Daulat Konten Lokal di Era Penyiaran Digital

oleh: Andi Muhammad Abdi

 

Konten lokal masih berwajah Janus. Janus dalam mitologi bangsa Romawi digambarkan sebagai dewa berwajah dua. Satu wajah menghadap ke depan, wajah yang lain menghadap ke belakang. Dalam konteks penyiaran, wajah depan menggambarkan asa mewujudkan konten lokal secara ideal, wajah belakang seolah menggambarkan konten lokal di daerah yang masih problematis. 

Konten lokal dalam terminologi Standar Program Siaran (SPS), merupakan siaran dengan muatan lokal yang mencakup program siaran jurnalistik, program siaran faktual dan non faktual dalam rangka pengembangan potensi daerah setempat serta dikerjakan dan diproduksi oleh sumber daya dan lembaga penyiaran setempat. 

Urgensi Konten Lokal

Urgensi lokalitas terhadap konten siaran diletakkan atas lima perspektif. Pertama, konten lokal sebagai amanah regulasi yang wajib ditunaikan. Kedua, konten lokal adalah gambaran wajah masyarakat di daerah. Ketiga, konten lokal berorentasi pengembangan potensi daerah. Keempat, konten lokal meneguhkan partisipasi kolektif dan Kelima, konten lokal mewujudkan pemberdayaan SDM lokal. 

Sebagai amanah regulasi, konten lokal diatur melalui Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). SSJ mewajibkan televisi induk jaringan yang berpusat di Jakarta membangun stasiun lokal atau anggota jaringan di daerah agar dapat menjangkau seluruh wilayah. Anggota jaringan wajib memuat konten lokal sedikitnya 10%, (Permenkominfo 6/2021).

Di samping itu, konten lokal adalah manifestasi realitas sosial yang terjadi. Konten lokal cerminan objektif kondisi masyarakat di daerah. Wajah bahagia dan nestapa masyarakat hanya dapat kita rasa bersama melalui tayangan yang dihasilkan oleh narasi dengan spirit lokalitas. Sebagai institusi sosial, tanggung jawab lembaga penyiaran sejatinya melayani kepentingan masyarakat di mana ia berizin atau beroperasi. 

Selanjutnya terkait pengembangan potensi daerah, konten lokal diarahkan untuk menggali kearifan budaya lokal dan mengekspos keunggulan daerah. Misi dan program pembangunan daerah perlu diedarkan secara masif dan intensif. Dalam konteks negara demokrasi dengan kondisi wilayah yang luas dan budaya yang beragam, kebijakan penyiaran yang berorientasi pada pengembangan penyiaran di daerah merupakan hal utama. Ini dilakukan untuk menjamin pengaturan dan penyelenggaraan media penyiaran yang berpihak pada kepentingan publik, terutama masyarakat di daerah-daerah (Berkowitz, 1984).

Kemudian dalam upaya meneguhkan partisipasi kolektif. Konten lokal wajib mengaktifkan dialog lintas sektor. Isu-isu penting yang bernilai dan menyangkut hajat kolektif diretas bersama oleh seluruh pemangku kepentingan di daerah. Konten lokal harus menjadi trigger yang menghubungkan pikiran dan perasaan seluruh elemen masyarakat agar berperan dalam berbagai persoalan serta kepentingan daerah. 

Terakhir, konten lokal bervisi pemberdayaan SDM lokal. Salah satu yang paling esensial dari konten lokal adalah harus diproduksi dan dikerjakan oleh SDM lokal. Konsekuensi dari ketentuan tersebut dapat merangsang lahirnya bakat profesional yang bergerak di sektor penyiaran maupun industri konten. Di waktu yang sama tentu memberi manfaat ekonomi kepada pemilik ataupun pekerja media lokal. 

Problematika Konten Lokal

Lantas bagaimana penerapan konten lokal saat ini? Secara umum ada sejumlah catatan terkait implementasi konten lokal di Kaltim. 

Pada aspek kuantitas, ketentuan 10% konten lokal telah ditunaikan oleh seluruh lembaga penyiaran televisi berjaringan. Namun secara kualitas, konten lokal yang dihadirkan belum sepenuhnya ideal. Terutama jika dilihat dari beberapa aspek, seperti seringnya program/materi siaran yang ditayangkan secara re run atau berulang. Pengulangan materi siaran yang sama bisa terjadi 10 hingga 20 kali dalam sebulan. Ditambah masih terdapat materi siaran ditayangkan di luar jam produktif atau sebelum pukul 05.00.

