Banda Aceh – Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Irsal Ambia, menyampaikan tentang perkembangan regulasi penyiaran terhadap media baru di Indonesia. Menurutnya, hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur keberadaan media baru khususnya media berbasis internet seperti YouTube ataupun media sosial.

KPI selaku lembaga negara yang memiliki peranan dalam mengawasi ruang publik, khususnya televisi dan radio yang selama ini mengacu pada UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merasa perlu adanya regulasi baru sebagai respons dan penyelarasan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin masif.

“Saat UU No 32 ini lahir, perkembangan internet belum seperti saat ini. Sedangkan kondisi sekarang, dengan adanya internet memungkinkan individu melakukan kerja-kerja penyiaran di berbagai platform berbasis internet,” kata Irsal dalam Stadium General bertema “Penyiaran dan Media Baru” yang diselenggarakan Prodi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam Pascasarjana UIN Ar-Raniry yang berlangsung di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Jumat (7/1/2022) lalu.

Karena itu pula kata mantan komisioner KPI Aceh ini, selama ini konten-konten di media baru banyak yang tidak sesuai norma-norma sosial maupun agama, mengandung unsur pornografi, atau konten-konten provokatif yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Di sisi lain kata dia, kehadiran konten-konten yang notabenenya menghasilkan profit ini tidak memberikan benefit apa pun bagi pendapatan negara.

“Ini yang membedakan antara media penyiaran seperti televisi yang selalu membayar pajak dan konten-kontennya yang menggunakan ruang publik bisa diawasi,” katanya.

Indonesia sebagai pasar terbesar ketiga dunia setelah Cina dan India di bidang teknologi informasi menjadi sasaran empuk para pelaku industri di media baru ini. Contohnya kata Irsal, kehadiran platform-platform penyedia layanan media streaming yang mendapat tempat di hati pemirsa Indonesia dan mendulang profit besar, tetapi tidak sedikit pun menyumbang pendapatan atau pajak bagi negara Indonesia.

Ia berharap isu media baru dan kebutuhan akan regulasinya ini dijadikan isu penting di kampus dan bisa melahirkan kajian-kajian ilmiah terkait hal tersebut, sehingga akan adanya perbincangan atas dasar akademik untuk perbaikan regulasi penyiaran. Menurut Irsal, pihak KPI masih terus berusaha agar ada regulasi media baru.

“UU No 32 Tahun 2002 itu hanya mengatur untuk televisi dan radio saja, sedangkan perkembangan sudah sangat pesat. UU ini bisa dibilang masih konvensional, sedangkan di negara lain sudah sangat progresif,” katanya lagi.

Dengan adanya regulasi tentang media baru ini kata dia akan menjadi dasar dalam melakukan pengawasan terhadap media baru khususnya dalam hal penerapan prinsip keadilan bagi pelaku industri media, prinsip keadilan antara TV konvensional dan layanan over the top (OTT) atau semua layanan ayang menggunakan medium internet untuk penyiarannya, perlindungan konsumen dari penyalahgunaan data, serta perlindungan konsumen dari konten yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia.

Kegiatan ini dihadiri para peserta yang berasal dari kalangan praktisi dan akademisi media dan komunikasi. Mereka turut menyuarakan kekhawatiran terhadap berbagai konten pada media baru yang merusak karakter dan norma sosial masyarakat serta sangat berharap adanya regulasi khusus dan media baru tersebut harus dikawal secara ketat. Mereka menyuarakan agar negara tidak boleh kalah dari content creator dan perusahaan media baru dari luar negeri.

Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry Dr. Mustafa. Dalam sambutannya ia berpesan kepada para pelaku media untuk kritis, kritik, dan rasional, serta penuh kedamaian. Para pengusaha media dan jurnalis perlu mencari strategi-strategi baru untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Ketua Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam, Saiful Akmal, mengusulkan agar kampus menjadi rumah atau think-thank bagi penyuaraan keadilan dalam dunia industri penyiaran dan media baru. Ia menyarankan KPI untuk menggandeng kampus menjadi mitra dalam penyusunan dan evaluasi indeks penyiaran dan media baru secara berkelanjutan.

“Invasi dan hegemoni asing melalui platform media baru perlu mendapatkan perhatian semua pemangku kepentingan untuk dikelola secara baik dan mengedepankan kepentingan generasi mendatang dan kedaulatan bangsa,” katanya. **/Red dari berbagai sumber/Editor: MR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.