Jakarta – Usai melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 27 calon Anggota KPI Pusat periode 2013-2016 selama dua hari berturut-turut. Komisi I DPR RI langsung memilih dan memutuskan 9 (Sembilan) Anggota KPI Pusat baru, Rabu malam, 3 Juli 2013. Proses pemilihan kesembilan Anggota KPI Pusat tersebut dilakukan secara voting diikuti semua Anggota Komisi I DPR RI yang berjumlah 53 orang anggota serta dipimpin langsung Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq.
Berikut sembilan komisioner terpilih untuk masa bakti 2013-2016: 1. Bekti Nugroho, 47 suara 2. Judhariksawan, 46 suara 3. Agatha Lily, 44 suara 4. Azimah Subagijo, 39 suara 5. Idy Muzayyad, 31 suara 6. Amirudin, 29 suara 7. Sujarwanto Rahmat, 29 suara 8. Danang Sangga Buana, 27 suara 9. Fajar Arifianto Isnugroho, 27 suara
Sedangkan yang menjadi cadangan adalah: 1. Iswandi Syahputra , 26 suara 2. Ezki Tri Rezeki Widianti, 25 suara 3. Nina Mutmainnah Armando, 21 suara
Tiga anggota lama yang terpilih kembali adalah Idy Muzayyad, Judhariksawan, dan Azimah Subagijo. Dalam kesempatan itu, Mahfudz berharap, komisioner yang baru ini independen dan bisa bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran. Red
Jakarta - 10 calon Anggota KPI Pusat untuk masa jabatan 2013-2016 telah menjalani fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi I DPR RI, Selasa, 2 Juli 2013. Sesi ini dibagi menjadi 2 (dua). Sesi pertama pukul 14.00 WIB hingga pukul 16.30 WIB. Sesi kedua pukul 16.30 WIB hingga pukul 19.00 WIB.
Ke 10 calon Anggota KPI Pusat yang ikut dalam proses uji kelayakan dan kepatutan antara lain, Agatha Lily, Amirudin, Anom Surya Putra, Azimah Soebagijo, dan Bekti Nugroho (Sesi I). Kemudian di sesi II calon yang ikut yakni Dadang Rahmat Hidayat, Danang Sangga Buana, Effy Zalfiana Rusfian, Ezki Tri Rezeki Widianti dan Fajar Arifianto Isnugroho.
Masing-masing calon diminta oleh pimpinan Komisi I DPR RI menyampaikan presentasi visi dan misinya kurang dari 10 menit. Usai penyampaian materi presentasi, setiap perwakilan fraksi maupun individu anggota Komisi I memberikan pertanyaan kepada masing-masing calon untuk dijawab dengan tenggang waktu tertentu. Beberapa pertanyaan yang mencuat antara lain mengenai langkah dan komitmen setiap calon jika terpilih menjadi komisioner, pelaksanaan digitalisasi, dan isi siaran.
Salah satu Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Mac Sopacua, menyempatkan diri menanyakan bagaimana sikap dan komitmen dari masing-masing calon terkait konglomerasi media.
Besok hari, Rabu, 3 Juli 2013, Komisi I DPR RI kembali akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan pada 17 calon Anggota KPI Pusat. Uji akan dibagi dalam tiga sesi yang dimulai pukul 10.00 WIB pagi.
Sebelumnya, Senin, 1 Juli 2013, calon Anggota KPI Pusat menandatangani pakta integritas, yang diajukan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Dalam pakta tersebut diharapkan dalam dunia penyiaran bisa lebih baik lagi ke depannya.
IJTI menganggap bahwa KPI merupakan mitra dalam dunia penyiaran yang syarat tidak ada kepentingan. hal ini juga pakta integritas tersebut merupakan bentukan kawalan bagi komisioner KPI, periode 2013 hingga 2016, dalam menjalankan tugasnya dan tanggung jawab.
“Dalam Fakta Integritas ini bisa membantu juga bapak-bapak calon komisioner yang akan fit and proper test di Komisi I DPR, artinya bapak-bapak ini memiliki komitmen yang teruji," kata Ketua Umum IJTI Yadi, di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin lalu.
Kemudian, lanjut Yadi, ke depannya KPI adalah mitra strategis, karena untuk dunia penyiaran yang sehat, mau tidak mau melakukan koalisi yang positif khususnya di dunia penyiaran.
