Oleh Yuliandre Darwis, Ph.D 

(Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)

Pembenahan terhadap dunia penyiaran khususnya televisi mesti dilakukan dari hulu hingga ke hilir. Mulai dari aspek regulasi, kebijakan, infrastruktur, SDM, konten, hingga bicara dampak siaran televisi merupakan wacana strategis yang menjadi perhatian publik maupun pemerintah. Tulisan saya ini mencoba mengurai lebih dalam mengenai kualitas isi siaran televisi.

Sesungguhnya publik sejak lama berharap kualitas isi siaran televisi  negeri ini dapat meningkat dari waktu ke waktu. Artinya, program siaran televisi tidak saja mengikuti dari hasil perhitungan jumlah penonton (rating) sebagai rujukan tayangan mereka.

Pengaruh rating yang kuat, yang memberi warna pada program siaran televisi menjadi gelesihan kita bersama. Bahkan, persoalan rating mendapat catatan khusus Presiden Jokowi. Jika diresapi, pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada HUT ke-70 di Senayan 14 Agustus 2015 lalu merupakan pidato bersejarah pada dunia media dan penyiaran sekaligus sebagai titik balik perubahan paradigma maupun pembenahan atas wajah penyiaran nasional.

Media penyiaran diminta tak hanya mengejar rating dan keuntungan belaka. Industri media juga jangan hanya mengedepankan komersialisasi dan mengabaikan kualitas isi siaran. Sesungguhnya pidato Presiden Jokowi harusnya menjadi momentum memperkuat kesadaran reflektif-kritis kita semua. Effendi Gazali, peneliti komunikasi politik dalam sebuah tulisannya di sebuah koran nasional (27/9) bertajuk “Bergeming Setelah Pidato Rating” mengatakan Jokowi telah membuat sejarah.

Baru pertama kali kata ”rating” disebut khusus dalam pidato kenegaraan. Bahkan pada pidato kenegaraan pertamanya di depan MPR. Dalam kesempatan itu Jokowi antara lain menyatakan, ”Lebih- lebih, saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi makin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif. Masyarakat mudah terjebak pada ’histeria publik’ dalam merespons suatu persoalan, khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional.”.

Tidak saja mengapresiasi perhatian khusus Presiden Jokowi menanggapi rating, Effendi G mengingatkan kembali kepada publik persoalan utama rating. Pertama, apakah rating diukur dengan benar. Ini persoalan validitas dan reliabilitas. Konsistenkah rating di Indonesia dievaluasi, atau lebih tepatnya diaudit?. Persoalan kedua dengan rating menyangkut bagaimana menggunakannya. Apakah seluruh selera pasar harus dipenuhi?

Menariknya, pada bagian akhir tulisan, Effendi G membuat tulisan reflektif. Kini, justru Presiden Jokowi yang melantangkannya. Fakta memang memperlihatkan hasil rating cenderung berjalan berlawanan dengan proses revolusi mental. Setelah sebulan pidato berlalu, apakah DPR, Kemenkominfo, KPI, dan masyarakat sipil telah tepat mengelola momentum ini. Atau memilih bergeming seperti beberapa dekade terakhir?

 

Lembaga yang Berdaulat

Membenahi dunia penyiaraan nasional, termasuk dari sisi perbaikan kualitas isi siaran televisi menjadi tugas bersama komponen bangsa. Tak terkecuali dijalankan regulator penyiaran, seperti KPI. Sesuai amanat Undang-Undang Penyiaran No. 32/2002, peran KPI tidak ringan. Pada Pasal 7 UU Penyiaran KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Makna penyiaran mempunyai dimensi luas; menyangkut soal perizinan, infrastruktur, SDM, dan konten siaran.

