Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia dan Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur mendorong lembaga penyiaran memperbanyak konten mendidik dalam program siarannya. Lembaga penyiaran, khususnya televisi, didorong untuk menjalankan dengan sepenuhnya fungsi media sebagai sumber informasi, media edukasi, sarana hiburan dan alat kontrol sosial yang menguatkan ideologi bangsa.

Hal tersebut diungkapkan dalam pertemuan antara KPI dengan Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur di Kantor KPI Pusat, Jakarta, Jumat, 4 Maret 2016. Rombongan yang berjumlah 15 orang itu dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi A DPRD Jatim Bambang Juwono. Dari KPI Pusat diwakili oleh Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Idy Muzayyad, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Fajar Arifianto Isnugroho, Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Danang Sangga Buwana dan Sekretaris KPI Pusat Maruli Matondang.

Menanggapi kebutuhan konten mendidik yang lebih banyak di televisi, Idy Muzayyad mengatakan bahwa apa yang disiarkan media dewasa ini merupakan potret kontestasi antara tayangan yang baik dan buruk. “Kita bisa menutup sama sekali konten yang buruk. Maka harus diperbanyak (konten) yang baik,” kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua KPI Pusat itu.

Idy mengakui bahwa, sanksi yang dikeluarkan KPI selama ini belum berbanding lurus dengan peningkatan kualitas. Idy menganggap sanksi KPI belum menimbulkan efek jera. Untuk itu, lanjutnya, dalam revisi Undang-undang penyiaran yang saat ini sedang dibahas di DPR, KPI mengusulkan adanya peraturan yang mengatur sanksi denda terhadap pelanggaran siaran yang dilakukan lembaga penyiaran.

Berbicara mengenai konten dan industri pertelevisian erat kaitannya dengan rating dan sharing. Kedua hal itu yang menentukan pendapatan televisi berdasarkan jumlah iklan yang masuk dari suatu program acara tertentu. Saat ini penentuan rating televisi dimonopoli oleh satu lembaga pemeringkat. Idy mengungkapkan, saat ini belum ada peraturan ataupun undang-undang yang mengatur keberadaan lembaga pemeringkat itu. Besar harapannya hal itu dapat dimasukkan dalam revisi undang-undang penyiaran.

Di samping itu, pokok undang-undang penyiaran adalah menjamin adanya keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan. Dalam proses perpanjangan izin penyiaran yang sedang berlangsung saat ini, Danang Sangga Buwana mengatakan, KPI Pusat telah melakukan Verifikasi Faktual data yang diterima. “KPI sedang mengkaji kepemilikan saham lembaga penyiaran,” katanya. 

Poin penting lainnya dalam evaluasi perpanjangan izin penyiaran adalah penerapan sistem stasiun berjaringan. Dalam undang-undang penyiaran televisi diwajibkan menayangkan konten lokal 10 persen dari total jam siaran. “ini penting untuk menjaga lokalitas daerah. Agar tayang tidak selalu jakarta centris. Sayangnya penerapannya saat ini masih 5-7 persen,” kata Danang.

Dalam kesempatan yang sama, Komisi A DPRD Jatim juga menyampaikan rencana rekrutmen anggota KPID Jatim masa jabatan 2016 – 2019. “Bagaimana seharusnya kita menyikapi perubahan undang-undang 32 (tahun 2002 tentang penyiaran) yang saat ini sedang dibahas di DPR, khususnya mengenai peraturan perekrutan, kebetulan tahun ini kami akan memulai membentuk tim seleksi perekrutan anggota KPID jatim masa Jabatan 2016-2019,”kata Bambang Juwono.

Mengenai hal itu, Fajar mengatakan, akan diusulkan peraturan peralihan untuk kepengurusan yang sudah berjalan. Selama undang-undang yang baru belum disahkan, maka masih berlaku undang-undang yang lama. “Namun kami mengusulkan adanya peraturan peralihan yang akan mengatur kepengurusan yang sudah berjalan. Harapannya jika undang-undang disahkan di tengah kepengurusan baru, mereka masih bisa melanjutkan kepengurusan hingga masa jabatan berakhir, tidak putus di tengah jalan,” kata Fajar.

