di tempat yang sama, narasumber lain yang juga Ketua KPI Pusat Periode 2019-2022, Agung Suprio, menyampaikan harapannya agar revisi P3SPS segera selesai. Dia juga berharap penyiaran di tanah air makin berkembang dan maju.
Pada forum diskusi ini, berbagai pandangan dan masukan disampaikan dari para peserta diantaranya Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, Anggota KPI Pusat, Amin Shabana, Muhammad Hasrul Hasan, Evri Rizqi Monarshi, Aliyah, Tulus Santoso dan Mimah Susanti. ***/Foto: Teddy
Jambi – Dampak positif dari penyiaran diyakini memberikan efek terhadap pengembangan kualitas hidup masyarakat secara luas. Selain itu, muatan dan bobot isi siaran yang relevan juga menjadi modal bagi peningkatan ekosistem penyiaran di Indonesia. Namun demikian, dukungan dan bimbingan langsung bagi masyarakat soal penyiaran tetap penting demi menjaga keberlangsungan penyiaran yang sehat dan berkualitas.
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat sekaligus Koordinator bidang Kelembagaan, I Made Sunarsa mengatakan, pihaknya berkomitmen dalam pengembangan sistem dan fungsi penyiaran dengan mengajak seluruh komponen masyarakat untuk aktif memberikan pandangan. Karenanya, lanjut dia, kehadiran salah satu program prioritas nasional yakni Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) dengan melibatkan 12 perguruan tinggi negeri se-Indonesia merupakan bentuk upaya KPI dalam memberikan ukuran kualitas dan keseimbangan dari aspek akademis.
Dari pelaksanaan IKPSTV yang sudah berjalan 10 tahun, terdapat 2 kategori program yakni sinetron dan infotainmen selalu mendapatkan rapor merah atau di bawah rata-rata standar nilai 3,0 yang ditetapkan KPI. Menurut I Made, hasil ini menjadi menarik karena memunculkan kajian mendalam tentang kenapa dan mengapa ke dua kategori ini jauh dari kata berkualitas.
“Keseimbangan konten siaran membutuhkan dukungan masyarakat banyak. IKPSTV hadir dengan sudut pandang keilmuan dengan ukuran yang telah ada sehingga barometer kualitas program siaran didukung dengan argumen bedasarkan¬¬ basis keilmuan,” ungkap I Made Sunarsa saat membuka kegiatan Diseminasi IKPSTV Periode II Tahun 2023 dengan judul “Dilema Kepentingan Industri atau Kualitas Penyiaran” di Auditorium Univeristas Muhammadiyah Jambi, Jumat (17/5/2024).
Di tempat yang sama, Rektor Univeristas Muhammadiyah Jambi, Hendra Kurniawan menilai, kegiatan seperti IKPSTV sudah selayaknya menjadi perhatian khusus dalam menentukan takaran kualitas siaran di Indonesia. Dalam arti lain, selain menjadi fokus KPI untuk mempublikasikan hasil penilaiannya, kegiatan diseminasi ini juga menambah khazanah keilmuan mahasiswa di Jambi khususnya tentang fakta baru perkembangan dunia penyiaran Indonesia.
“Apresiasi kami atas terselenggaranya kegiatan ini untuk memberikan wawasan bagi mahasiswa dan sivitas akademika. Kegiatan dengan tema Diseminasi IKPSTV Periode II tahun 2023 bisa untuk mendalami atau mengenal KPI dan IKSPTV,” katanya. Syahrullah
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama pemangku kepentingan penyiaran mendorong adanya Revisi Undang-Undang Penyiaran sejak 2010. Revisi ini sangat penting dalam rangka menghadirkan ekosistem penyiaran yang sehat dan berkualitas serta bermanfaat bagi masyarakat, negara, maupun tumbuh kembangnya industri penyiaran Nasional. Upaya Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 pada prinsipnya lahir dari masukan berbagai pihak mulai dari kelompok masyarakat sipil (civil society), industri, akademisi dan pemerhati penyiaran lainnya. Secara resmi usulan revisi undang-undang ini sudah disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2015 di Makassar. Secara umum, usulan KPI atas revisi undang-undang terkait tiga hal yaitu:
1. Penguatan kelembagaan internal KPI yang terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah dalam rangka optimalisasi kerja pengawasan konten siaran yang jumlahnya semakin berlipat sejak pelaksanaan ASO.
