Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Melalui Penyiaran

Ditulis oleh : 

Andi Muhammad Abdi, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Prov. Kalimantan Timur

 

Anak adalah tunas peradaban. Eksistensi anak yang berdaya dan terlindungi  merupakan investasi bagi kemajuan bangsa di kemudian hari. Dalam kaitan inilah penyiaran wajib berperan. 

Dalam UU 32/2002 tentang Penyiaran, anak yang terdiri dari anak-anak dan remaja, ditempatkan sebagai khalayak khusus. Kekhususan ini yang mendasari agar isi siaran senyawa dengan perlindungan, pemberdayaan dan pemenuhan hak anak. 

Konsep Pemberdayaan dan Perlindungan Anak 

Dari sisi pemberdayaan, penyiaran wajib melayani pengembangan mental, intelektual dan spiritual anak. Anak dari latar berbeda, baik dari sisi gender, agama, etnis, serta anak berkebutuhan khusus, harus mendapat akses untuk mengekspresikan dirinya. 

Lembaga penyiaran sejatinya memberi ruang yang memadai untuk menyokong pengembangan talenta, kreatifitas, imajinasi dan ragam potensi lainnya secara setara dan terarah. 

Sehingga ironis jika terdapat lembaga penyiaran yang inheren tanggung jawab sosial memberdayakan anak, dalam praktiknya justru memosisikan anak sebagai objek komodifikasi. Baik dalam konstruksi narasi maupun pelibatan anak sebagai talent siaran. 

Salah satu contoh, beberapa waktu yang lalu geger polemik sinetron "Suara Hati Istri: Zahra". Sinetron tersebut menuai kritik dari publik karena dinilai mengangkat soal perkawinan anak. Selain itu, pemeran utama yang berperan sebagai istri ketiga merupakan anak masih berusia 15 tahun. 

Memberi akses pada pengembangan bakat anak satu sisi patut diapresiasi. Tetapi menempatkan anak dalam peran yang tidak sesuai batasan usia dan kematangannya tentu kontrproduktif dan salah kaprah terhadap peran pemberdayaan. 

Adapun dari sisi perlindungan, anak wajib dilindungi karena posisi mereka terhadap tayangan sangat rentan. Anak belum memiliki daya tangkal dan kontrol diri serta batasan nilai. Dalam menonton kecenderungan anak bersifat pasif dan tidak kritis, akibatnya semua yang disaksikan dianggap nyata dan wajar. Anak sulit membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang patut ditiru dan sebaiknya diabaikan (Rusdin Tompo, 2007) 

Dalam penyiaran upaya perlindungan anak direpresentasikan melalui banyak norma dalam pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS). Mulai dari ketentuan pasal perlindungan kepada anak, program siaran tentang lingkungan pendidikan. Pelarangan dan pembatasan pada program seksualitas, kekerasan, mistik horor dan supranatural. Hingga Iklan dan program jurnalistik yang terdiri muatan kekerasan dan kejahatan, peliputan bencana serta pelibatan anak-anak dan remaja sebagai narasumber.  

Lebih lanjut kewajiban perlindungan ditegaskan melalui program siaran dan mata acara yang diatur harus pada waktu yang tepat. Termasuk wajib mencantumkan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

Diantaranya, klasifikasi P untuk siaran anak-anak pra sekolah usia 2-6 tahun, waktu tayang antara pukul 07.00-09.00 dan antara pukul 15.00-18.00. Klasifikasi A untuk siaran anak-anak usia 7-12 tahun, waktu tayang dari pukul 05.00-18.00. Dan klasifikasi R untuk siaran remaja untuk khalayak berusia 13-17 tahun, waktu tayang 05.00 hingga sebelum pukul 22.00 waktu setempat. 

