Jakarta -- Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengungkapkan, banyaknya hoax di media sosial membuat publik lebih memilih media televisi sebagai tontonan utama. Di tengah kondisi darurat Covid-19, televisi memang pantas menjadi sumber informasi terdepan, berkualitas dan terpercaya.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI tahun 2019, jumlah stasiun televisi di Indonesia sebanyak 1.106. Angka ini membuktikan bahwa TV sebagai media mainstream masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam memperoleh informasi. Selain minat masyarakat pada televisi, media ini juga didukung adanya regulasi yang menaungi.
“Jangkauan sinyal internet yang tidak merata, membuat informasi lewat elektronik masih belum bisa mengalahkan eksistensi televisi di masyarakat,” kata Yuliandre saat mengisi diskusi berbasis daring yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas dengan tema “Pers Di Masa Pandemi” di Padang, Sumatera Barat, Selasa (14/7/2020).
Hasil riset Nielsen Media, mencatat akibat kebijakan tinggal di rumah sejak pertengahan Maret lalu, ternyata mempengaruhi kepemirsaan televisi. Bahkan, di Jakarta, kepemirsaan di segmen ini mencapai rating tertinggi yaitu 16 %. “Ini menjadi menarik karena penonton naik tapi pengiklan justru sepi,” kata Andre.
Presiden OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) Periode 2017-2018 ini menuturkan, KPI Pusat telah mengeluarkan imbauan untuk seluruh lembaga penyiaran terkait evaluasi muatan isi siaran selama masa pandemi Covid-19. Ada enam poin imbauan yang disampaikan KPI Pusat dalam surat imbauan bernomor 183/K/KPI/31.2/03/2020 diantaranya;
1. Komitmen lembaga penyiaran untuk lebih masif menyampaikan informasi pencegahan dan penanggulangan COVID-19 terutama tindakan social/physical distancing melalui ILM di setiap program yang disiarkan atau setiap jam sekali.
2. Memberikan contoh pelaksanaan social/physical distancing dengan tidak memuat program yang menampilkan visualisasi massa/penonton, baik secara live, tapping, maupun rekayasa editing kecuali diinformasikan secara jelas bahwa tayangan tersebut rekaman/recorded/re-run dalam bentuk running text atau caption di sepanjang penayangan program.
3. Menerapkan protokol pencegahan dan penanganan keamanan dalam bentuk physical distancing bagi host/presenter, kru penyiaran, jurnalis, narasumber, dan pendukung acara lainnya baik di dalam maupun di luar studio.
4. Mengingatkan kepada seluruh lembaga penyiaran agar patuh pada ketentuan terkait perlindungan anak-anak dan remaja dengan:
a) Memperhatikan ketersediaan program bagi anak pada pukul 05.00 hingga pukul 18.00 WIB dengan muatan, gaya penceritaan dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis anak-anak dan remaja;
b) selektif memilih materi tayangan agar tidak menstimulasi anak melakukan tindakan yang tidak semestinya ditiru atau dianggap lazim/lumrah seperti diberitakan akhir-akhir ini yaitu menikah pada usia muda, eksploitasi pernikahan dini, pengungkapan konflik rumah tangga, dan sebagainya;
c) Menampilkan konflik dan aksi/adegan kekerasan, bullying dalam rumah tangga, sekolah, dan lingkungan sosial lainnya;
d) membatasi adegan percintaan dan perselingkuhan.
5. Meminta lembaga penyiaran agar memperbanyak program siaran bertema pendidikan dan pembelajaran untuk membantu proses belajar mengajar anak di rumah.
6. Mengedepankan perbincangan yang konstruktif dan solutif dalam penanganan persebaran COVID-19 sebagai wujud kepedulian bersama.
Sementara itu, Redaktur Pelaksana Harian Republika, Subroto Kardjo mengatakan, banyak bisnis di Indonesia hancur dihantam dampak dari Covid-19 dan salah satunya industri media. Mulai dari dari media cetak, online, radio, dan televisi semuanya terdampak.
Menurutnya, berdasarkan pendataan yang dihimpun dari SPS terhadap 434 media hingga periode Mei 2020, sebanyak 50 persen perusahaan pers cetak telah melakukan pemotongan gaji karyawan dengan kisaran 2 hingga 30 persen. Sedangkan hasil pendataan dari 600 anggota Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) hingga Mei 2020 perusahaan radio sudah melakukan pemotongan gaji karyawannya sekitar 30 persen.
“Dunia pers sudah berusaha sekeras mungkin untuk melakukan penghematan dengan berbagai macam cara di tengah pandemi Covid-19,” katanya.
Lebih jauh, Subroto mengungkapkan, hasil dari jejak pendapat Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) terhadap 1.038 jurnalis dari 77 negara di bulan April 2020 bahwa selama pandemi corona kondisi reporter berita di seluruh dunia memburuk.
“Tiga dari empat jurnalis menghadapi berbagai larangan, halangan, dan intimidasi ketika meliput pandemi corona dan dua pertiga dari pegawai perusahaan media atau jurnalis lepas mengatakan mengalami pemotongan gaji sampai kehilangan pekerjaan,” tegas Subroto.
Akademisi Universitas Andalas, Dr. Wannofry Samry, menuturkan peran media massa diharapkan berujung pada perubahan perilaku masyarakat dalam menyikapi pandemi. Banyak berita yang terus menerus bermunculan dan membuat bingung masyarakat yang ingin mengikuti perkembangan virus ini.
Menurutnya, perkembangan industri 4.0 telah membawa dunia tanpa sekat. Dalam kondisi seperti ini, batas-batas itu jadi hilang. Jarak antara orang dalam komunikasi begitu dekat. “Komunikasi menjadi terbuka, transparan. Jadi menutupi sesuatu justru akan menjadi masalah. Sebab informasi itu datang dari berbagai arah, baik dari media massa maupun dari media sosial,” tutup Wannofry. */Foto: Agung R