- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 1590
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendukung langkah penyusunan strategi upaya sinergis dan komprehensif dalam usaha pencegahan dan penanganan pornografi oleh Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (GTP3) yang dipimpin oleh Kementerian Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian Agama, beserta jajaran kementerian dan lembaga terkait. Salah satu langkah yang harus ditempuh menurut KPI adalah literasi digital dan sosialisasi konten penyiaran ramah anak dan perempuan, guna mencegah muatan pornografi menyisip di ruang siar. Hal tersebut disampaikan Evri Rizqi Monarshi, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan, usai menghadiri Focuss Group Discussion (FGD) Pelaporan dan Evaluasi GTP3 serta Perencanaan Program Kegiatan Tahun 2024, yang diselenggarakan oleh Kementerian PMK, (8/3).
KPI sendiri, menurut Evri, sudah punya rambu-rambu yang tegas tentang pembatasan dan pelarangan konten pornografi di televisi dan radio, melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Ke depannya, Evri berharap, kerja sama dengan kementerian dan lembaga dapat dikuatkan dan direalisasikan, untuk menyasar kelompok masyarakat yang rentan terpapar pornografi. “Kita tidak ingin paparan konten pornografi semakin meluas dan merusak kualitas generasi muda bangsa ini, “ ujarnya.
Dalam FGD tersebut, hadir juga perwakilan dari majelis keagamaan yang ikut bersuara untuk meningkatkan upaya pencegahan pornografi. Maria Advianti, dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkap, saat ini ada kesenjangan literasi penggunaan gawai telepon seluler di kalangan santri. “Kita tahu, dalam kehidupan pesantren terdapat larangan penggunaan telepon seluler,” ujarnya. Namun, saat santri pulang ke rumah, kuantitas penggunaan gawai ini meningkat tanpa diiringi pemahaman bagaimana memanfaatkan sesuai kebutuhan. “Jadi seakan ada gegar budaya di kalangan santri, ketika dapat mengakses telepon pintar,” tambah perempuan yang disapa Vivi ini.
Sementara itu dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang diwakili oleh Pendeta Sonya mengatakan, pihaknya sudah punya kesepahaman dengan siber kreasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang ikut ambil bagian menyisipkan materi literasi digital pada setiap kegiatan PGI. Sonya juga bertanya soal sistem yang dibangun oleh GTP3, ketika jemaat gereja menemukan praktek pornografi di lingkungan. “Bagaiman mekanisme pelaporan dari masyarakat, saat menemukan aktivitas tidak pantas di lingkungan, seperti seks bebas atau kekerasan seksual,” ujarnya. Secara khusus Sonya juga bertanya pada Kemenkominfo terkait Virtual Private Network (VPN) yang dengan mudah didapat melalui playstore, sehingga memungkinkan untuk mengakses konten pornografi yang sebenarnya sudah diblock oleh pemerintah.
Pada kesempatan itu, perwakilan dari Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo juga hadir menyampaikan pemaparan terkait tindakan pencegahan penyebaran pornografi di ranah digital. Beberapa hal yang terungkap adalah penolakan dari platform digital untuk menurunkan konten pornografi yang berasal dari luar negeri, dengan alasan konten seperti itu dianggap legal di negara asalnya. Sedangkan untuk konten pornografi yang berasal dari dalam negeri, platform digital masih mau memenuhi permintaan Kemenkominfo untuk “take down”.
Pornografi sendiri, menurut Azimah Subagijo sebagai narasumber FGD, merupakan dampak ikutan dari reformasi di tahun 1998. Undang-Undang Pornografi hadir sebagai usulan inisiatif DPR di tahun 2006 dan baru disahkan pada tahun 2008. Di forum tersebut, Azimah memaparkan alasan kenapa Pornografi itu berbahaya. “Salah satunya karena pornografi dibawa oleh media, sehingga penyebarannya menjadi sangat luas, bahkan masuk ke dalam ruang-ruang privat dan keluarga,” ujarnya. Namun demikian, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasionnal (RPJMN) salah satu tujuannya adalah terbentuknya keluarga berkualitas. “Musuh utama dari keluarga berkualitas adalah pornografi,” terangnya.
Narasumber lain pada FGD adalah TB Chaerul Dwi Sapta sebagai Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah III, Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Chaerul menegaskan, Kemendagri akan mengawal rencana program dan anggaran di daerah, termasuk untuk isu pornografi. Komitmen ini sudah tertuang dalam Peraturan Mendagri nomor 15 tahun 2023 tentang Pedoman Penyusunan APBD tahun 2024 yang menyebutkan, Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran dalam bentuk program, kegiatan dan subkegiatan terkait dengan pembangunan ketahanan keluarga dan gugus tugas pencegahan serta penanganan pornografi. Hal ini sejalan dengan Surat Edaran Mendagri tahun 2019 tentang pembentukan GTP3 di tingkat kabupaten/ kota yang bertanggungjawab kepada bupati/ walikota.
Menutup FGD di hari itu, Mustikorini Indrijatiningrum selaku Asisten Deputi Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga mengungkap, tugas besar GTP3 yang terdekat adalah merealisasikan regulasi teknis yang menjadi turunan peraturan pemerintah. Diantaranya terkait aturan usia dalam pornografi, kebijakan dalam menyikapi konten yang dekat dengan pornografi, seperti konten dewasa namun belum secara eksplisit terkategori sebagai konten pornografi. Dia berharap, seluruh kementerian dan lembaga yang tergabung dalm GTP3 ini dapat senantiasa bersinergi dan berkolaborasi guna mengoptimalkan upaa pencegahan dan penanganan pornografi.