Makassar - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan (Sulsel) mendorong media untuk melindungi kaum rentan terhadap kekerasan dalam penyelenggaraan anugerah KPID Award ke-10 di Makassar,(12/12). "Fenomena kekerasan terhadap anak, remaja dan perempuan semakin mengkhawatirkan. Ini seharusnya menyeret media untuk melindungi para golongan lemah tersebut, bukan justru melakukan kekerasan ke dua," kata Ketua Panitia KPID Award Fauziah Erwin.

Fauziah mengatakan pihaknya mendorong lembaga penyiaran untuk membuat karya dengan perspektif yang mendorong perlindungan terhadap anak perempuan dan korbam kekerasan. Secara total terdapat 92 karya jurnalis TV dam 54 radio yang kemudian dinilai oleh lima orang juri yang terdiri atas unsur budayawan, pemerhati kekerasan terhadap anak, dan unsur pemerintah."Diharapkan ini jadi pelecut bagi rekan-rekan media untuk membuat karya dari persepektif lain yaitu anak, remaja, dan perempuan," paparnya.

Sementara itu Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Syahrul Yasin Limpo mengapresiasi KPID Sulsel yang dinilai mampu mendorong perkembangan media di wilayah ini. "KPID telah turut berperan dalam mendorong perkembangan media di wilayah ini. Ini terbukti dari semakin banyaknya jumlah media di Sulsel kini, dibandingkan beberapa tahun yang lalu," kata Syahrul pada malam penganugerahan KPID Award itu. Gubernur mengatakan KPID memiliki peran strategis yang kian penting di era globalisasi ini. Ia menilai KPID merupakan filter bagi arus informasi yang semakin massif sebagai dampak dari kemajuan teknologi informasi.

"Karena saat ini adalah era global, dimana penetrasi nilai budaya masuk secara masif dan tidak bisa dihalangi lagi. KPID harus bisa menjadi filter bagi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai yang kita anut," papar Syahrul. Karenanya, gubernur mengatakan, KPID perlu mendapat dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. (ANTARA)

Semarang - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah meminta agar stasiun televisi memberikan ruang kepada para kaum difabel agar bisa berkreasi. Anggota KPID Jawa Tengah Asep Cuwantoro menilai hingga kini keberadaan kaum difabel belum mendapatkan perhatian serius dalam dunia penyiaran.

"Bahkan masih banyak lelucon di acara televisi yang mendiskriminasikan kaum difabel", kata Asep di Semarang, Senin, 31 Agustus 2015. Dari hasil pemantauan yang dilakukan KPID Jawa Tengah terhadap isi tayangan stasiun televisi baik nasional maupun lokal, kesempatan kaum difabel untuk tampil dilayar kaya televisi maupun radio masih sangat minim.

Padahal, kata Asep, tampil di stasiun televisi merupakan bagian dari bentuk pemberdayaan kaum difabel dalam meningkatkan kemampuan dan hal-hal yang dapat dilakukannya. Selain itu, lembaga penyiaran juga wajib memenuhi hak-hak kaum difabel untuk mendapatkan layanan siaran yang ramah bagi kaum difabel.

Misalnya, dalam Undang-undang Dasar 1945 sudah cukup memberikan perlindungan bagi kaum difabel. Asep mengakui Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran sangat kurang memberikan tempat bagi kaum difabel. Tapi, KPI sudah berupaya mengakomodir mengaturnya melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Direktur Yayasan Sasana Integritas dan Advokasi Difabel (SIGAp), Joni Yulianto menyatakan kaum difabel selama ini tidak dianggap sebagai masyarakat yang setara. “Media belum memiliki agenda keberpihakan terhadap kaum difabel,” kata Joni. Joni mengaku punya pengalaman bagaimana stasiun televisi justru mengeksploitasi kaum difabel. Suatu ketika, Jono dikejar reporter televisi untuk wawancara.

“Saya akan diangkat sebagai tokoh difabel pada salah satu program yang lebih mengeksploitasi. Saya tolak karena saya rasa sampai tahapan menghina," kata Joni.

Joni menambahkan, seharusnya media televisi menjadi alat mengkampanyekan kepedulian terhadap penyandang disabilitas. “Media jangan hanya menginformasikan tentang kecacatannya, tetapi pada apa hal-hal yang dapat dilakukan oleh kaum difabel,” kata Joni.‎***

Semarang - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Tengah mengharapkan pemda terus berkomitmen mengelola LPP Lokal agar lebih maju. LPP Lokal yang dulu dikenal dengan sebutan RSPD (Radio Siaran Pemerintah Daerah) saat ini pengelolaannya masih belum maksimal, seolah hanya memenuhi kewajiban mengudara, demikian disampaikan oleh Asep Cuwantoro, Komisioner Bidang Perizinan KPID Jateng, Senin kemarin, 20 April 2015.

Asep menilai, masih banyak pemda yang belum sepenuh hati mengelola LPP Lokal. Seperti alokasi anggaran minim, SDM yang ditugaskan kurang profesional dan sering dipindah (rolling) Dinas lain, sampai pada tuntutan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang dibebankan besar pada pengelola LPP Lokal. "LPP Lokal jangan dibebani PAD yang besar agar orientasinya tidak bisnis karena bukan radio bisnis, melainkan pelayanan publik agar siarannya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik," tegas Asep.

Konversi RSPD menjadi LPP Lokal di 32 Kab/ Kota (Kecuali Kota Semarang, Kota Solo, dan Purwokerto/ Banyumas karena sudah ada RRI) yang ada di Jawa Tengah telah berhasil dan menjadi percontohan bagi Provinsi lain di Indonesia. Namun menurut Asep, keberhasilan tersebut harus dilanjutkan dengan komitmen pengelolaan yang baik. "Tidak cukup hanya dengan merubah bentuk saja, namun pengelolaannya harus diperhatikan agar LPP Lokal lebih maju lagi," kata Asep.

