Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) melayangkan surat teguran untuk Program Siaran “Baper” yang tayang di RCTI. Program yang ditayangkan pada 19 Maret 2017 lalu kedapatan melanggar aturan P3 dan SPS. Demikian dijelaskan dalam surat teguran KPI Pusat yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Selasa (11/4/17).

Berdasarkan pantauan KPI Pusat, program tersebut memuat kata-kata candaan yang melecehkan orang dengan kondisi fisik tertentu (bertubuh pendek dan bergigi tonggos), yakni “..emang dia nying-nying?”, “..kalah lu sama obeng tamiya”, “kunci kornet”, “batre jam”, “roda koper”, “gasing”, “kancing jepret”, “cupang aduan” dan “boleh dicabut mpok, bibirnya?”.

Menurut Ketua KPI Pusat, muatan kata-kata demikian tidak pantas untuk ditayangkan karena dapat ditiru oleh khalayak anak-anak dan remaja. “Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan anak-anak dan remaja, perlindungan kepada orang dan masyarakat tertentu serta penggolongan program siaran,” katanya.

Hasil analisa KPI Pusat tayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 21 Ayat (1) serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 15 Ayat (1), Pasal 17 Ayat (1) dan Ayat (2) huruf d serta Pasal 37 Ayat (4) huruf a.

Dalam surat teguran tersebut, KPI Pusat meminta RCTI agar menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran. ***

Jakarta - Dalam rangka menjaga kondusivitas masa tenang Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta putaran kedua, dan berdasar keputusan bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tentang Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran dan Iklan Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/ atau Walikota dan Wakil Walikota melalui Lembaga Penyiaran , KPI mengingatkan Lembaga Penyiaran baik televisi dan radio untuk  mematuhi hal-hal yang diatur dalam Pedoman Gugus Tugas Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran dan Iklan Kampanye Pilkada.

Komisioner KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran, Nuning Rodiyah menjelaskan bahwa termaktub dalam pedoman tersebut, Poin B butir 15 dinyatakan bahwa pada masa tentang, lembaga penyiaran dilarang:
a.    Menyiarkan pemberitaan, rekam jejak, program-program, informasi, dan/ atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon.
b.    Menyiarkan Iklan kampanye pemilihan
c.    Menyiarkan hasil survey atau jejak pendapat tentang pasangan calon.

Untuk itu, KPI meminta seluruh lembaga penyiaran baik televisi dan radio untuk tidak menayangkan hal-hal tersebut diatas pada masa tenang Pilkada DKI Jakarta putaran kedua terhitung mulai 16-18 April 2017. Sedangkan pada hari pencoblosan, 19 April 2017, hasil Quick Count (Hitung Cepat) baru dapat disiarkan pada pukul 13.00 WIB.

KPI berharap, kepatuhan lembaga penyiaran terhadap Pedoman Gugus Tugas Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran dan Iklan Kampanye Pilkada menjadi kontribusi bagi terciptanya demokratisasi melalui Pilkada yang adil di tengah masyarakat.

Jakarta - Diskusi terbatas penyusunan indikator dalam survey indeks kualitas program siaran televisi dilaksanakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan melibatkan berbagai pakar dan ahli pada 9 (sembilan) kategori program siaran. Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menjelaskan bahwa diskusi terbatas ini merupakan upaya KPI menyempurnakan format Survei yang telah berlangsung memasuki tahun ketiga. Dengan mengikutsertakan pakar di berbagai bidang serta praktisi dunia penyiaran, KPI berharap format survey yang disusun dapat memotret lebih utuh tentang persepsi masyarakat akan kualitas program siaran televisi saat ini.