Perbaikan terhadap konten siaran dilakukan KPI dengan berbagai pendekatan. Melakukan fungsi pengawasan secara optimal, memberi sanksi pada lembaga penyiaran yang melanggar peraturan, dalam konteks pengukuran kualitas siaran KPI melakukan kebijakan survei. KPI melansir hasil survei tentang Indeks Kualitas Program Siaran Televisi sejak 2015 hingga saat ini. Survei KPI bekerja sama Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dengan melibatkan 12 Perguruan Tinggi di 12 kota di Indonesia, dengan hasil kualitas program siaran televisi masih belum sesuai harapan publik khususnya infotainment dan sinetron yang ironinya banyak diminati publik berdasarkan rating.

Hasil survei KPI tahun 2016 menunjukan sinetron dan infotainment masih jauh dari kualitas yakni di bawah angka 4 standar kualitas siaran. Pada periode 1 tahun 2016 hasil survei KPI menunjukan kategori sinetron/film mendapat nilai 2,94 dan periode 2 di tahun yang sama memperoleh nilai  2,70. Lalu infotainment pada periode 1 tahun 2016 hasil survei KPI memperoleh nilai 2,52 dan periode 2 di tahun yang sama memperoleh angka 2,64. Ini artinya sinetron dan infotainment di Indonesia masih perlu pembenahan.

Melalui survei, kita mendorong peningkatan kualitas isi siaran. Sebab kualitas isi siaran televisi adalah cermin kebudayaan suatu masyarakat. Lee Loevinger (1968) dalam teori komunikasinya menyatakan bahwa televisi sebagai media informasi merupakan cermin masyarakat yang dapat mencerminkan suatu citra khalayak. Senada dengan itu Edgar Dale menjelaskan melalui teori Cone of Experience, bahwa apa yang ditampilkan media adalah pengalaman realitas masyarakatnya.

Ibarat tubuh, mempunyai wajah bersih dan cantik/ganteng adalah keinginan banyak orang agar enak dipandang. Demikian pula memoles layar kaca, bukan hanya kuantitas tapi perbaikan kualitas isi siaran televisi adalah harapan bersama. Kita ingin menjadi masyarakat dan bangsa beradab dengan sajian program siaran bermutu.

==========

Tulisan ini dimuat di Kompas, Kamis 10 November 2016.

Oleh Yuliandre Darwis, Ph.D
(Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)

Pendidikan merupakan hal penting bagi masyarakat untuk memahami isi pesan media massa yang merupakan hasil konstruksi suatu realitas. Dengan pendidikan yang memadai, publik dapat mengerti, memahami, dan bahkan memihak mana tayangan yang benar dan mana tayangan tidak penting bagi dirinya maupun lingkungan sosialnya. Pada kalimat lain, pendidikan adalah instrumen fundamental bagi masyarakat agar publik dapat cerdas di hadapan media penyiaran.

Oleh karena itu, pendidikan literasi media menjadi suatu yang urgen bagi publik dalam memahami isi media atau pesan media maupun makna yang terkandung di dalam media.  John Dewey memandang pendidikan sebagai alat rekonstruksi sosial (social reconstruction; social engineering) yang paling efektif. Pendidikan merupakan lembaga paling konstruktif dalam memperbaiki masyarakat serta membangun masa depan yang lebih baik. Dalam konteks memahami media penyiaran, pendidikan adalah keniscayaan dimiliki masyarakat. Dalam kajian ilmu komunikasi, kemampuan masyarakat memahami media disebut literasi media.

Pendidikan Literasi Media
 
Secara historis perkembangan literasi media di Indonesia terjadi pada abad ke-21 sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan. Baran & Dennis (2010) memandang literasi media sebagai suatu rangkaian gerakan melek media, yaitu gerakan melek media dirancang untuk meningkatkan kontrol individu terhadap media yang mereka gunakan untuk mengirim dan menerima pesan. Melek media dilihat sebagai keterampilan yang dapat dikembangkan dan berada dalam sebuah rangkaian—kita tidak melek media dalam semua situasi, setiap waktu dan terhadap semua media.

Kemampuan individu dalam memahami media merupakan tujuan literasi media. Bagaimanapun di hadapan media, publik harus cerdas dan berdaya. Kita jangan bersikap pasif apalagi permisif terhadap isi pesan media yang memiliki pengaruh besar dalam kesadaran maupun perilaku publik. Itulah sebabnya gerakan literasi media harus dibumikan dalam kehidupan sosial.