Jakarta - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengunjungi kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Jumat, 4 Maret 2016. Kunjungan itu dalam rangka konsultasi proses perekrutan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) NTT yang sudah mulai berjalan awal tahun ini.

Dalam pertemuan itu, rombongan DPRD NTT dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD NTT Maxi Ebu Tho. Ia mengungkapkan, tahun ini masa jabatan anggota KPID NTT telah memasuki tahun terakhir. Maka, DPRD pun telah menyiapkan panitia seleksi anggota KPID NTT masa jabatan 2016-2019.

“Saat ini kami telah membentuk tim pansel yang terdiri dari lima anggota dari berbagai latar belakang. Kami ingin mendiskusikan hal-hal lebih lanjut mengenai peraturan perekrutan yang sudah diatur dalam UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia no 1 tahun 2014 tentang Kelembagaan KPI,” terang Maxi.

Pada pertemuan itu DPRD NTT disambut oleh Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Rahmat Arifin, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Fajar Arifianto Isnugroho, Sekretaris KPI Pusat Maruli Matondang dan Kepala Bagian Perencanaan, Hukum dan Humas KPI Pusat Umri.

Fajar mengatakan, pembentukan tim seleksi mutlak ditangan DPRD. “Pada prinsipnya, panitia seleksi adalah kepanjangan tangan DPRD untuk melakukan teknis seleksi anggota KPID, maka harus mendapatkan supervisi langsung dari anggota DPRD agar proses rekrutmen dapat dikontrol dengan baik,” kata Fajar. 

Berkaitan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota KPID, Maruli menjelaskan, bahwa kesempatan itu terbuka lebar. Hanya saja, perlu ditekankan bahwa apabila PNS yang mencalonkan diri tersebut lolos seleksi maka yang bersangkutan harus bersedia mengundurkan diri sebagai PNS. 

“Hal ini seperti yang diatur dalam UU no 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pasal 88,” terang Maruli. 

Berkaitan dengan tata cara seleksi, Fajar mengingatkan, proses seleksi harus terbuka. “Dalam hal ini terbuka maksudnya bisa diakses oleh publik, pengumuman pendaftarannya disiarkan di media massa, dan saat uji kelayakan dan kepatutan juga boleh diliput media,” ujarnya.

Selain itu, menganai tata cara seleksi, kata Fajar, adalah ranah kewenangan DPRD. Apabila DPRD ingin menambahkan elemen-elemen lain sebagai pelengkap, misalnya wawancara, hal itu boleh saja dilakukan selama dianggap perlu, demi terpilihnya anggota yang berkompeten. 

Prinsipnya, hal-hal yang perlu diujikan antara lain melingkupi visi-misi, pemahaman menganai dunia penyiaran, komitmen waktu kerja, dan pemahaman mengenai dinamika daerah.

Rahmat mengimbuhkan, media adalah alat untuk menggairahkan daerah. Saat ini belum banyak lembaga penyiaran induk jaringan yang membuka stasiun di NTT. Maka yang lebih berperan adalah lembaga penyiaran komunitas. “Kita tahu saat ini KPID NTT sedang fokus pada radio komunitas. Hal itu perlu diapresiasi demi mendorong kemajuan daerah-daerah terpencil di NTT,” kata Rahmat

Disamping hal-hal teknis perekrutan, Rahmat berpesan, “tolong perhatikan proporsi keikutsertaan anggota lama yang mencalonkan diri kembali. Adanya anggota incumbent ini sangat penting untuk menunjang kesinambungan program dan kinerja KPID.”

Jakarta – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengapresiasi langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang melarang segala jenis promosi mengenai lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di lembaga penyiaran.