Menurutnya, dengan adanya pakta tersebut bisa memperkecil persoalan yang menimpa penyiaran Indonesia, diharapkan, komisioner terpilih dapat merubah penyiaran lebih baik. "Banyak sekali problem (masalah) yang dihadapi dunia penyiaran, kami terpanggil untuk mengawal kawan-kawan," tuturnya
Berikut ini 10 fakta integritas:
1. Bersama ini menyatakan janji sesuai dengan tugas saya, jika terpilih menjadi komisioner KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) akan melakukan hal-hal sebagai berikut:
2. Tidak akan melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3. Tidak akan meminta atau menerima suatu pemberian baik secara langsung atau tidak langsung berupa suap, hadiah, bantuan atau bentuk lainnya yang dia tahu atau patut dapat mengira, bahwa pemberi, atau yang akan memberi mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin berkaitan dengan jabatan saya atau pekerjaan saya.
4. Tidak akan memberia atau menjanjikan akan memberi secara langsung atau tidak langsung atau tidak langsung berupa suap, hadiah, bantuan, atau bentuk lainnya yang dia tahu atau patut dapat mengira, bahwa yang meminta, atau yang akan diberi mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin berkaitan dengan jabatan saya atau pekerjaan saya.
5. Saya memegang teguh komitmen, bahwa transparansi akan diterapkan diseluruh kegiatan yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilaksanakan di bawah wewenang saya.
6. Saya akan menjaga integritas, netralitas dan independensi saya sesuai dengan jabatan saya.
7. Saya bersedia memberikan keterangan, baik lisan maupun tertulis kepada pengurus Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, apabila ada pengaduan yang menyangkut diri saya ataupun lembaga di bawah tanggung jawab saya.
8. Saya bersedia dengan kemampuan saya untuk memberikan bantuan/dukungan kepada pengungkapkan/sanksi yang menyangkut dengan pengungkapan adanya praktek suap, KKN ataupun yang sejenis di bawah wewenang saya.
9. Jika terpilih jadi anggota KPI, saya dengan sungguh-sungguh akan melaksanakan tugas saya sebagai anggota komisi penyiaran indonesia (KPI), berdasarkan undang-undang yang berlaku.
10. Saya dengan kemampuan dan kewenangan yang saya miliki akan melaksanakan sanksi dan insentif/disinsentif bagi pengungkap suap/KKN atau pelanggar pakta integritas di bawah wewenang saya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Red
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) didorong supaya mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk membentuk lembaga rating alternatif dengan pendanaan berasal dari APBN. Selain memberi opini berbeda terhadap data rating di tanah air, adanya lembaga lain akan menimbulkan persaingan sehat bagi semua pihak termasuk industri penyiaran.
Pendapat dan keinginan tersebut mengemuka dalam diskusi publik yang diselenggarakan KPI Pusat dengan tema “Quo Vadis Rating dalam Dunia Pertelevisian Indonesia” di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kamis, 27 Juni 2013.
Saat ini, satu-satunya lembaga rating yang ada di Indonesia hanyalah Nielsen. Dalam industri pertelevisian di tanah air, rating dari Nielsen terkait acara televisi menjadi patokan sebuah program acara apakah sukses atau tidak tanpa menilai kualitas isinya. Karena tidak adanya lembaga rating lain, rating Nielsen menjadi satu-satunya dewa bagi televisi.
Amir Effendi Siregar, pengamat media penyiaran, salah satu narasumber diskusi, mengatakan rating menyebabkan keberagaman isi siaran menjadi hilang. Lihat kondisi yang tergambar dilayar kaca, hampir semua isi televisi seragam dengan porsi hiburan yang dominan. “Kita ini perlunya keanekaragaman,” kata Amir yang diawal presentasinya menjelaskan bagaimana survey yang dilakukan Nielsen sangat bias Jakarta dan bias urban sangat tidak merefresentasikan semua masyarakat Indonesia.
Kondisi yang terjadi ini, menurut Amir, harus diperbaiki mulai dari sistem penyiarannya. Sistem penyiaran yang dianut negara ini berikut sistem ratingnya dinilai absurd. Perubahan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 yang sedang diproses harus memberi kepastian sistem tersebut. “Lembaga rating harus ditambah,” tegasnya di depan puluhan peserta yang sebagian besar datang dari industri penyiaran.
Hal senada dengan Amir turut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nina Mutmainnah. Menurutnya, sistem rating yang ada sekarang sangat tidak peduli dengan keberadaan pasar lokal. Sistem yang ada sekarang lebih pro pasar nasional.