Livingstone (2004) mengatakan ada empat komponen literasi media yaitu: (1) Acces (akses), (2) Analysis (analisis), (3) Evaluation, (4) Content Creation yang sama-sama menyatu sebagai suatu skill based (kemampuan dasar) melek media.  Kemampuan-kemampuan tersebut menjadi integral dalam pendidikan literasi media.

Sesungguhnya kemampuan-kemampuan tersebut dapat dibangun melalui pendidikan. Pendidikan literasi media dapat dibumikan dari jenjang pendidikan formal yakni mulai dari sekolah dasar sampai ke tingkat Perguruan Tinggi. Artinya pendidikan kita harus lebih dekat dengan literasi media. Akan lebih baik jika pendidikan literasi media masuk ke dalam kurikulum pendidikan nasional.

Ironi Kaum Terpelajar

Kita sungguh khawatir sebetulnya tatkala kita melihat bahwa konsumen terbesar media penyiaran khususnya televisi merupakan anak-anak dan remaja yang notabene mereka kebanyakan pelajar. Banyak dari pelajar di Indonesia menonton televisi 3 sampai 5 jam dalam sehari. Jika ditotal rata-rata kaum muda terdidik menghabiskan waktu di depan TV 35 jam dalam seminggu. Tidak heran jika kita dianggap sebagai penonton yang tingkat konsumsi TV cukup tinggi. Ini berbeda dengan beberapa negara lain sebut saja  Amerika Serikat yang tingkat konsumsi menonton TV anak di negeri Paman Sam rata-rata 1 sampai 2 jam sehari.

Tingginya tingkat menonton TV bagi pelajar di Indonesia tentu memberi kekhawatiran tersendiri. Itu karena kebiasaan menonton TV pelajar kita yang tinggi tidak diimbangi dengan kemampuan menyaring isi pesan media secara baik. Mereka langsung saja menerima apa yang ditampilkan media tanpa menggunakan nalar kritis secara optimal sehingga publik dengan gampangnya terpengaruh oleh informasi media yang kebenaranya masih perlu diverifikasi.

Padahal kita tahu bersama betapa TV memberi dampak besar pada setiap individu maupun lingkungan sosial. Pada praktiknya, siaran TV menimbulkan efek serius terhadap tiga hal yang begitu urgen pada diri manusia (baca: anak/pelajar). Diantaranya: (1) dampak kognitif, yakni kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. (2) dampak perilaku, yakni proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pemirsa. (3) dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada trend aktual yang ditayangkan televisi.

Mengingat dampak isi pesan media yang besar kepada khalayak sehingga publik diharapkan bisa lebih berdaya di hadapan media penyiaran melalui instrumen pendidikan. Sebuah ironi jika masyarakat apalagi mereka yang tergolong kalangan terpelajar/civitas akademika dapat mudah terpengaruh media. Padahal sudah seharusnya kalangan pelajar dapat lebih mengerti dampak media kemudian mereka memberikan pendidikan melek media kepada yang lain.

Itu karena menyebarkan skill literasi media secara eksplisit maupun implisit sebetulnya menjadi bagian dari implementasi peran pendidikan media. Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 Pasal 4 ayat 1 menyebutkan, penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, dan pendidikan.

Perhatian khusus pemerintah maupun stakeholder pendidikan juga insan penyiaran terhadap urgensi pendidikan literasi media, penulis pikir sudah harus diberikan porsi yang besar. Pendidikan dijalankan bukan sebatas formalitas, melainkan pendidikan seperti dikatakan John Dewey, George Counts, dan Othanel Smith di atas bahwa pendidikan sebagai alat rekonstruksi sosial dan perubahan sosial, termasuk melalui dunia penyiaran.

==========

Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, Jumat 14 Oktober 2016.