Upaya pemberdayaan dan perlindungan kepada anak semakin menemukan urgensinya dengan mengacu realitas kekerasan anak yang masih subur dalam ragam bentuk. Berdasarkan data Dinas Kependudukan Pemberdayaan Anak dan Perlindungan Perempuan (DKP3A) Prov. Kaltim, update kekerasan terhadap anak per 9 Juli 2021 sebanyak 119 kasus. Kekerasan anak paling dominan pada kekerasan seksual sebanyak 58 kasus, disusul kekerasan psikis 28 kasus, kekerasan fisik sebanyak 26 kasus. Serta kasus lainnya. 

Sebelumnya, Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, telah mengafirmasi bahwa selama pandemi anak-anak banyak mengalami bentuk kekerasan. Senada dengan itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah mengungkapkan, eskalasi kekerasan anak selama pandemi merangkak naik. Kekerasan terbanyak didapati dari kedua orang tua, terutama oleh Ibu. Hal tersebut berdasarkan data survei terhadap 25.164 responden anak dan 14.169 orang tua yang dilakukan di 34 provinsi pada tahun 2020 lalu.

Peran Penyiaran

Kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun memberi dampak psikis yang menghambat tumbuh kembang mereka. Karena itulah insan penyiaran wajib berperan dalam mengedepankan kepentingan anak, baik dalam upaya perlindungan maupun pemberdayaan terhadap anak.

Pertama, Mengaktualkan fungsi penyiaran. Seluruh fungsi ideal penyiaran terutama sebagai sarana informasi dan edukasi harus diaktualkan. Investigasi dan penegakan hukum atas berbagai kasus anak harus diekspos secara optimal. Fungsi edukasi melalui ragam program siaran diarahkan untuk memberikan literasi terhadap berbagai hal yang mengancam eksistensi anak, misalnya dampak negatif media sosial. 

Dalam peran edukasi juga dapat bertujuan untuk mempersuasi dan membentuk persepsi masyarakat, khususnya orang tua, agar lebih peka, sadar dan peduli terhadap perlindungan dan pemberdayaan anak. 

Kedua, Membangun kesadaran regulatif. Lembaga penyiaran dan seluruh industri konten wajib memahami aturan main berkaitan dengan anak. Agar konten siaran anak senafas dengan visi kebijakan dan berbagai peraturan yang ada. Peraturan yang dimaksud antara lain UU Penyiaran, UU Perlindungan Anak, UU Pornografi dan regulasi lain beserta peraturan turunannya terkait anak. 

Di samping itu, dalam pra dan pasca produksi siaran penting melibatkan pandangan dari stakeholder yang konsen terhadap perlindungan anak. Di Kaltim, jejaring lembaga dan komunitas anak sangat beragam. Melibatkan mereka dalam kerja produksi konten siaran tentu akan menjadi keuntungan yang berharga. Harapannya program siaran yang ditelurkan sesuai mutu ramah anak dan jauh dari kesan eksploitasi serta pelanggaran. 

Ketiga, Membangun pengawasan progresif. Paradigma pengawasan yang secara langsung dilakukan oleh KPID Kaltim maupun pengawasan partisipatif yang bertumpu pada aduan masyarakat harus naik level. Jika selama ini orentasi pengawasan diarahkan untuk melacak pelanggaran. Maka kerja pengawasan ke depan harus melampaui hal tersebut. Pengawasan siaran terkait anak mesti berdasarkan komitmen dan spirit pemberdayaan.  

Program siaran harus merefleksikan kepentingan anak secara nyata. Isi siaran wajib bermuatan pemberdayaan anak yang mengarah pada upaya merangsang kreativitas, mengaktifkan imajinasi dan mengikat ide-ide penting dalam rangka mencerdaskan kehidupan anak. Manakala dalam pengawasan ditemukan program siaran (terutama bergenre anak) minus nilai pemberdayaan terhadap anak maka lembaga penyiaran tersebut wajib dievaluasi dan dilakukan pembinaan. 

Mewujudkan pemberdayaan junto perlindungan terhadap anak sejatinya bukan sekadar perintah regulasi maupun tuntutan profesi. Melainkan didasari panggilan hati nurani dan kesadaran menyiapkan generasi pengabdi. Semoga anak Indonesia semakin terlindungi, berdaya dan berjaya. *

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.