2. Membangun rasa keadilan bagi ekosistem penyiaran melalui usulan pengawasan konten di platform digital.
3. Mengusulkan audit rating demi menghindari adanya tafsir tunggal atas kualitas program siaran di televisi.
Tiga hal ini disuarakan KPI secara simultan dalam berbagai bentuk kegiatan ataupun dialog resmi setelah mendengar aspirasi berbagai pemangku kepentingan penyiaran. Adapun rekam peristiwa yang dilakukan, KPI ini dapat diakses publik dalam website resmi KPI.
Secara yuridis, Revisi Undang Undang Penyiaran adalah keniscayaan
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memiliki dampak terhadap pola struktur dan dukungan manajemen kesekretariatan yang melemahkan posisi KPI di daerah sebagai sebuah lembaga negara. Atas beberapa diskusi yang melibatkan beberapa pihak, maka solusi terbaiknya adalah melakukan revisi atas Undang-Undang Penyiaran.
Selanjutnya kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mengoreksi 9 pasal pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Koreksi dimaksud berkaitan dengan perubahan beberapa kewenangan KPI dan tata laksana digitalisasi penyiaran yang tidak ada pengaturannya dalam Undang-Undang Penyiaran. Atas dasar itu juga dibutuhkan regulasi yang baru untuk penyiaran.
Terkait dinamika Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, KPI menilai secara teknis RUU ini masih akan berproses sesuai dengan peraturan perundangan yang akan melibatkan segenap stakeholders. Dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran dan perubahan peraturan perundang-undangan, Revisi Undang-Undang Penyiaran adalah sebuah kebutuhan. Spirit dari revisi Undang-Undang Penyiaran ini tetap ingin menjamin ruang kebebasan bersuara dan berpendapat demi demokratisasi media dan penyiaran di tanah air. (Siaran Pers ini dikeluarkan oleh Humas KPI Pusat)
Semarang – Forum Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP) merupakan salah satu program kegiatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk meningkatkan dan memantik peran aktif masyarakat dalam pengawasan dan pemanfaatan penyiaran. Pemuda (mahasiswa) menjadi kelompok yang disasar dalam kegiatan ini. Peran aktif mereka sangat diperlukan di tengah mulai beralihnya konsumsi informasi masyarakat dari media konvensional ke media baru.
Ketua KPI Pusat Ubaidillah mengatakan, pihaknya terus mendorong peran aktif pemuda untuk lebih dekat dengan penyiaran. Dorongan ini menurutnya tidak boleh kendur karena pemuda merupakan kelompok terbesar masyarakat yang banyak mengkonsumsi informasi dari media baru.
“FMPP digelar KPI sebagai upaya integral pengawasan penyiaran berbasis partisipasi masyarakat. Kegiatan ini untuk menghimpun komunitas–komunitas di masyarakat termasuk bagi para pemuda utamanya berkaitan dengan dunia penyiaran,” kata Ketua KPI Pusat saat membuka jalannya kegiatan FMPP di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, Kamis (16/5/2024).
Forum ini juga bertujuan menghidupkan daya kritis masyarakat terhadap informasi yang diterima. Sikap kritis ini diperlukan sebagai bentuk antisipasi dan penyaringan dari segala informasi yang berdampak negatif.
“Kegiatan ini juga dalam rangka membangun sinergi KPI dan masyarakat dalam menata informasi yang luhur dan penuh kebijaksanaan dengan mengacu pada norma, asas Pancasila dan regulasi perundangan yang mengaturnya. Mari sama-sama kita mengedukasi masyarakat untuk memilih penyiaran yang baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” tutur Ubaidillah di depan ratusan peserta FMPP.
Dalam kesempatan itu, Gus Ubaid, panggilan akrabnya, menyinggung banyaknya aduan tentang media baru yang masuk ke KPI. Menurutnya, pengaturan media ini tengah diupayakan masuk dalam revisi UU Penyiaran. “Banyak lembaga penyiaran protes bahwa pengawasan harus berkeadilan tidak hanya TV dan radio tetapi juga platform. Karena banyak hal yang tidak baik juga ditampilkan di platform media baru ini,” ungkapnya.
Menyoal keberadaan media baru ini, Wakil Rektor UIN Walisongo, Prof H.M Mukhsin Jamil mengatakan, forum ini merupakan bentuk dari edukasi bagaimana cara meminimalisir efek buruk dari media tersebut. Saat ini, kata beliau, kehadiran media baru membuat otoritas keagamaan tidak lagi menjadi rujukan.