Sembilan kategori program siaran yang akan disurvey adalah: Sinetron/Film, Berita, Talkshow, Infotainment, Religi, Wisata-Budaya, Anak, Komedi, dan Variety Show. Adapun pakar yang turut hadir memberikan masukan untuk penyusunan indikator tersebut diantaranya adalah, Gun Gun Heryanto (The Political Literacy Institute), Yadi Hendriana (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), Reza Indragiri Amriel (Lembaga Perlindungan Anak), Kemal Hasan (Universitas Multimedia Nusantara), Thung Ju Lan (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Mulharneti Syas (Dekan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), Bayu Wardhana (Aliansi Jurnalistik Independen), Alinda Rimaya (Remotivi), Amirsyah Tambunan (Majelis Ulama Indonesia), Kurniati (Yayasan Kita dan Buah Hati), Supina (Akademisi Pariwisata), Bobby Guntarto (Yayasan Pengembangan Media Anak), Luthfi Chumaidi (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) , Wahidin Saputra (Universitas Islam Negeri Jakarta), dan Paulus Widianto (Mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran). Untuk melengkapi diskusi, hadir pula perwakilan dari lembaga penyiaran diantaranya Kompas TV, NET, ANTV, Trans TV dan Trans 7. Sedangkan Komisioner KPI Pusat yang ikut dalam diskusi terbatas adalah Mayong Suryo Laksono, Agung Suprio, Ubaidillah, Hardly Stefano, Nuning Rodiyah, Rahmat Arifin, dan Dewi Setyarini.

Untuk penentuan indikator survey pada program anak, menurut Bobby Guntarto sebaiknya perlu dipikirkan tentang usulan penghilangan adegan kekerasan. “Jangan sampai tayangan anak hanya menunjukkan hal-hal yang normatif, padahal dalam kehidupan sebenarnya banyak penyimpangan dan kekerasan yang hadir,” ujarnya. Dia berpendapat, dalam tayangan anak harus memuat edukasi agar anak belajar untuk tidak melakukan hal-hal yang negatif. Senada dengan pendapat Bobby, Supinah juga menilai ketika pada program anak hanya menampilkan hal yang baik-baik saja, anak-anak tidak belajar menghadapi hal-hal yang menyimpang yang hadir di sekelilingnya. “Termasuk bagaimana menghadapi orang-orang yang jahat, ataupun orang-orang yang memiliki perbedaan, kekurangan serta keterbatasan,” ujarnya.  Selain itu, Supinah sepakat bahwa perlu ada pelabelan usia yang semakin spesifik untuk program siaran anak.

Sedangkan Reza Indragiri Amriel berpendapat untuk program siaran anak, harus mampu menyelami dunia dan cara berpikir anak. “Menakar tayangan anak-anak jangan menggunakan orang dewasa, karena anak-anak juga berhak menyampaikan pendapat dan aspirasinya,” ujar Reza. Selain itu dirinya juga mengingatkan tentang pembatasan LGBT di televisi. Jangan dianggap hal ini sebagai tidak adanya penghormatan,ucapnya. Bagaimanapun juga, usia anak-anak membutuhkan kejelasan opsi jenis kelamin, mana laki-laki mana perempuan, tegas Reza. Terkait program religi, Amirsyah Tambunan dan Wahidin Saputra memberikan masukan diantaranya tentang pentingnya aspek kesadaran penegakan hukum serta menghindari munculnya masalah khilafiyah dalam beragama, baik dalam program siaran agama ataupun program lain yang menggunakan atribut keagamaan.

Sementara itu Ketua IJTI Yadi Hendriana mengkhawatirkan eksistensi program berita di televisi yang pelan-pelan mulai tergeser dengan program lain. “Meskipun program berita hanya digeser ke waktu yang semakin pagi, itu bisa dikatakan mulai mulai hilang,” ujarnya. Yadi juga menyampaikan pendapatnya untuk indikator penilaian dalam survei indeks kualitas program siaran. Pada prinsipnya, Yadi menilai program berita harus menjunjung tinggi prinsip jurnalistik. “Dan jurnalisme harus melakukan verifikasi, bukan talking news,” tegasnya.

Terkait survei secara keseluruhan, Remotivi menyampaikan harapan agar KPI juga membuat riset dan penelitian tentang penyebab rendahnya kualitas siaran televisi, dan langkah regulatif apa yang dapat diambil KPI sebagai regulator penyiaran untuk memperbaiki hal tersebut.  Pendapat Alinda Rimaya dari Remotivi tersebut disetujui oleh Komisioner KPI Pusat Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, Agung Suprio. Menurutnya, KPI akan mengambil langkah lebih lanjut untuk menemukan jalan keluar atas permasalahan kualitas program siaran di Indonesia.

Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidilah berharap survei yang indikatornya dirumuskan bersama-sama ini akan menjadi referensi bagi pengiklan dalam memasarkan produknya di televisi. “Harapan kita, ini menjadi awal untuk mendorong kualitas penyiaran yang lebih baik dan frekuensi digunakan seoptimal mungkin untuk kemaslahatan masyarakat,” pungkasnya.

