Jakarta - Salah satu dampak industrialisasi penyiaran adalah masyarakat hanya menjadi objek dan pasif. Kemudian selera yang terbentuk di masyarakat di arahkan oleh industri itu sendiri.  
 
"Maka ketika masyarakat ditanya tentang konten penyiaran, misal dengan satu pertanyaan saja, maka akan ada sepuluh jawaban yang berbeda yang akan kita dapatkan. Masyarakat kita belum terkonsolidasi," kata Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq dalam acara dialog "Mewujudkan Penyiaran Yang Berkualitas Dalam Rangka Pilkada Serentak dan Pembentukan Karakter Bangsa”, yang merupakan bagian rangkaian acara Rapat Pimpinan (Rapim) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2015 di Jakarta, Kamis, 3 September 2015.
 
Menurut Mahfudz, KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen adalah bentuk konsolidasi untuk mewakili masyarakat. Pandangan masyarakat, Mahfudz melanjutkan, tercermin ada pada KPI itu sendiri, baik itu penilaiannya atas program siaran dan yang lainnya.
 
Pentingnya mengkonsolidasi masyarakat itu, menurut Mahfudz, akan memudahkan dalam memperbaiki kualitas program siaran Lembaga Penyiaran yang saat ini masih di bawah standar penilaian KPI. Menurutnya, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk pemberdayaan masyarakat adalah dengan memperbanyak kegiatan literasi media dan membuat sejumlah asosiasi masyarakat yang konsen pada penyiaran, seperti tayangan anak, iklan, sinetron, dan yang lainnya.
 
Mahfudz melihat banyak aduan masyarakat yang masuk ke KPI melalui sms, email, dan yang lainnya bersifat personal. Ia mengandaikan, semua aduan masyarakat itu terkonsolidasi dengan baik, akan memudahkan dalam melakukan tindakan yang lebih besar. "Masyarakat akan lebih berdaya, selera masyarakat dan prepensinya akan naik. Dengan demikian, publik itu tidak terus dijadikan objek. Mungkin ini maksud revolusi mental yang dimaksud Pak Jokowi," ujar Mahfudz yang disambut gemuruh tepuk tangan peserta Rapim KPI 2015.
 
Acara dialog yang dipandu oleh Marissa Anita itu juga menghadirkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara sebagai pembicara. Dalam paparannya Rudiantara menjelaskan, saat ini ada banyak karakter bangsa Indonesia yang hilang di tengah masyarakat. Ia menuturkan, ungkapannya itu didukung oleh berbagai penuturan dari banyak kalangan yang ditemui yang intens meneliti kondisi sosial masyarakat Indonesia.
 
Menurut Rudiantara, salah satu cara memperbaiki karakter itu melalui penyiaran. Ia menjelaskan, revolusi mental yang diusung Presiden Jokowi memiliki tiga kata kunci dasar, yakni integritas, etos kerja, dan gotong royong. "Nanti kami kumpulkan seluruh Lembaga Penyiaran untuk menjadikan tiga kata kunci itu dalam siarannya, sebagai bentuk pembangunan karakter bangsa," katanya.
 
Meski begitu, Rudiantara mengakui, untuk mencapai itu membutuhkan waktu yang tidak pendek dan tidak gampang.
 
Senada dengan Rudiantara, Mahfudz setuju bahwa nilai utama budaya masyarakat Indonesia adalah gotong royong. Menurutnya, dalam kondisi perang proksi--perang yang menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti untuk perlawanan--dalam kondisi saat ini, gotong royong memungkinkan sebagai solusi. Baginya, kecenderungan masyarakat industri, membentuk karakter yang individualistis.
 
"Maka pertanyaan yang bisa diajukan dalam kondisi penyiaran Indonesia saat ini adalah, apa filosofi penyiaran Indonesia? Ini jadi bahan yang kami terus bicarakan untuk kebijakan penyiaran nasional," ujar Mahfudz yang menyinggung tentang proses revisi Undang-undang Penyiaran yang masih dibahas Komisi I DPR RI.
 
Rudiantara mendukung penyelesaian revisi Undang-undang Penyiaran. Ia berharap revisi itu bisa memberikan perbaikan untuk program pemerintah dan KPI yang selama ini belum optimal. Kominfo sebagai salah satu regulator penyiaran, Rudiantara berjanji akan membantu KPI dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.