Seharusnya, lembaga rating membuat sistem yang lebih mewakili Indonesia dan lebih merata samplenya. Rating yang jadi acuan utama sekarang sama sekali tidak berhubungan dengan kualitas program. “Kami melihat bahwa sistem rating sekarang sangat tidak peduli local. Seandainya sistem siaran jaringan berjalan, kita akan leboh berharap lembaga rating alternatif akan tumbuh. Sehingga banyak terbuka lembaga rating di daerah,” kata Nina yang juga menjadi narasumber di acara tersebut.
Sayangnya, kata Nina, rating bukan menjadi kewenangan KPI di UU Penyiaran. Bahkan di draft revisi UU Penyiaran itu tidak ada demikian juga dengan hasil draft dari Baleg. Sekarang, yang penting dibicarakan apakah rating ini valid dan reliable. “Publik perlu diyakinkan karena pemainnya tunggal. Jadi yang diperlukan adalah transparansi,” jelasnya.
Meskipun demikian, lanjut pengajar di Universitas Indonesia (UI) ini, KPI dapat mendorong dibentuknya audit rating yang pelaksanaannya dibiayai oleh industri penyiaran, pemasang iklan, agensi periklanan, dan lembag riset. Hal ini sudah dilakukan di Amerika. “Ada media rating council. Ini bisa tumbuh jadi asosiasi, seperti yang sudah ada pada lembaga polling. Kalau ini jalan maka kita akan dapatkan sistem penyiaran yang leibh baik,” paparnya penuh harap.
Sebelumnya, perwakilan Nielsen, Ardiansyah, dan Host Hitam Putih, Deddy Corbuzier, memaparkan presentasi dan pendapatnya. Menurut Deddy, jika pelaksanaan survey tidak mewakili lebih dari 51% dari penduduk, rating yang ada tidak bisa disebut mewakili semua orang. Selain itu, rating seharusnya menjadi sarana pendidikan.
Diawal diskusi, Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suyanto, memberikan sambutan dan pandangannya. Dikatakannya, rating selama ini jadi salah satu faktor yang dilihat oleh lembaga penyiaran dan menjadi dewa. Dan, program yang ditegur oleh KPI setelah dicek, rating-nya ternyata tinggi. Red
Jakarta – DPR sudah mengeluarkan jadwal fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan bagi 27 calon Anggota KPI Pusat periode 2013 – 2016 tanggal 2 dan 3 Juli 2013. Berikut adalah nama-nama peserta sekaligus waktu dan tanggal keikutsertaan:
Tanggal 2 Juli 2013,
Pukul 13.00-13.30: Rapat Intern Komisi I DPR RI (Persiapan pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan)
Sesi I Pukul 13.30 – 16.00 WIB (Penyampaian Visi dan Misi serta Tanya jawab): 1. Agatha Lily 2. Amirudin 3. Anom Surya Putra 4. Azimah Subagijo 5. Bekti Nugroho
Sesi II Pukul 16.00 – 18.30 WIB (Penyampaian Visi dan Misi serta Tanya Jawab): 1. Dadang Rahmat Hidayat 2. Danang Sangga Buana 3. Effy Zalfiana Rusfian 4. Ezki Tri Rezeki Widianti 5. Fajar Arifianto Isnugroho
Tanggal 3 Juli 2013,
Sesi III Pukul 10.00 – 12.30 WIB (Penyampaian Visi dan Misi serta Tanya Jawab): 1. Fakhri Wardhani 2. Freddy Melmambessy 3. Idy Muzayyad 4. Irvan Senjaya 5. Iswandi Syahputra
Sesi IV Pukul 13.30 – 16.00 WIB (Penyampaian Visi dan Misi serta Tanya Jawab): 1. Iwan Kesumajaya 2. Judhariksawan 3. Komang Suarsana 4. Nina Mutmainnah Armando 5. Muhammad Zein Al Faqih 6. Muhibuddin
Sesi V Pukul 16.00 – 18.30 WIB (Penyampaian Visi dan Misi serta Tanya Jawab): 1. Mutiara Dara Utama Mauboi 2. Ririt Yuniar 3. Romi Fibri Hardianto 4. Rusdin Tompo 5. Samsul Rani 6. Sujarwanto Rahmat
Usai pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan yang terakhir, Komisi I DPR RI langsung mengadakan rapat intern guna menetapkan Anggota KPI Pusat Periode 2013-2016). Diharapkan kepada nama-nama yang disebutkan di atas untuk hadir tepat waktu (minimal satu jam sebelum pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan). Red
(Jakarta) - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kembali memanggil Trans TV terkait program Sexophone yang dinilai kembali menayangkan pembahasan masalah seks yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) kemarin (26/6). Dalam forum klarifikasi tersebut, hadir Wakil Ketua KPI Pusat Ezki Suyanto, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Nina Mutmainah, Koordinator bidang Kelembagaan Azimah Subagijo, Komisioner bidang Perizinan dan Infrastruktur Penyiaran Dadang Rahmat Hidayat.