Oleh: Mayong Suryo Laksono

Komisioner KPI Pusat Periode 2016 -2019 Bidang Pengawasan Isi Siaran

Perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran 10 stasiun televisi pada 14 Oktober lalu menyertakan sejumlah komitmen dari pejabat tertinggi di stasiun itu. Ditandatangani di atas meterai sehingga memiliki kekuatan hukum sekaligus mengandung konsekuensi hukum. Tentu ini bukanlah sebuah pembatasan atau pengekangan, karena komitmen itu justru akan menjadi rambu penuntun yang memudahkan pengelola televisi memproduksi acara agar minim aduan, protes, dan teguran.

Sembilan lembaga penyiaran televisi  swasta berakhir izinnya pada 16 Oktober 2016. Mereka adalah RCTI, SCTV, MNC TV, ANTV, Indosiar, Global TV, TVOne, TransTV, dan Trans7. Sementara izin Metro TV akan berakhir pada 29 Desember 2016, namun perpanjangan izin diberikan bersamaan. Penyerahan izin dilakukan melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dalam hal ini KPID Jakarta, dan disaksikan oleh KPI Pusat, pada 14 Oktober 2016. Hanya berselang hitungan menit setelah dokumen perizinan itu dikirimkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) kepada KPI.

Bagi ke-10 stasiun lembaga penyiaran swasta (LPS) berjaringan itu, perpanjangan merupakan sebuah titik penting dari pengajuan izin yang berproses sejak setahun sebelumnya. Yakni melalui sejumlah langkah seperti uji publik, verifikasi administratif dan faktual, evaluasi dengar pendapat, penerbitan rekomendasi kelayakan oleh KPI berdasarkan rapor kinerja, hingga tiga kali pembahasan secara khusus dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR, dan diakhiri forum rapat bersama (FRB) antara KPI dan Kemkominfo. Cukup melelahkan dan menegangkan. Pun dibayangi risiko turunnya harga saham bagi televisi yang sudah go public karena belum adanya kepastian perpanjangan hingga hari-hari terakhir dapat dianggap sebagai ketidakpastian nasib bisnis di bidang pertelevisian.

Antisipasi penyalahgunaan di masa kampanye

Mari kita lihat tujuh komitmen yang ditandatangani oleh para petinggi televisi dan diketahui oleh Ketua KPI itu:

1.    Sanggup untuk melaksanakan seluruh ketentuan yang terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dan kebijakan KPI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

2.    Sanggup menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial dalam rangka membangun karakter bangsa.

3.    Sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan isi siaran program jurnalistik, tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran.

4.    Sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan terkait dengan penyelenggaran Pemilihan Umum meliputi:
a.    Pemilihan kepala daerah;
b.    Pemilihan anggota legislatif tingkat daerah dan pusat;
c.    Pemilihan presiden dan wakil presiden;
d.    Kegiatan peserta pemilihan umum (Pemilu) dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta Pemilu;
e.    Pemberitaan dan penyiaran yang berbentuk penyampaian pesan-pesan kampanye oleh partai politik kepada masyarakat melalui lembaga penyiaran secara berulang-ulang.

5.    Sanggup melaksanakan penayangan yang menghormati ranah privat dan pro justicia yang mengedepankan asas praduga tak bersalah secara proporsional dan profesional.

6.    Sanggup untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, antara lain berupa penggunaan bahasa isyarat dalam program siaran berita.

7.    Bersedia untuk dilakukan evaluasi secara berkala setiap tahun terhadap seluruh pelaksanaan komitmen dan bersedia untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan evaluasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Meski P3SPS diletakkan di uturan pertama tujuh komitmen itu, sesungguhnya rangkaian enam pernyataan lain dijiwai oleh induk dari P3SPS, yaitu Undang-undang No 32/2002 tentang Penyiaran. Pasal 4 ayat 1 UU No. 32/2002, “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial”, diulang dalam komitmen ke-2. Soal karakter bangsa mengacu pada pasal 3 yakni, “… terbinanya watak dan jatidiri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun bangsa yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia”.

Sedangkan soal independensi dan kemandirian penyiaran, baik dalam program jurnalistik maupun pelibatan media penyiaran dalam kampanye Pemilihan Umum, disemangati oleh Pasal 5 ayat (g): “Mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran”.

