PENYIARAN MEDIA EDUKASI KEBENCANAAN

oleh : Rizky Wahyuni*

 

Siklon tropis Seroja terjadi di Indonesia memicu terjadinya bencana hidrometeorologi di sejumlah wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) awal April 2021. Minggu 4 April 2021 dini hari, terjadi peristiwa banjir bandang, tanah longsor, hingga, pohon tumbang di sejumlah wilayah. Kapal motor penumpang (KMP) berukuran cukup besar bahkan tenggelam akibat terombang-ambing ombak saat cuaca ekstrem terjadi. Setidaknya saat tulisan ini dibuat ada 128 orang tewas, 71 orang lainnya hilang dan 8.424 orang mengungsi.

Tahun 2021, meski baru dimulai kita disuguhkan dengan pemberitaan tentang musibah dan bencana silih berganti terjadi di Indonesia. Berbagai peristiwa beruntun terjadi peristiwa banjir di Kalimantan Selatan, longsor di Sumedang Jawa Barat, gempa di Majene Sulawesi Barat hingga jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 1.030 bencana alam terjadi di Indonesia mulai dari 1 Januari hingga 4 April 2021.

Bencana sendiri diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 mendefinisikan bencana terdiri dari bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Dan, bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Bencana yang terjadi di tahun 2021 kebanyakan adalah bencana hidrometeorologi atau bencana yang terjadi sebagai dampak dari fenomena meteorologi/alam. Bencana banjir menjadi peristiwa bencana alam yang paling mendominasi. BNPB mencatat bencana banjir terjadi 446 kali, puting beliung 258 kejadian, tanah longsor 207 kali. Kemudian, karhutla terjadi 89 kali, gempa bumi 16 kali, gelombang pasang dan abrasi 13 kali, dan kekeringan 1 kali. Menyebabkan 282 orang meninggal dunia, 4.355.049 terdampak dan mengungsi, 13 orang hilang serta 12.450 orang mengalami luka-luka. Menyebabkan 55.404 rumah rusak, 1.715 fasilitas rusak, 292 kantor dan 119 jembatan juga dilaporkan rusak.

Kejadian bencana sering terjadi di Indonesia karena a Indonesia berada pada Cincin Api Pasifik atau lingkar api pasifik (ring of fire). Keberadaan tersebut menjadikan Indonesia menghadapi resiko bencana alam seperti  letusan gunung berapi, gempa bumi, banjir dan tsunami. Menurut Prasetya dkk., (2006) berdasarkan catatan para ahli, sebanyak 81% gempa bumi besar terjadi di lintasan Cincin Api Pasifik ini. Sehingga tidak heran hampir setiap tahun diheaddline pemberitaan media massa kita selalu menyaksikan kejadian bencana silih berganti. 

Media penyiaran dalam kebencanaan

Dengan banyaknya kejadian bencana terjadi, media penyiaran masih dapat diandalkan menjadi media penyampai informasi kebencanaan.  Informasi disampaikan dapat mencakup prabencana berupa informasi prakiraan, terutama bencana yang dapat diprediksi seperti disebabkan oleh iklim (hidrometerologi) seperti angin puting beliung, hujan, banjir, dan lainnya. Disampaikan BNPB bahwa berkaitan dengan iklim, maka bencana tersebut bisa diprediksi. Sehingga langkah antisipasi sudah dapat disiapkan sebagai bagian dari edukasi prabencana.

Selain itu media penyiaran juga menjadi media yang sigap dalam menyampaikan terjadinya bencana dan saat tanggap darurat. Media penyiaran baik televisi dan radio setiap terjadi bencana sesegera mungkin memberitakan. Melalui breaking news, sekilas info maupun running text terutama televisi yang mengudara selama 24 jam memberikan informasi akan terjadinya bencana dimanapun berada dipenjuru tanah air. Pada kondisi pascabencana, media penyiaran tidak lepas dalam mengawal melalui pemberitaan maupun liputan khusus dilakukan.  Memastikan upaya cepat dan tepat pemerintah dalam mengatasi kejadian. 

Meskipun saat ini sumber informasi masyarakat semakin banyak, seperti media online dan media sosial. Namun, masyarakat masih tetap menunggu informasi disampaikan media penyiaran baik televisi maupun radio sebagi informasi valid terutama untuk mendapatkan update secara audio visual. Hidajanto Djamal & Andi Fachruddin (2013) mengatakan hal tersebut kerena media penyiaran mempunyai karakteristik yang unik atau spesifik dibandingkan dengan media cetak atau media massa lainnya. Melalui media penyiaran, informasi dapat diterima pemirsa secara langsung atau biasa disebut dengan real time atau live. Semua kejadian atau peristiwa dapat secara langsung pada saat yang sama didengar/dilihat oleh pendengar/pemirsa dengan cakupan populasi yang sangat luas dan efektif. 

