Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menggelar kegiatan pemutaran film secara off-air bertema “Setahun Film Radio: Penyiaran Inklusif bagi Pemenuhan Hak Disabilitas atas Informasi dan Hiburan” di Auditorium Jusuf Ronodipuro, RRI Pusat, Selasa (03/12/2024).
Selain diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional dan peringatan setahun pemutaran film radio di RRI, kegiatan ini dimaksudkan memantik ekosistem penyiaran Indonesia yang lebih inklusif.
“Hadirnya film ramah disabilitas menjadi upaya pemenuhan informasi, pendidikan, dan hiburan bagi semua lapisan masyarakat, sekaligus memutus kesenjangan informasi. Hal ini menjadi upaya integral pembangunan SDM berkualitas yang tidak dibatasi dari kelompok mana mereka berasal karena pembangunan SDM adalah target segenap bangsa Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas 2045,” kata Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, mengawali sambutannya.
Dia juga menyatakan bahwa pihaknya sudah mengajak seluruh lembaga penyiaran untuk menggunakan bahasa isyarat yang bisa dipahami penyandang disabilitas (PD).
Direktur Utama LPP RRI, I Hendrasmo, menguatkan apa yang disampaikan Ubaidillah. “Sebagai lembaga penyiaran publik, RRI punya tanggung jawab besar menjangkau seluruh masyarakat, termasuk disabilitas,” katanya.
Dia menyatakan RRI tidak hanya menyediakan saluran penyiaran tapi menjadi wadah inovasi penggunaan audio description sehingga film lebih memungkinkan untuk diakses semua lapisan masyarakat. Tantangan yang tengah dihadapi bersama adalah perubahan teknologi dan munculnya disrupsi informasi.
Keynote speech acara Direktur Yayasan Louise Braille Indonesia sekaligus Ketua Umum Aliansi Disabilitas Nusantara Agus Diono menyampaikan, setelah 8 tahun UU disabilitas diratifikasi menjadi UU Nomor 8 Tahun 2016, dirinya mengimbau agar disabilitas dimaknai sebagai keragaman fisik yang ada pada manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala kelebihan dan kekurangan dan tidak disebut sebagai difabel. “The way to get ability is different between nondisable and disable”, ujarnya.
Pada Bab I Pasal 1 disebutkan Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Forum ini dipandang sebagai media strategis untuk mengedukasi dan menyadarkan masyarakat tentang cara pandang terhadap disabilitas.
Pemutaran dua film pendek “Ride to Nowhere” dan “Luckiest Man on Earth” produksi Minikino disajikan dengan menyertakan audio description atau deskripsi radio, sebuah narasi yang memberi gambaran atau menjelaskan elemen visual utama dalam video, film, atau multimedia untuk membantu penonton dengan disabilitas netra atau gangguan penglihatan.
Kegiatan dilanjutkan dengan talkshow bersama narasumber Komisioner KPI Pusat Amin Shabana, Ketua Bidang Pengembangan SDM dan Standar Kompetensi Badan Perfilman Indonesia (BPI), Naswan Iskandar, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Woro Sri Hastuti Sullistyaningrum, dan Komisioner Komisi Nasional Perempuan, serta menghadirkan Juru Bahasa Isyarat (JBI), Bahrul Fuad.
Film Radio: Terobosan Penyiaran Inklusif Sinergi Industri Penyiaran dan Sineas Indonesia menjadi tema yang diangkat Amin Shabana. “Melalui program ini saya ingin menyampaikan bahwa teman disabilitas punya hak yang sama atas informasi dan hiburan. Adanya fasilitas audiio description memungkinkan film dinikmati juga oleh disabilitas netra,” ujarnya.
Dia menambahkan film radio sudah selama 1 tahun menjadi program yang rutin diputar di Pro 1 91,2FM, setiap hari senin di awal bulan.
Nazwan Iskandar dengan materi “Mendorong Industri Perfilman Nasional Aksesibel bagi Kelompok Disabilitas”, menyampaikan bahwa pada dasarnya industri perfilman tidak membedakan PD dengan nondisabilitas, baik sebagai kru produksi, penulis skenario atau peran dalam bidang yang lain.
Dia juga menyatakan beberapa stakeholder sudah menyediakan audio description untuk beberapa film. “Bahkan, salah satu film Indonesia yang ditayangkan di Cannes Film Festival menampilkan PD sebagai aktor,” tambahnya.
Sementara itu, delegasi Kemenko PMK menekankan pentingnya peran keluarga melalui tema Dukungan Keluarga dalam Pemberdayaan Kelompok Disabilitas di Era Penyiaran Digital, “Kalau ingin memberdayakan PD, keluarga inilah sebagai unit terkecil masyarakat yang menjadi titik penting, karena dari keluarga mereka belajar bagaimana berinteraksi, mempelajari nilai, norma, agama, dan budaya,” katanya.
Menurutnya, keluarga berperan memberikan dukungan fisik dan psikologis, menyiapkan sarana prasarana atau infrastruktur bagi PD yang ramah dan aman untuk beraktivitas, serta mempersiapkan mereka masuk ke dalam komunitas yang lebih luas, yaitu masyarakat.
Suara Kelompok Disabilitas terhadap Industri Penyiaran dan Perfilman Nasional menjadi tema penutup yang disampaikan Bahrul Fuad. Terlepas dari apresiasinya atas inovasi yang dilakukan terkait akses informasi melalui film radio, dia mendapati terjadinya bias abilism. Dia acapkali menyaksikan, PD dikonstruksikan dan diglorifikasi dalam kondisi yang mengharu biru penonton, atau sebagai motivator. Padahal kehidupan PD sebagaimana kehidupan nondisabilitas.
“Everything you see on disability is only perspective, not a fact. Everything you hear on disability is only opinion, not the truth. Except you experience it.”
Kegiatan yang dihadiri oleh Komisioner KPI Pusat, jajaran Dewan Pengawas RRI, serta narasumber ini terselenggara atas kerjasama KPI Pusat dengan RRI dan Minikino. Anggita/Foto: Roby dan Samdea