Komisi I juga mendukung KPI untuk memperketat pengawasan konten terkait LGBT di lembaga penyiaran serta memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran penayangan konten LGBT. Hal itu ditegaskan dalam hasil kesimpulan Rapat Kerja (Raker) Komisi I dengan KPI Pusat dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Anggota Komisi I DPR Evita Nursanty menegaskan dirinya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan KPI terkait LGBT. Dirinya tidak mempermasalahkan surat edaran KPI mengenai larangan mempromosikan LGBT di lembaga penyiaran. “Kita tidak diskriminasi terhadap terhadap orang-orang tersebut, tapi jika itu ada promosi perilaku tersebut terhadap masyarakat itu tidak boleh,” kata Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.

Pernyataan senada juga disampaikan Anggota DPR RI Elnino M. Husein Mohi. Menurutnya, surat edaran KPI sudah tepat. “Saya sangat mendukung langkah KPI tersebut,” katanya.

Anggota DPR RI dari F-PKS Sukamta juga mendukung langkah KPI dan berharap KPI konsisten melakukan hal itu karena ini menyangkut kebaikan generasi Indonesia. Dirinya mengkhawatirkan perilaku tersebut jadi hal yang lumrah dan kemudian ditiru.

“Kita ingin generasi kita adalah generasi yang baik dan tidak menyimpang. Lagi pula, tidak elok mempertontonkan hal-hal yang menyimpang kepada masyarakat,” tambah Anggota Komisi I Rachel Maryam Sayidina dari F-Gerinda.                

Sementara itu, Anggota DPR RI dari Politisi dari PDIP lain, Effendi Simbulon menegaskan jangan sampai soal LGBT ini masuk dalam hukum positif Indonesia. Dirinya juga mempertanyakan sejauh mana efektifitas larangan KPI tersebut bisa berjalan.

Selain dukungan atas pelarangan promosi LGBT, kesimpulan dari Raker Komisi I DPR dengan KPI dan Kominfo juga mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup situs online yang mempromosikan dan mempropagandakan konten LGBT dan membuat regulasi untuk hal tersebut.

DPR juga meminta Kominfo melakukan kontrol konten yang beredar di internet yang terkait pornografi dan hal-hal yang negatif untuk melindungi anak-anak bangsa.

Dalam Raker tersebut hadir Ketua KPI Pusat Judhariksawan, Menteri Kominfo Rudiantara, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Komisioner KPI Pusat Agatha Lily, Amirudin, Azimah Subagijo, Danang Sangga Buana, Fajar Arifianto Isnugroho, dan Sujarwanto Rahmat Arifin. 

Di awal Raker, baik KPI Pusat  maupun Kominfo diminta penjelasan terkait perpanjangan izin penyelenggaran penyiaran lembaga penyiaran. DPR mempertanyakan sejauhmana proses tersebut sudah berjalan. ***

Palembang - Televisi harus mendengarkan aspirasi masyarakat tentang kualitas isi siarannya, guna menjaga keberlangsungan industri penyiaran dalam bersaing -pasar global. Jika program siaran televisi sudah sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat, tentunya televisi tidak akan kehilangan pasarnya dalam bisnis penyiaran. Masyarakat pun akan merasa dekat dengan televisi serta melakukan pembelaan dengan cara menjadi pemirsa yang setia. Hal tersebut terungkap dalam Survey yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang Minat, Kepentingan dan Kenyamanan Publik (MKK) tentang penyiaran, di kantor KPI Daerah Sumatera Selatan (3/3).

Dalam Survey MKK ini, komisioner KPI Pusat Azimah Subagijo mengajak masyarakat aktif menyampaikan pendapatnya tentang muatan program siaran. Perwakilan masyarakat yang hadir dalam survey MKK terbut terdiri atas akedemisi, tokoh agama, budayawan, serta dari pemuda dan perempuan. Komisioner KPI Pusat bidang pengelolaan struktur dan system penyiaran, Amiruddin, memandu jalannya survey MKK yang dilakukan dengan model diskusi terbatas.

Diantara masukan yang didapat adalah keinginan masyarakat agar pengelola televisi tidak menampilkan lagi public figure yang pernah bermasalah dengan hukum. Jangan sampai hal-hal yang tabu di masyarakat justru diputar balik oleh televisi menjadi hal yang lumrah dan biasa-biasa saja. Hal ini tentu saja mencederai nilai-nilai kearifan yang dipahami masyarakat baik di tingkat lokal daerah ataupun secara nasional.