Di awal pertemuan, Nina yang memimpin forum tersebut menyampaikan hasil analisa dari KPI Pusat atas Sexophone. Dalam periode Maret-Juni 2013, Nina melihat ada beberapa topik Sexophone yang tampil demikian deskriptif atas perilaku seks tertentu, hingga tak heran banyak pengaduan yang masuk ke KPI menilai program ini mempromosikan seks bebas. Selain itu, dalam pengamatannya, Sexophone jarang menyebut kata suami-istri untuk bicara soal aktivitas seks ini, melainkan hanya menyebut “pasangan seksual”.
Senada dengan Nina, Azimah juga melihat adanya tendensi dari Sexophone untuk merendahkan institusi pernikahan. Lebih lanjut, menurut Azimah, dalam hasil analisa tim kajian pornografi KPI Pusat, banyaknya muatan seks yang menyimpang dan kecenderungan Sexophone menjadikannya sebagai bukan sesuatu yang bermasalah, menjadikan program ini seharusnya tidak ada lagi di layar TV.
Dalam pertemuan tersebut Ezki Suyanto juga mengingatkan pengategorian Sexophone sebagai program jurnalistik. Menurutnya, program jurnalistik haruslah menyangkut kepentingan publik, dan hal tersebut sudah jelas dalam P3 & SPS tentang apa yang disebut kepentingan publik. “Jangan sampai prinsip-prinsip jurnalistik dikaburkan dengan acara seperti ini hanya karena tidak mau adanya penyensoran”, tegasnya.
Sementara itu Dadang Rahmat Hidayat meminta Sexophone mempunyai ketegasan posisi dalam memberitakan masalah seks, terutama yang menyimpang dan bertentangan dengan norma kesusilaan yang ada. Menurutnya, sangat wajar media menyampaikan realitas yang ada di masyarakat, namun bukan berarti media demikian gamblang menjelaskan bahkan sampai mengajarkan masyarakat bagaimana cara mendapatnya. Justru, ujar Dadang, media harus mengambil posisi membantu mencarikan solusi atas permasalahan tersebut.
Azimah juga mengingatkan pada Sexopohone, yang mengaku melakukan perubahan besar atas konsep programnya itu. “Mata kamera yang muncul harus yang sedih, muram, dan penuh keprihatinan. Bukan mata kamera yang berbinar dan gembira atas realitas sosial yang menyimpang”, ujarnya. Sexophone juga harus punya pembelaan moral atas fenomena penyimpangan tersebut, tambah Azimah. Sebagai penutup, Nina kembali mengingatkan bahwa Sexophone sudah menerima dua kali sanksi dari KPI atas programnya. KPI memberikan kesempatan adanya perbaikan konsep program seperti yang dijanjikan pengelola acara. “Kami ingin Sexophone bisa hadir sebagai program sex yang edukatif dan bermanfaat bagi masyarakat”, tegasnya.
Saat Timnas bertanding pasti di acak..padahal PSSI atau pun PBSI pasti mendapat Anggaran dari Pemerintah..Nampaknya organisasi olahraga memanfaatkan Hak siar di komersialisasi.padahal alangkah baiknya jika pay TV yang memiliki hak siar bisa menjual paket lintas operator.sebagai jalan tengah karena kita sendiri tahu harga haksiar yang tidak mungkin ditutup iklan komersial.tapi atlet yang membawa Nama Negara di
Ajang seperti Seagames,Asian games dan ajang lain seperti Thomas dan Uber Cup..piala Sudirman atau penampilan Timnas Sepakbola.
Untuk ajang seperti liga Indonesia ataupun grand Prix bulutangkis serta AFC Club' Championship kalaupun di acak toh tidak masalah.
Berharap KPI bisa bijak jangan sampai karena kepentingan bisnis segelintir elit operator akhirnya semua dimanfaatkan mereka.
Kalau dulu ada skema Teresterial..FTA dan pay Tv sekarang sudah tambah streaming.mudah2an KPI bisa mencari solusi untuk kasus penayangan Timnas.