Data Nielsen mengungkapkan bahwa penonton televisi masih pada urutan pertama dalam daftar konsumsi media masyarakat. Baru urutan berikutnya media sosial dan internet. Untuk itu peran media penyiaran dalam  penyiaran kebencanaan baik prabencana, tanggap darurat maupun pascabencana masih sangat relevan dibutuhkan masyarakat. Terutama dalam memberikan edukasi kebencanaan.

Dalam peran kebencanaanya media penyiaran memiliki berbagai fungsi dan peran. Penulis  membagi peran media penyiaran dalam kebencanaan setidaknya menjadi 4 bagian:

Pertama, sebagai sumber informasi cepat dan akurat.  Peran media penyiaran efektif dalam penyampaian penyebaran informasi kebencanaan. Dengan kekuatan 728  jumlah lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi yang tersebar di 34 provinsi  (Data Sistem Informasi Manajemen Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran (SIMP3) Kominfo, 2020 ), serta lebih dari 3000 radio yang tersebar di Indonesia. Ditambah dengan Biro maupun kontributor disetiap daerah. Menjadikan media penyiaran sebagai media yang dapat dengan cepat dan sistematis menyampaikan informasi menjangkau hingga kepelosok desa di Indonesia. 

Kecepatan informasi sampai ke masyarakat tentu dibarengi dengan akurasi atau kebenaran sumber informasi. Media penyiaran harus menyampaikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sangat besar pertaruhan media penyiaran jika memberikan informasi salah atau keliru karena langsung dapat diverifikasi kebenarannya oleh publik. Untuk itu, informasi disampaikan harus selalu benar berdasarkan fakta, merujuk pada sumber informasi dari intansi berwenang maupun dari posko-posko resmi pemerintah. Ini menjadi pembeda dengan media sosial yang kadang menyampikan informasi bukan dari pihak berwenang bahkan hanya mengandalkan informasi sekilas belum tentu valid atau hoax.

Selain sepat dan akurat, tidak kalah penting adalah pemahaman kebencanaan oleh awak media atau tim liputan di lapangan maupun di studio dalam penyiaran kebencanaan. Tingkat pemahaman awak media akan sebuah bencana menjadikan informasi yang disampaikan tidak hanya sekadar benar tapi juga memiliki rasa empati terhadap sebuah bencana yang terjadi. 

Kedua, sebagai media early warning system (EWS) terintegrasi. Anda pernah melihat di layar TV anda tiba-tiba muncul tulisan “…telah terjadi gempa pada pukul…. yang berpotensi tsunami di wilayah...” diikuti suara dengungan semacam sirine?  Itu merupakan salah satu early warning system terintegrasi yang pernah dilakukan oleh televisi  di Indonesia.  Hal tersebut mengacu pada Permen Kominfo RI No. 20/P/M.KOMINFO/8/2006 tentang Peringatan Dini Tsunami melalui lembaga penyiaran di seluruh Indonesia menyatakan bahwa ‘’Media berkewajiban menyiarkan informasi potensi terjadinya bencana sebagai STOP PRESS dalam waktu sesingkat-singkatnya tanpa ditunda sejak informasi diterima oleh BMKG’’. 

Dalam hal bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami televisi dan radio memegang peran sangat besar dalam menyampaikan peringatan dini ke masyarakat. Sepersekian detik setelah informasi diterima dari BMKG media penyiaran harus menyiarkannya kembali kepada publik. sehingga, bagian terpenting dalam mata rantai informasi yang disampaikan media penyiaran adalah penyiar. Penyiar harus dapat menyampaikan informasi peringatan dini terjadinya bencana secara langsung ke masyarakat dan dalam waktu secepat-cepatnya dalam artikulasi sebaik mungkin, terutama bencana gempa dan tsunami. Hal ini menghindari jatuhnya banyak korban dalam setiap kejadian bencana.

Ke depan kita akan memasuki era digitalisasi penyiaran. Multichannel yang akan hadir ditengah masyarakat dimungkinkan untuk salah satunya sebagai televisi beradaptasi dengan sistem peringatan dini bencana. Sehingga TVD nantinya mampu menyampaikan potensi bencana yang akan terjadi sebagai bagian dari early warning system.  Untuk menghindari kepanikan di masyarakat tentu saja harus pihak yang berwenang memberitahu potensi bencana tersebut. Hanya pihak memiliki otoritas dalam hal ini Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang dapat mengumumkan atau sebagai rujukan media penyairan. Atau Otoritas lain untuk bencana non alam atau bencana sosial.