Di samping itu, format siaran yang ditetapkan kerap inkonsiten dengan sebaran program yang disajikan. Mayoritas siaran televisi berjaringan di Kaltim menetapkan format siaran umum. Memilih format siaran atau genre dengan kategori umum berimplikasi pada penggolongan mata acara seperti berita, pendidikan/kebudayaan, agama, olah raga, hiburan dan musik harus mendapat kuota siaran secara proporsional. Materi siaran seyogianya ditampilkan secara variatif melalui mata acara yang beragam. Namun proporsionalitas tersebut kenyataannya belum terealisasi sebagaimana seharusnya. 

Dari sisi aktualitas, masih terdapat konten siaran yang disiarkan merupakan produk lama, yang notabene diproduksi beberapa tahun silam. Sehingga nilai proximity dari siaran tersebut telah tereduksi dan kehilangan relevansi. 

Dari aspek SDM, masih terdapat materi siaran yang dikelola di luar SDM lokal alias diproduksi oleh SDM pusat. Bahkan beberapa televisi berjaringan belum memiliki SDM lokal yang secara khusus direkrut guna memproduksi konten lokal. SDM lokal kerap difungsikan hanya sebagai operator atau penjaga menara. 

Hal lain yang semakin melemahkan daulat publik tehadap konten lokal adalah terkait aspek kepemilikan. Merujuk data administrasi, hampir tidak ditemukan pengusaha lokal yang berstatus sebagai pemilik atau punya saham terhadap televisi berjaringan di daerah. Kalaupun ada perlahan telah diakuisisi oleh jaringan media berbasis di Ibu Kota yang pada gilirannya menggeser keberpihakan terhadap konten lokal. 

Merajut Asa di Era Penyiaran Digital

Menyambut penyiaran digital, optimisme akan konten lokal kembali menyala. Hal tersebut didasari oleh keunggulan sistem digital yang dapat menghemat frekuensi. Satu frekuensi analog yang tadinya terbatas hanya untuk satu televisi, pada teknologi digital dapat menampung lebih dari 10 televisi. 

Keberlimpahan frekuensi dalam sistem digital dinilai sebagai keniscayaan bertambahnya lembaga penyiaran baru. Hal ini berkelindan dengan semakin melimpahnya konten lokal yang dapat dinikmati oleh publik di daerah. Sumbangan konten lokal tersebut nantinya berasal dari lembaga penyiaran televisi publik/lokal, televisi komunitas, televisi swasta lokal dan televisi swasta berjaringan. 

Meski begitu, menyambut era penyiaran digital harus disertai kesiapan agar proses transisi membawa manfaat sesuai yang diramalkan. 

Dari sisi KPID menyiapkan pengawasan yang lebih kontekstual dan adaptif merupakan kebutuhan yang mendesak. Baik dari aspek SDM maupun teknologi pengawasan. Di samping itu demi terwujudnya konten lokal berkualitas perlu pemantapan melalui aspek regulasi, literasi dan survei. 

Kita butuh regulasi yang lebih tajam dan terukur terkait konten lokal. Pemenuhan konten lokal bukan sekadar aspek kuantitas saja, tapi dimensi kualitas juga wajib terpenuhi. Melalui regulasi yang memadai diharapkan dapat menjawab berbagai praktik konten lokal yang bermasalah, semisal pengulangan siaran dan penayangan siaran yang telah usang. Sehingga konten lokal ke depan punya mutu yang bermakna bagi kehidupan masyarakat daerah.  

Berikutnya, menggiatkan gerakan literasi media dengan strategi yang lebih membumi dan jaringan sekutu yang lebih luas. Literasi media selain mengedukasi juga perlu dirancang sebagai gerakan advokasi terhadap konten berbasis kebutuhan lokal. Dengan begitu partisipasi dan daya kritis masyarakat terhadap kualitas konten lokal terus bertumbuh. 

Disamping itu, perlu mendorong peningkatan kualitas konten lokal melalui kegiatan survei/riset. Riset indeks kualitas isi siaran yang rutin digelar KPI Pusat perlu direplikasi di daerah. Evaluasi konten lokal melalui riset dengan parameter UU, P3SPS serta pelibatan jejaring publik yang konsen terhadap isu penyiaran merupakan kebutuhan. Hasil riset nantinya wajib menjadi acuan untuk perbaikan.

Bisa dibayangkan jika penyiaran digital hanya sekadar ritual alih tekhnologi tanpa disertai perubahan kualitas. Keragaman konten yang sejatinya berkah akan menjadi petaka bagi masyarakat daerah. Ruang publik menjadi semakin sesak dan cedera. Daulat publik terhadap penyiaran akhirnya sebatas utopia belaka. 

Semoga era penyiaran digital membawa masyarakat daerah berdaulat dan bertuan di ranah penyiaran lokal. (Tulisan telah dimuat di Koran Disway Kaltim Tanggal 9 Agustus 2021)  

Penulis : Andi Muhammad Abdi

Jabatan : Komisioner KPID Kaltim

  

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.