Jakarta – Porsi konten lokal 10% dari total bersiaran televisi berjaringan nasional sudah banyak dijalankan hampir sebagai besar dari stasiun televisi tersebut. Sayangnya, pemahaman terhadap definisi konten lokal yang sesuai dengan konteks kelokalan masih jauh dari harapan. Minimnya riset dan kajian oleh lembaga penyiaran terhadap sebuah budaya dinilai sebagai biang keladi terjadi kesalahan menampilkan konten budaya lokal yang benar.
Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, mengatakan ada banyak lembaga penyiaran yang menyajikan bentuk budaya Betawi yang tidak sesuai dan bahkan salah. Salah satu contohnya cara berbicara keras dengan membentak-bentak dan cenderung kasar. Padahal, cara orang Betawi berkomunikasi tidak seperti yang digambarkan dalam televisi tersebut.
Menurut dia, kesalahan penerapan itu dikarenakan lembaga penyiaran tidak melakukan riset atau penelitian pendahuluan bagaimana kebiasaan orang Betawi dan cara mereka berkomunikasi. Hal ini akhirnya menimbulkan stigma buruk terhadap orang Betawi.
“Kami dari Bamus dan lembaga budaya Betawi siap membantu lembaga penyiaran jika ingin melakukan riset tersebut,” katanya di depan Peserta Seminar Nasional Penyiaran dengan tema “Nasib Konten Lokal Jakarta di Layar Kaca” yang diadakan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah DKI Jakarta di Bidakara, Kamis (24/10/2019).
Pakar Komunikasi, Effendi Ghazali, yang juga diundang dalam Seminar tersebut menilai, dalam konteks penyiaran lokal yang mesti disajikan lembaga penyiaran adalah konten yang banyak mengandung kearifan lokal. Menurutnya, dengan cara ini stigma negatif terhadap budaya tertentu akan meredup.
Effendi mengusulkan, untuk pengembangan konten lokal Betawi dan juga budaya lain yang selaras harus ada kerjasama lintas lembaga misalnya KPID, DPRD serta lembaga terkait lainnya. “Persoalan konten lokal ini merupakan tantangan kita bersama.Hal ini juga akan berdampak baik bagi perkembangan industri penyiaran,” katanya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Sylviana Murni, menilai perlunya peningkatan kualitas budaya Betawi dalam siaran lokal. Menurutnya, konten lokal DKI Jakarta harus benar-benar berkaitan dengan budaya Betawi. Keseriusan lembaga penyiaran menyiarkan 10% konten lokal harus diawasi.
Dia juga meminta KPI dan KPID membuat fakta integritas terhadap lembaga penyiaran yang akan melakukan perpanjangan izin penyiaran. “Fakta integritasnya mengenai keharusan menayangkan konten lokal. Minimal harus ada 10% konten budaya Betawi,” kata Anggota DPR RI Dapil DKI Jakarta.
Ditempat yang sama, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menyatakan pihaknya akan membuat terobosan agar konten lokal makin berkualitas dan sesuai harapan. Salah satu yang menjadi prioritas adalah kewajiban menggunakan bahasa lokal. “Upaya ini dilakukan agar bahasa lokal tetap lestari,” katanya.
Pendapat yang sama soal perlunya kerjasama dan peran aktif semua pihak untuk mengembangkan siaran lokal juga disampaikan Agung. Selain itu, perlu ada Perda untuk menguatkan budaya Betawi dalam siaran lokal. “DKI Jakarta bisa mengangkat budaya Betawi melalui penyiaran lokal,” tandasnya. ***