Semarang – Pengelola radio dan televisi dihimbau untuk memutar lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu wajib nasional sesuai Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) terutama pasal 38 ayat (1) dan (2). “Berdasarkan pemantauan KPID Jawa Tengah bulan Maret hingga April 2017, masih ada radio dan televisi yang belum memutar lagu kebangsaan dan lagu wajib nasional” kata Ketua KPID, Budi Setyo Purnomo di kantornya Jl Trilomba Juang Nomor 18 Semarang.

Dari enam belas televisi yang dipantau, masih ada 50% televisi yang belum menyiarkan secara rutin lagu kebangsaan. “Televisi kadang menyiarkan lagu kebangsaan dan kadang tidak putar lagu kebangsaan” singgung Budi. Untuk pantauan 23 radio, hanya 4,3 % yang belum siarkan lagu kebangsaan dan 30% belum siarkan lagu wajib nasional. Diharapkan ke depan, lagu itu secara rutin diputar karena sangat penting dalam pelaksanaan penguatan Pancasila dan UUD 1945.

Aturan penyiaran jelas, secara eksplisit mewajibkan lembaga penyiaran memutar lagu Indonesia Raya saat memulai siaran dan menutupnya dengan lagu wajib nasional. “Jika lembaga penyiaran memiliki waktu siaran 24 jam, lagu Indonesia Raya diputar pukul 06.00 dan lagu wajib nasional jam 00.00” tegas Budi. Usaha mematuhi aturan penyiaran ini dinilai sangat penting dalam rangka memperkuat nasionalisme.

“Melihat hasil pemantauan itu, lembaga penyiaran perlu kembali pada tujuan utamanya, yaitu sebagai alat memperkukuh integrasi nasional seperti amanat UU Penyiaran pasal 3” tegas Budi. Dengan kewajiban memutar lagu kebangsaan ini, seluruh masyarakat akan selalu mengenang dan menghayati hakikat cinta tanah air.

Senada dengan itu, Hj Tazkiyatul Muthmainnah, anggota KPID bidang pengawasan isi siaran menegaskan perlunya pemutaran lagu kebangsaan. “Era global seperti ini memang sangat butuh pengingat pada masyarakat tentang lagu kebangsaan lewat televisi dan radio” tegasnya. Semakin diulang-ulang lagu itu diperdengarkan, maka rasa nasionalisme akan mudah terwujud. Televisi dan radio sangat memiliki peran besar dalam mengingatkan dan menguatkan nasionalisme.

KPID melayangkan surat kepada pengelola televisi dan radio agar konsisten dan rutin memutar lagu kebangsaan dan lagu wajib nasional. “Generasi penerus bangsa ini perlu diingatkan lagu kebangsaan ini agar selalu dikenang hingga akhir hayat” tambah Tazkiyatul Muthmainnah. KPID ingin mengajak semua lembaga penyiaran bersama-sama mengokohkan jatidiri bangsa dengan pemutan lagu ini dan pengisian konten siaran yang berisi cinta bangsa. ***   

Jakarta -  Pelaksanaan digitalisasi penyiaran di Indonesia sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan. Hal tersebut dilandasi pada perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat saat ini, menuntut adanya alih teknologi pada dunia penyiaran dari analog menjadi digital. Namun demikian, pelaksanaan digitalisasi tidak serta merta berjalan lancar tanpa hambatan, mengingat payung regulasi atas digitalisasi penyiaran belumlah kuat.

Gugatan hukum Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) atas peraturan menteri komunikasi dan informatika yang menjadi landasan hukum pelaksanaan digitalisasi telah dikabulkan Mahkamah Agung. Dengan sendirinya segala proses penyiaran digital untuk sementara terhenti, hingga ada regulasi hukum yang lebih kuat yang mengaturnya. Harapan atas aturan yang lebih rinci tentang digitalisasi penyiaran akhirnya ditambatkan pada revisi undang-undang tentang penyiaran yang tengah dirumuskan oleh Komisi I DPR-RI saat ini.