Selain menegaskan kembali fungsi dan peran ideal televisi, tujuh komitmen itu juga merupakan  koreksi atas “kesalahan” sejumlah televisi di masa lalu. Ketika pemilihan presiden (Pilpres) 2014, televisi terpolarisasi menjadi dua: “televisi merah” (TVOne) dan “televisi biru” (MetroTV), dan keduanya mendasarkan penghitungan cepat dari lembaga survey yang hasilnya bertentangan. Oleh karenanya, pada saat itu Komisi Penyiaran Indonesia memberi peringatan dan merekomendasikan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika untuk meninjau kembali izin kedua televisi tersebut, meski sampai pergantian pemerintahan kemudian, tidak ada tindak lanjut ke proses peradilan.

Tahun 2017 akan diwarnai 101 pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik provinsi maupun kabupaten/kota, dan yang skala pemberitaannya paling besar adalah Pilkada DKI Jakarta. Dua tahun kemudian, 2019, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden (Pilpres). Agar polarisasi tidak terjadi lagi, juga agar media televisi tidak dimanfaatkan secara berlebihan oleh partai politik atau oleh pemiliknya, ketujuh komitmen di atas dapat menjadi penyaring atau bahkan pencegah penyalahgunaan itu.

Evaluasi dan sanksi

Pada satu sisi, tujuh komitmen bisa dianggap sebagai pembatas – bahkan penghalang – kebebasan berpoduksi. Tapi harap dilihat sisi sebaliknya, itu justru bisa menjadi pedoman dan bahkan tuntunan agar televisi menjalankan fungsi idealnya. Artinya, jika tak ingin menyalahi komitmen – dan mungkin berujung jatuhnya sanksi – ya buatlah program yang sesuai dan selaras dengan itu.

Risiko rating? Itu cerita yang selalu ada, karena setiap program televisi selalu menghadapi hukum besi sistem pemeringkatan untuk menentukan daya jual dan perolehan iklannya. Artinya, di sanalah kreativitas itu makin dituntut, bukan lantas mendesakkan pemahaman bahwa acara yang berkualitas identik dengan rating rendah.

Ini sangatlah relevan kalau kita berbicara tentang sejarah televisi swasta yang tentunya tidak lagi bisa dikatakan muda: 27 tahun. Sudah saatnya sistem pemeringkatan diihat secara berbeda dan tidak lagi disikapi secara sama.

Kembali ke tujuh komitmen, poin terakhir mengenai kesediaan duntuk dievaluasi setiap tahun adalah sebuah kemajuan karena hal itu tidak dilakukan pada masa sepuluh tahun yang lalu. Evaluasi tahunan lebih bersifat pengumpulan data mengenai kelebihan dan kekurangan, semacam rapor tahunan, bukan semata alat untuk mencari kesalahan. Apalagi menjadi jalan untuk menghentikan siaran tanpa televisi melakukan pelanggaran undang-undang untuk diproses di pengadilan.

Review tahunan memang perlu untuk melihat pencapaian atau menjelaskan posisi sebuah stasiun televisi. Karenan dengan begitu Kementerian Kominfo bisa memperoleh data, demikian pula KPI dan Komisi I DPR. Dalam beberapa hal, masyarakat pun berhak mengetahui rapor tahunan setiap televisi yang mereka tonton. Data tahunan itu kemudian dikumpulkan dan digunakan ketika kelak, tahun 2026,  izin akan diperpanjang. Jadi tidak seperti yang terjadi pada perpanjangan Oktober tahun ini, ketika data dan dokumen, juga penilaian untuk menentukan rekomendasi kelayakan (RK) dikumpulkan hanya kurang dari enam bulan, pun diragukan sehingga dimintakan perbaikan berulang oleh Komisi I DPR.

Agaknya, bukan hanya ke-10 stasiun televisi yang perlu dievaluasi; proses dan cara menghasilkan komitmen hingga berujung pada keluarnya izin perpanjangan pun perlu dievaluasi.