Ketiga, sebagai media edukasi dan mitigasi. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.  Sampai saat ini, jika kita dalami memang media masih cenderung terfokus dan lebih banyak berperan pada upaya saat setelah terjadinya bencana. Padahal, dalam situasi prabencana, publik membutuhkan berbagai informasi bermanfaat tentang bagaimana mereka harus merespon berbagai macam gejala bencana.  Termasuk masyarakat membutuhkan informasi cara atau tindakan penyelamatan diri saat terjadi bencana. Dalam situasi seperti ini peran media menjadi sangat penting memberikan edukasi. Informasi tentang gejala alam serta peringatan dini resmi dari pemerintah melalui BMKG akan membantu publik melakukan tindakan penyelamatan diri cepat  dan tepat. Tentu saja akan meminimalisir resiko atau dampak maupun korban dari kejadian bencana.

Karena Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana, maka  masyarakat harus terus dibiasakan memahami potensi bahaya dan mitigasinya agar tetap dapat harmoni tinggal di wilayah ini. Peran edukasi dan mitigasi harus dilakukan oleh media penyiaran. Salah satu cara dapat dilakukan dengan membangun budaya sadar bencana. Media penyiaran mengangkat budaya sadar bencana ini melalui program-program yang digemari masyarakat dengan menyelipkan edukasi kebencanaan seperti pada program sinetron, varity show, jalan-jalan maupun program hiburan lainnya selain melalui program berita atau siaran jurnalistik. Lembaga penyiaran juga dapat memacu para sineas, content creator, production house mengangkat tema-tema penanggulangan bencana, melalui film maupun lagu-lagu yang dapat mengedukasi terutama anak-anak. 

Keempat, sebagai media trauma healing. Trauma adalah respon emosional terhadap kejadian yang buruk dan tindakan tidak menyenangkan seperti kecelakaan, kejahatan maupun bencana alam. Menurut Helpguide, emosi yang intens, membingungkan, dan menakutkan wajar terjadi pada anak-anak setelah menyaksikan langsung bencana alam. Trauma bisa timbul, entah karena mereka secara langsung mengalami peristiwa traumatis atau berulang kali melihat gambar-gambar media yang mengerikan setelah kejadian meski tidak mengalaminya secara langsung.  Ditengah rasa kekhawatiran dan ketakutan yang melanda atau disebut Post-Traumatic Syndrome Disorder (PTSD) menjadi sangat penting bagi anak-anak untuk mendapatkan pelayanan pemulihan, trauma healing. 

Untuk itu penting sekali media penyiaran menjadi sangat ramah bagi para korban bencana dengan tidak memberikan informasi yang akan menambah trauma dan penderitaan bagi para korban. Media penyiaran melalui perannya sebagai media informasi, edukasi dan hiburan harus mampu mengemas program yang dapat membantu pemulihan psikologis para korban bencana untuk bangkit kembali melalui siaran-siaran yang membangkitakan rasa optimisme dan harapan.  

Sejalan dengan itu, disampaikan Riski dkk (2011) penyampaian berita bencana harus berdasarkan etika dan nurani jurnalis agar pemberitaan oleh media televisi tidak berlebihan, namun sesuai fakta yang ada dan mampu menarik simpati khalayak yang menyaksikannya. Sama halnya seperti yang tertuang dalam aturan Komisi Pernyiaran Indonesia dalam Pedoman Prilaku Penyiaran dan standar program siaran (P3SPS).  Bagian Keempat tentang Peliputan Bencana Pasal 25 Lembaga Penyiaran dalam melakukan peliputan subjek yang tertimpa musibah wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya. 

Selain itu tegas disebutkan dalam aturan tidak menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/atau keluarga yang berada pada kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, dan/atau mengintimidasi korban dan/atau keluarganya untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya. Dalam aturan itu juga melarang lembaga penyiaran menyiarkan gambar korban dan/atau orang yang sedang dalam kondisi menderita hanya dalam konteks yang dapat mendukung tayangan.  

Selain tidak mengganggu pekerja tanggap darurat yang sedang bekerja menolong korban yang kemungkinan masih hidup. Ditekankan pada media penyiaran tidak menggunakan gambar dan/atau suara korban bencana dan/atau orang yang sedang dalam kondisi menderita dalam filler, bumper, ramp yang disiarkan berulang-ulang. Aturan ini dibuat agar tidak bertambahnya rasa traumatis bagi korban bencana maupun orang yang secara tidak langsung merasakannya.

Media pernyiaran menjadi salah satu bagian dari mata rantai sistem penangulangan bencana di Indonesia. Di tengah wilayah Indonesia yang memiliki banyak potensi bencana, tentu antisipasi dan penanggulangan risiko bencana tidak akan dapat dicapai tanpa dilakukannya edukasi masyarakat agar memiliki kesadaran kesiapsiagaan bencana. Edukasi itu adalah sebuah proses panjang, tidak instan dan perlu konsistensi semua pihak untuk mendukungnya termasuk peran lembaga penyiaran.

 

Rizky Wahyuni 

Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Provinsi DKI Jakarta

email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

*Tulisan telah dimuat di inews.id pada tanggal 7 April 2021 dengan judul yang sama.

https://www.inews.id/news/nasional/penyiaran-media-edukasi-kebencanaan

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.