Terkait nilai-nilai lokal juga, masyarakat di Palembang dan Sumatera mayoritas adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Tokoh masyarakat di Palembang, Umar Said, yang hadir pada survey tersebut mengkritik program-program televisi yang kontraproduktif dengan usaha para da’I membina dan memperbaiki masyarakat. “Televisi harusnya jadi mitra bagi masyarakat dalam mengembangkan budaya lokal. Bukan malah mengerus dan menggantikan dengan budaya yang tidak sesuai bagi masyarakat”, eujar Umar. Terkait pemanfaatan televisi untuk sosialisasi politik juga menjadi sorotan dari kalangan perempguan, pemuda dan akademisi. Malah ada usulan yang mengemuka agar dalam regulasi yang tengah disusun melarang secara tegas penggunaan televisi untuk kepentingan politik praktis.

Survey MKK yang dibuka oleh Ketua KPID Sumatera Selatan Iwan Kesumajaya ini bertujuan menghimpun minat, kepentingan dan kenyamanan masyarakat terhadap muatan lembaga penyiaran, sebagaimaa yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002. Sebelum di Palembang, survey MKK ini sudah dilakukan di Makassar. Diagendakan survey selanjutnya dilaksanakan di Surabaya bekerja sama dengan KPID Jawa Timur.

Jakarta – Lahirnya UU Penyiaran empat belas tahun silam melambungkan harapan industri penyiaran Indonesia khususnya TV lokal untuk berkembang. Berlandaskan asas keberagaman kepemilikan dan juga keberagaman isi siaran harapan terwujudnya penyiaran di tanah air yang demokratis semakin konkrit.

Sayangnya, harapan publik menikmati kondisi yang selaras dengan tujuan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 jauh panggang dari api. Salah satunya soal keberadaan TV-TV  lokal di daerah yang satu per satu tumbang atau juga tergadaikan. Persoalan finansial menjadi faktor utama selain kesulitan mereka bersaing dengan televisi yang mampu bersiaran secara nasional.

Dalam acara FGD (focus grup diskusi) yang diselenggarakan KPI Pusat, Selasa, 1 Maret 2016, dibahas bagaimana kondisi dan problematika TV lokal selama ini. Komisioner KPI Pusat sekaligus Koordinator bidang Kelembagaan Bekti Nugroho di awal diskusi mengatakan persoalan TV lokal menjadi perhatian KPI dan pihaknya berupaya mencari solusi.

KPI, lanjut Bekti, ingin mengubah cara pandang publik terhadap TV lokal yang dinilai kurang merasa memiliki TV lokal yang ada di daerahnya. “Seharusnya, publik daerah punya rasa bangga dan memiliki TV lokalnya. Mengapa ini bisa terjadi. Kita harus tahu kenapa,” harap Komisioner yang juga Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat.

Sebenarnya persoalan apa yang melilit TV lokal hingga sulit berkembang di daerah. Satu per satu perwakilan dari beberapa TV lokal diberi kesempatan menyampaikan pengalamannya. Perwakilan dari TV KU Semarang, Heri, bercerita bagaimana mereka merasa gelisah ketika kebijakan migrasi dari analog ke digital harus dilaksanakan. Meskipun secara prinsip mereka siap melaksanakan tapi persoalan MUK (lembaga penyelenggara multiplexing) dirasa agak memberatkan khususnya mengenai sewa kanal. “Kami mendengar tarif sewanya mencapai 80 juta perbulan. Ini menyulitkan kami yang berstatus TV lokal. Soal ini, kami butuh kejelasan,” tandasnya.