Oleh: Yuliandre Darwis, P.hD
(Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)

Tahun 2016 menjadi saat bersejarah bagi dunia pertelevisian Indonesia. Pada tahun ini tepat bulan Oktober dan Desember masa Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) 10 stasiun televisi swasta berakhir setelah 10 tahun Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) menggunakan IPP sebagai dasar hukum LPS siaran menggunakan frekuensi publik. Sepuluh stasiun televisi swasta berakhir masa penggunaan IPP antara lain: TPI, RCTI, SCTV, Global TV, Indosiar, ANTV, Metro TV, TV One, Trans TV dan Trans 7.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta mengenai Perpanjangan Izin Pasal 9 menyebutkan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya izin penyelenggaraan penyiaran, pemohon mengajukan permohonan perpanjangan izin tertulis kepada Menteri melalui KPI. Jangka waktu berlakunya perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran adalah 10 (sepuluh) tahun untuk izin penyelenggaraan penyiaran televisi dan 5 (lima) tahun untuk izin penyelenggaraan penyiaran radio.

Dalam proses perpanjangan izin penyiaran dua institusi diberikan otoritas mengurusi proses izin penyiaran yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kedua institusi negara ini saling terkait dalam melakukan proses izin televisi. KPI mengeluarkan Rekomendasi Kelayakan (RK) yang kemudian ditindaklanjuti Kominfo sebagai dasar dikeluarkannya IPP. Proses perizinan masih berjalan hingga saat ini sampai ada kepastian tentang izin bagi 9 stasiun TV yang habis masa izinnya pada bulan Oktober dan 1 stasiun TV yang habis masa izinnya pada Desember 2016.

Head dan Sterling dalam Broadcasting in America: A Survey of Electronic Media (1987) menekankan bahwa penyiaran (broadcasting) adalah teknologi yang berbasis gelombang radio. Melihat bahwa spektrum merupakan komoditi publik dan merupakan sumber daya, maka muncul satu teori yang berbicara “the spectrum as a public resource”, atau spektrum frekuensi gelombang radio sebagai barang kekayaan publik. Penyiaran berbasis spektrum gelombang radio disadari amat penting bagi penyelenggaraan komunikasi nirkabel dan diseminasi informasi pada masyarakat. Potensi kekuatan yang luar biasa ini kemudian memberi wewenang pada pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang penggunaan frekuensi publik tadi, untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Adanya regulasi tentang penggunaan frekuensi publik merupakan konsekuensi dari penyelenggaraan penyiaran yang bergantung pada gelombang elektromagnetik. Terlebih karena kanal-kanal gelombang radio bersifat tetap dan terbatas, sementara jumlah penggunanya terus bertambah.

Kepentingan Publik

Momentum perpanjangan izin 10 stasiun televisi swasta berjaringan merupakan titik penting bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) penyiaran untuk meneguhkan regulasi bahwa frekuensi publik adalah milik publik. Penggunaan frekuensi diperuntukan bagi publik bukan untuk kepentingan golongan apalagi pribadi. Kesadaran filosofis-regulatif ditanamkan kembali dalam proses perpanjangan izin.

Proses perpanjangan izin menentukan perkembangan penyiaran sekaligus memperkuat komitmen bersama membenahi dunia penyiaran Indonesia. Persoalan perpanjangan izin 10 televisi menjadi ruang yang menitikberatkan pada perbaikan maupun peningkatan kualitas siaran TV. Izin televisi adalah persoalan hulu yang mesti dibenahi. Sisi lain soal konten siaran merupakan persoalan hilir dalam skema penyiaran. Pembenahan pada hulu mempengaruhi persoalan hilir yang selama ini masih mendapat catatan. Konten siaran televisi menjangkau 78 persen wilayah Indonesia atau sekitar 122 juta jumlah penonton TV—tapi sejumlah catatan penyiaran masih menghadang; tayangan tidak informatif, kurang akurat, tidak objektif, tidak berimbang, tendensius, kurang mendidik, dipenuhi kekerasan, mistik/horor, didominasi tayangan infotainment, sinetron, informasi yang mengutamakan sensasi dan dramatisasi.