“Lingkupnya sekarang sudah sangat luas. Sehingga tidak lagi kepada ustadz dan pemuka agama tetapi sudah menggunakan media lain (media baru). Misal mencarikan nama untuk anak. Saat ini, dalil-dalil dan informasi agama sudah bisa kita dapatkan di media sosial,” katanya.
Berkaitan soal ini, Warek UIN Walisongo menilai perlu ada penguatan penyiaran. Penguatan ini berupa peningkatan produksi konten-konten siaran berkualitas dan sehat. “Karena ini berkaitan dengan pilar penting demi untuk membangun bangsa. Penyiaran harus menjadi corong informasi, tidak hanya soal agama tetapi juga semua aspek kehidupan,” tutur Prof H.M Mukhsin di awal kegiatan FMPP.
Saat berlangsungnya diskusi, narasumber sekaligus Komisioner KPI Pusat Tulus Santoso, menjelaskan tentang pola konsumsi media masyarakat global. Menurutnya, Indonesia termasuk yang mengalami pergeseran. “Ini hal yang tidak bisa dihindari karena memang saat ini masuk era konvegensi,” katanya.
Namun demikian, ujar Tulus, masyarakat di Amerika Serikat (AS) mengalami periode kembali. Berdasarkan data yang diperolehnya, jumlah penonton TV di AS masih cukup tinggi. “Ini dikarenakan di sejumlah negara maju sudah ada kegelisahan adanya efek negatif yang tidak terbendung dari media baru. Hal itulah yang membuat mereka kembali ke televisi,” jelasnya.
Meskipun jumlah penoton TV di tanah air makin berkurang, KPI menemukan selera masyarakat menonton sinetron masih tinggi. “Kami pernah melakukan survey MKK di Jawa Barat. Memang masih banyak yang menonton sinetron. Dan sinetron merupakan peluang untuk pengiklan memasang iklan karena berdasarkan selera masyarakat,” tuturnya.
Tulus juga menyampaikan mekanisme pengawasan penyiaran di KPI. Dia menegaskan adanya sanksi terhadap lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran. Sanksi ini merupakan alat kontrol pengawasan agar sesuai regulasi. Selain sanksi, ada apresiasi yaitu penghargaan kepada televisi yang mempunyai siaran yang berkualitas. “Dan ini merupakan cara untuk menjaga suplai dan demand untuk eksistensi industri penyiaran,” katanya.
Perwakilan Tokoh Pemuda di Jateng, Chintami Budi Pertiwi, narasumber diskusi lainnya mengatakan, pemuda harus memiliki inovasi dan kreatifitas sekaligus pembekalan penggunaan teknologi yang mumpuni. “Pemuda harus membuat konten edukatif dan inspiratif. Harus juga berpartisipasi dalam jurnalisme warga,” ucapnya.
Dia menyimpulkan jika pemuda harus memainkan peran krusial dalam penyiaran untuk advokasi dan kesadaran sosial. Menggunakan kreativitas, teknologi, dan semangat untuk mendorong perubahan positif. “Ini untuk membentuk masa depan yang lebih inklusif dan berkeadilan,” papar Chintami.
Dalam acara FMPP ini, turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza dan Ketua KPID Jateng, Muhammad Aulia Assyahidin. ***/Foto: Agung R
Tayangan ini mengandung pernikahan anak usia dini secara paksa. Usia legal untuk menikah adalah 19 tahun. Sedangkan dalam mega series tersebut peran "zahra" masih berusia 17 tahun, dan mirisnya diperankan oleh anak yang masih belum genap 15 tahun. SANGAT TIDAK PANTAS. STOP TAYANGAN INI. DIMOHON DENGAN SANGAT UNTUK MENGHENTIKAN SINETRON INI ATAU SETIDAKNTA MENGGANTI PEMERAN ZAHRA.
Pojok Apresiasi
Ragus Patriantobsc
Lurah Tambakwedi otak penyerobotan tanah gg cendrawasih persil Soebagyo,Tanah tersebut sisebagaidh balik nama sebagian ke Ragus Patriantobsc dan muncul pbb namun pihak kelurahan tdk membuat buat perubahan warkah pbb sesuai dgn ukuran kavling yg sdh didaftarkan juru kavling shg terugikan tiap tahun pembayaran pbb ,dr ukuran yg dipaksakan tsb.Kerugian dr perilaku tdk wajar kelurahan tsb muncul bangunan2 menghabiskan tanah yg belum balik nama tsb.