Winata dari Cakra TV juga bercerita ketika TV lokal muncul dan pada saat itu semua orang ingin membuatnya dan yang terjadi dikemudian hari mereka beramai-ramai menjualnya. Menurutnya, bisnis TV  adalah bisnis oriented. Bisnis ini sama artinya dengan bisnis mempengaruhi. Saat sebuah TV lokal sudah masuk ke dalam jaringan induk, itu menandakan TV tersebut sudah kolaps. “Meskipun hanya bersiaran 11 jam dan berdarah-darah, kami tetap idealis. Kami tidak mau TV ini dijual,” tegasnya.

Sulitnya mendapatkan pengiklan juga diceritakan Winata. Keadaan ini disebabkan paradigma pengiklan yang menghitung cakupan penonton dari televisi tersebut. “Cakupan TV lokal itu terbatas, sedangkan TV yang bersiaran nasional cukup luas. Mereka menghitung 1 rupian di TV kami hanya bisa menjangkau 10 orang,” katanya.
Hal itu juga terkait aturan yang memberikan batas maksimal pancar atau siaran bagi TV lokal hanya 5000 watt. Angka tersebut hany cukup menjangkau wilayah radius kurang dari 10 km. Sedangkan TV yang bersiaran nasional bisa lebih dari 10.000 watt.

Menurut Winata, keberadaan TV lokal harus diperjuangkan dan dibela. “Televisi itu kan bisnis yang padat modal, padat karya dan kami kesulitan SDM. Semakin banyak karyawan, semakin banyak pengeluaran. Makanya TV Lokal perlu dibela, tapi kami realistis KPI juga agak sulit membela kami dengan regulasi yang sangat terbatas. Perlu ada keberpihakan kepada kami agar TV lokal bisa tumbuh dan melestarikan program-program budaya daerah,” pintanya.

Sementara itu, Mursalin dari PON TV mengharapkan agar perubahan UU Penyiaran bisa memberikan kepastian terhadap nasib TV lokal. Jika UU tersebut condong terhadap keberlangsungan TV lokal, maka hal ini akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan TV lokal.

“Kami juga perlu dipertemukan dengan investor agar kami tumbuh. Karena sangat sedikit inverstor yang mau invest pada TV lokal. Perlu survey di daerah tentang efektivitas TV lokal,” tambahnya.
Cerita yang disampaikan Heri, Mursalin, dan Winata sudah cukup menggambarkan sulitnya kehidupan TV-TV di daerah. Belum lagi jika kita dengarkan cerita dari belasan perwakilan TV lokal yang hadir dalam FGD di kantor KPI Pusat tersebut.

Mendengar curahan hati dari TV lokal, Komisioner KPI Pusat Fajar Arifianto Isnugroho turut prihatin. Dirinya beranggapan hal itu disebabkan oleh ketidakadilan aturan terhadap mereka. Awalnya, kata Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini, hadirnya sistem siaran jaringan akan banyak membantu eksistensi TV lokal dengan pembagian keuntungan yang adil. Sayangnya, hal itu justru tidak berjalan. 
“Kami berharap sistem stasiun jaringan dengan konsep sebenarnya bisa berjalan. TV nasional bisa menggandeng TV lokal, sehingga bisa hidup. Maka dari itu, kami menghimbau agar teman-teman TV lokal memberikan catatan kepada menkominfo,” pintanya.
Terkait hal itu, Fajar mengusulkan agar diskusi ini mengeluarkan semacam rekomendasi kepada Menkominfo. Rekomendasi ini penting karena menyangkut keberadaan TV lokal sudah berjuang mati-matian untuk menghidupi penyiaran di daerah. “Saat saya di KPI Daerah Jatim , saya biarkan TV lokal tumbuh dahulu baru diatur. Ini kan tidak. Belum tumbuh tapi sudah dibatasi,” katanya.

Mantan Ketua KPID Jatim periode 2010-2013 ini juga mengharapkan agar paket kebijakan Presiden Jokowi menyentuh dunia penyiaran karena investasinya luar biasa. Paket tersebut bisa menyentuh ISR gratis dan IPP gratis. Harapannya, demi kebaikan dan perkembangan TV lokal di Indonesia. Kehadiran mereka sangat terasa dalam menjaga keutuhan keberagaman budaya yang ada di tanah air.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.