Inilah saat perbaikan bersama dunia penyiaran. Bahkan peristiwa bersejarah ini sesungguhnya sebagai peneguhan nilai-nilai kebangsaan; nasionalism, pancasila, NKRI, dan UUD 1945 yang akhir-akhir ini mengundang perhatian publik karena keadaan sosial kebangsaan kita tidak dapat dilepaskan dari pengaruh media massa. Demikian pula dengan eksistensi media sebagai pilar demokrasi keempat yang secara esensi memainkan peran fundamental memperkuat sistem demokrasi yang sedang terkonsolidasi.

Sebagai pilar keempat demokrasi (Carlyle, 1840, Schultz, 1998), media memainkan peranan strategis sebagai locus bagi segenap warga negara untuk membangun upaya demokrasi yang sehat. Media, apalagi media penyiaran, televisi maupun radio yang menggunakan frekuensi serta ruang publik dalam proses kegiatan penyiaran sejatinya dipahami bersama memiliki kontribusi dalam penguatan sistem demokrasi yang sedang terkonsolidasi di negeri ini.

Bagi Habermas, seorang filsuf dan pakar komunikasi Jerman, media hadir sebagai penyedia ruang publik sekaligus pondasi bagi bangunan demokrasi dan keadaban masyarakat. Sebagai ruang publik yang menjembatani perjumpaan antara individu privat untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menjadi isu bersama, maka ruang publik tidak pernah bersifat tunggal, melainkan jamak (Habermas, 1984).

Peneguhan media sebagai ruang publik bersama merupakan hal penting dalam proses perpanjangan izin televisi. Dengan begitu kita harapkan bersama adanya kesadaran kolektif dari stakeholders penyiaran yang dapat mewujudkan hakikat penyiaran dalam layar kaca demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

==========

Tulisan ini dimuat di Koran Media Indonesia, Jumat 21 Oktober 2016.

Oleh Yuliandre Darwis, Ph.D

(Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)


Seperti air, tanah, dan udara, spektrum frekuensi merupakan kekayaan sebuah bangsa. Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dalam mukadimahnya menuliskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Agar penggunaan dari frekuensi berlangsung adil dan bermanfaat bagi publik, maka diperlukanlah sebuah badan yang bersifat independen untuk mengatur dan mengawasi penggunaannya. Di sinilah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi kewenangan oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen untuk mewakili publik dalam mengurus penyiaran. Singkatnya, publik berhak menggunakan, menikmati, dan mendapatkan manfaat dari frekuensi, baik yang dikelola oleh diri atau komunitasnya sendiri maupun perusahaan yang bersifat komersial

Beberapa waktu ke depan bangsa ini menggelar hajatan pesta demokrasi; pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di sejumlah provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia. Saat momen politik itu, peran penting media menarik dibicarakan. Pilkada merupakan saat bersejarah bagi rakyat negeri ini yang membutuhkan kontribusi nyata insan media. Apa dan bagaimana media memberi sumbangsih dalam proses pilkada dengan berpegang pada prinsip-prinsip independensi, netralitas jurnalis maupun institusi media serta keberpihakannya pada kepentingan publik—merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu publik.

Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 di 7 Provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten di Indonesia tidak dimaknai dengan dangkal. Artinya, dalam bangunan pemikiran realitas politik kontemporer, pilkada tidak dipahami sebagai proses suksesi kepemimpinan daerah maupun sirkulasi elit dalam bahasa kekuasaan modern. Pilkada bukan ajang bagi-bagi kursi antar elit politik, apalagi sebagai sarana politik uang (money politik) untuk meraih dukungan massa sebagai jalan memperoleh kekuasaan. Penulis pikir pragmatisme politik tersebut perlu diluruskan dengan peran kontrol dimainkan media terutama media penyiaran seperti televisi dan radio.