Ketua ATVLI Bambang Santoso menjelaskan, proses digitalisasi penyiaran yang berlangsung saat ini tidak memberikan perlindungan hukum pada lembaga penyiaran, baik yang berjaringan ataupun lokal. “ATVLI ataupun ATVSI dirugikan secara hukum dan investasi”, ujarnya. Hal tersebut disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tajuk “Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia”, yang dilaksanakan di Hall Dewan Pers (11/4).

Pada kesempatan tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat diwakilkan oleh Koordinator bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran Agung Suprio, yang menjelaskan tentang posisi digitalisasi penyiaran dalam rancangan undang-undang penyiaran yang tengah dibahas di DPR RI. Agung memaparkan beberapa catatan atas RUU tersebut khususnya terkait digitalisasi, diantaranya usulan penggunaan single multiplekser (mux) dari TVRI dalam pelaksanaan penyiaran digital dan keberadaan Lembaga Penyiaran Khusus (LPKh) dengan peruntukan pemerintah dan BUMN, partai politik dan pemerintah daerah.

Sementara itu Gilang Iskandar dari ATVSI menyatakan bahwa gugatan ATVLI atas peraturan yang memayungi pelaksanaan penyiaran digital bisa dikategorikan sebagai “wake up call” bagi pelaku bisnis penyiaran. “Ternyata memang ada masalah dalam aturan tentang digitalisasi”, ujarnya. Gilang kemudian memaparkan pendapatnya tentang digitalisasi ini.  Pada prinsipnya, ATVSI menilai migrasi digital bukanlah untuk menambah pemain dalam industri penyiaran, tapi untuk meningkatkan pelayanan penyiaran. Migrasi digital harus menghitung secara cermat daya dukung ekosistem penyiaran yang kemudian dibandingkan dengan kemampuan dari masyarakat. ATVSI juga berpendapat bahwa lembaga penyiaran yang sudah ada, eksisting, harus diberikan prioritas sebagai apresiasi atas kinerja pelayanannya kepada masyarakat selama ini dan juga sebagai proteksi atas keberlangsungan bisnis ke depan. Gilang juga menyampaikan bahwa digitalisasi harus memperhitungkan kebutuhan industri penyiaran untuk mengadopsi teknologi informasi yang berkembang di masa depan. Selain itu, ATVSI mengharapkan pelaksanaan digitalisasi penyiaran ini mengikutsertakan seluruh stakeholder penyiaran, baik itu kalangan industi, regulator seperti KPI-Kemenkominfo-Komisi I DPR, serta masyarakat sipil.

Diskusi yang juga dihadiri perwakilan televisi-televisi lokal dari berbagai daerah ini juga mempertanyakan tentang kehadiran entitas lembaga penyiaran baru di rancangan undang-undang penyiaran. Kehadiran lembaga penyiaran khusus dinilai berpotensi merebut pasar dari televisi lokal yang sudah ada saat ini. Gilang sendiri berpendapat bahwa usulan model bisnis dengan single mux sebenarnya melanggar prinsip demokratisasi penyiaran. “Hanya menambah pemain tapi tidak meningkatkan pelayanan. Karena dengan adanya monopoli akan menghilangkan kompetisi”, ujarnya. Yang tidak kalah penting menurut Gilang, yang harus dipikirkan dalam digitalisasi penyiaran adalah sosialisasi dan advokasi yang tidak hanya kepada lembaga penyiaran, tapi juga pada publik sebagai end user dari produk penyiaran ini.

Santoso menilai, sudah waktunya para pelaku industi penyiaran untuk duduk bersama menyatukan agenda memberikan masukan atas regulasi penyiaran digital yang akan diatur dalam Undang-Undang Penyiaran ke depan.  Bahkan stake holder penyiaran lainnya, seperti LSM, akademisi dan juga masyarakat sipil harus ikut duduk bersama memberikan masukan agar undang-undang yang nanti lahir dapat mencerminkan kepentingan bersama.

Pada penghujung acara, Jimmy Silalahi dari Dewan Pers bahkan meminta seluruh pihak harus menyiapkan diri untuk proses Judicial Review seandainya undang-undang yang disusun banyak merugikan kepentingan publik. Jimmy menegaskan bahwa perjuangan menuju demokratisasi penyiaran masih sangatlah panjang. Karenanya butuh energi yang cukup untuk mengawal regulasi-regulasi yang hadir, agar sesuai dengan spirit demokratisasi.


Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.