Media Publik

Meskipun sudah berubah bentuk menjadi LPP Lokal, Asep menyayangkan paradigma "corong pemerintah" masih melekat di beberapa LPP Lokal. Menurutnya, sesuai dengan amanat UU 32 tahun 2002, LPP Lokal adalah radio atau televisi milik publik bukan milik pemerintah, dibiayai oleh APBD, dan bersifat independen.

Asep menegaskan pihaknya memberikan apresiasi bagi Pemda yang sudah serius kelola LPP Lokal. Peran dan fungsi LPP Lokal harus dipahami secara benar agar komitmen meningkat. Melalui LPP Lokal pemerintah bisa mensosialisasikan program-programnya agar masyarakat tahu dan mendukung untuk mensukseskannya. Legislatif juga bisa menyuarakan kritik dan saran pembangunan. Tokoh masyarakat dan elemen lainnya juga bisa memanfaatkan keberadaan radio atau televisi publik.

Apabila sudah memahami betul manfaat keberadaan LPP Lokal, Asep berharap komitmen pemda terus meningkat. "Selain sebagai media informasi dan komunikasi, LPP Lokal juga bisa menjadi penyeimbang radio dan televisi swasta yang mengedepankan hiburan semata. LPP Lokal harus mengemas kearifan lokal menjadi program acara yang menarik," pungkas Asep. Red dari KPID Jateng

Pekanbaru - Kelompok Kerja Pengawasan Siaran Pilkada KPID Riau meminta masukan dari sejumlah ahli untuk mengawasi isi siaran Pilkada di 9 kabupaten/kota se-Riau.

Kelima ahli tersebut adalah Husnu Abadi dari pakar hukum tatanegara, M Nazir Karim dari Ketua MUI Riau, Nurdin Halim dari pakar komunikasi, Saiman Pakpahan dari bidang politik dan Al Azhar dari budayawan serta tokoh masyarakat.

Menurut Ketua Pokja Pengawasan Siaran Pilkada, Tatang Yudiansyah, masukan dari para ahli tersebut sangat diperlukan untuk pengawasan dan penindakan terhadap siaran pilkada yang dianggap melanggar nantinya.

"Kita mengharapkan siaran pilkada 9 kabupaten/kota se-Riau nantinya benar-benar sesuai dengan aturan dan norma yang ada. Dan untuk memastikan bahwa siaran yang ada itu sesuai, makanya kita perlu masukan dari para ahli," kata Tatang, Selasa (11/8), seraya menambahkan bahwa pokja ini bekerja sampai dengan pelantikan pejabat terpilih.

Sementara itu, Wakil Ketua KPID Riau, Alnofrizal, menambahkan bahwa selain meminta masukan dengan para ahli, pokja ini juga sedang melakukan kordinasi dengan KPU sebagai penyelenggara Pilkada.

"Kita terus melakukan kordinasi dengan KPU untuk pengawasan isi siaran pilkada di lembaga penyiaran yang ada," jelas Alnof.

Ditambahkannya, KPID Riau tidak segan-segan menjatuhkan sanksi bagi televisi dan radio yang melanggar aturan siaran pilkada. Bahkan, sanksi paling tinggi pun tidak segan-segan untuk diterapkan, yakni pencabutan izin.

"Ini semua kita lakukan agar lembaga penyiaran itu netral, tidak partisan dan sesuai aturan," tutupnya. (*)

Yogyakarta - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY tetap akan memberlakukan peraturan terhadap pemegang Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) IPP Prinsip terkait dengan syarat ujicoba siaran (UCS) selama satu tahun setelah menerimanya. Hal itu juga berlaku bagi lembaga penyiaran yang mengelola stasiun televisi lokal digital di DIY.

"Sebagian besar dari 22 televisi digital di DIY sudah menerima IPP Prinsip. Karena itu harus segera menjalankan peraturan selanjutnya dengan menyelenggarakan UCS selama setahun pertama," tutur Ketua KPID DIY Sapardiyono kepada KRjogja.com, Kamis (12/2/2015).

Seperti diketahui, sebanyak 22 kanal siaran televisi digital di DIY sudah terisi. Sebagian besar dari 22 lembaga penyaiaran televisi digital tersebut sudah menerima IPP meski waktunya tidak berbarengan satu sama lain. Merujuk pada peraturan tentang penyelenggaraan penyiaran, setelah menerima IPP, lembaga penyiaran wajib mengadakan UCS selama setahun.

"Sejak IPP diterima lembaga penyiaran, kami langsung pantau. Ketika mereka tidak menjalankan peraturan, termasuk menyelenggarakan UCS, kami akan rekomendasikan pencabutan IPP tersebut. Padahal untuk televisi digital ini sepertinya belum ada yang menjalankan UCS. Kami akan tunggu hingga setahun untuk mengambil langkah berikutnya," sambung Sapar.

Selain soal UCS yang harus segera dilasanakan, Sapar juga menegaskan jika kewajiban lembaga penyiaran tidak hanya cukup di situ. Karena berada di DIY, lembaga penyiaran tersebut juga wajib menyelenggarakan siaran konten lokal minimal 10 persen dan terus meningkat hingga mencapai lebih 50 persen.

"Kalau dihitung, harusnya persentase bisa lebih dari itu. Karena sebagai lembaga penyiaran lokal harus mengangkat potensi lokal dengan segala kearifannya," sebut Sapar. Sumber dari KRjogja.com

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.