Publik tentu memiliki ekspektasi tinggi pada media agar dapat mengambil langkah strategis dalam melakukan kontrol terhadap realitas politik pilkada sekaligus memberi penekanan pada berbagai agenda utamanya dalam proses pilkada. Misalnya media sebagai sarana penyebaran informasi pendidikan politik yang bermartabat pada publik. Kebutuhan publik pada informasi politik yang edukatif dibutuhkan ketika pilkada. Karena bukan tidak mungkin informasi media menjadi referensi pendidikan politik maupun peningkatan partisipasi pemilih dalam pilkada. Dalam teori agenda setting dikemukan Maxwell McCombs dan Donal L. Shaw (1968) berasumsi bahwa media memiliki kekuatan untuk mentransfer isu untuk mempengaruhi agenda publik. Dengan perkataan lain, publik akan menyikapi isu tersebut karena dianggap penting sebab media menganggap penting isu itu.

Situasi psikologis maupun sosiologis masyarakat tersebut diharapkan berjalan beriringan dengan agenda media dalam konteks penyebaran informasi pendidikan politik pada khalayak. Apalagi kita tahu eksistensi media khususnya media penyiaran tidak hanya menjalan fungsi media sebagaimana dikatakan di atas tetapi juga menjadi mitra strategis dengan penyelenggara pilkada dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk penyebaran informasi pilkada yang benar. Jika kita cermat mengamati, Peraturan KPU No 7 tahun 2015, tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota—peraturan KPU itu menyediakan ruang “istimewa” pada media dalam melakukan penyebaran informasi maupun pendidikan politik pilkada melalui iklan, pemberitaan, dan penyiaran.

Hal itu bahkan ditegaskan dalam PKPU No 7/2015 khususnya Pasal 32 tentang iklan kampanye di media massa dan Pasal 52 tentang pemberitaan dan penyiaran kampanye. Namun begitu media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kegiatan Kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh Pasangan Calon (Pasal 54 PKPU No.7/2015)

Dengan menggunakan frekuensi publik, media penyiaran sudah seharusnya menjadi rujukan utama bagi masyarakat mengenai kepemiluan meliputi tahapan pilkada, kegiatan atau aktivitas kampanye, pengaturan, pengawasan terhadap pilkada, dan bahkan yang tidak kalah penting adalah memberi pendidikan dan menanamkan etika politik pada publik.

Pendidikan politik bukan hanya tugas partai politik. Media massa memainkan peran signifikan di sini. Tentu, dalam hal ini pendidikan politik cerdas dan bermartabat bagi publik diberikan media. Media mendorong publik menjadi pemilih rasional bukan pemilih seperti memilih kucing dalam karung. Dengan tanpa pertimbangan matang pemilih mencoblos pimpinan daerahnya. Ini tentu jangan sampai terjadi.

Masyarakat didorong melampaui kesadaran konvensional bahwa pilkada bukan semata urusan seremonial dengan menggugurkan kewajiban warga negara setelah masuk bilik suara dengan mencoblos. Konsolidasi demokrasi ditingkatkan dari prosedural administratif ke arah praktik demokrasi yang subtantif dalam wujud penguatan partisipasi pemilih rasional contohnya. Melakukan pengawasan terhadap jalannya proses pilkada. Agenda ini dijadikan skala prioritas media di pilkada.

Berbagai peran fundamental media dalam pilkada merupakan harapan publik dan bangsa ini. Sebab eksistensi maupun peran media amatlah berpengaruh dalam kehidupan publik. Alexis S.Tan (1981), menyebutkan media massa merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah.

Itulah sebabnya kita semua berharap peran penting dijalankan media tersebut direalisasikan dalam konteks realitas politik pilkada. Pesta demokrasi yang mengedepankan praktik politik yang akuntabel, luber, jurdil, penyelenggara pemilu yang kredibel, pemilu damai tanpa kekerasan. Pilkada yang dapat meningkatkan partisipasi pemilih yang tinggi secara kuantitatif maupun kualitatif, serta yang penting juga dari proses pilkada adalah lahirnya pemimpin yang sungguh-sungguh membela kepentingan rakyat.

==========

Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, Senin 26 September 2016.










Hak Cipta © 2025 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.