Liberia - Kepolisian Liberia menutup stasiun radio Roots FM yang selama ini kerap mengkritik Presiden George Weah. Radio tersebut dituduh menghasut terjadinya kekerasan. Penutupan tersebut pun memicu aksi protes masyarakat, Kepolisian menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa yang menolak penutupan tersebut.

Roots FM dimiliki oleh Henry Costa, salah satu pemimpin kelompok yang mengorganisir protes jalanan anti-pemerintah pada 17 Juni lalu. Aksi tersebut sempat melumpuhkan beberapa wilayah ibu kota.

Costa kerap mengkritik Weah, mantan bintang sepak bola yang resmi menjadi presiden pada Januari tahun lalu.

Polisi anti huru-hara yang dilengkapi senjata mengepung gedung stasiun radio pada Kamis pagi. Akibatnya, para pekerja tidak bisa keluar-masuk kantor. Aparat juga menembakkan gas air mata ke pendukung stasiun radio yang berkumpul di luar.

Costa yang berada di Amerika Serikat, tempat ia biasa membuat siaran, menentang keras tindakan tersebut. "Ini hari yang sangat menyedihkan, tetapi saya dapat meyakinkan Anda bahwa kami tidak akan pernah bisa dibungkam," kata Costa dalam wawancara telepon kepada AFP.

Pengacara negara Liberia Cyrinus Cephus mengatakan stasiun radio itu mendorong orang-orang melakukan kekerasan dengan melawan pemerintah. "Mereka melakukan tindakan kriminal. Mereka menggunakan media untuk menyebarkan pesan yang menghasut warga Liberia," kata Cephus

"Mulai hari izin siaran Roots FM telah dicabut oleh pemerintah Liberia," kata Cyrinus Cephus pada konferensi pers.

Persatuan Pers  Liberia pekan lalu mengecam Roots FM dan Freedom FM, radio lainnya yang dimiliki oleh seorang pejabat pemerintah, karena selalu melontarkan hinaan kepada pemerintah melalui radio.

"Itu bukan jurnalisme dan menghancurkan citra jurnalisme yang baik di Liberia. Saya meminta pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap Roots FM dan Freedom FM," kata pimpinan Pers Persatuan Liberia Charles Coffey. Red dari https://africafeeds.com

Singapura -- Singapura berencana melarang iklan minuman yang mengandung kadar gula tinggi. Saat ini pemerintah Singapura berusaha menanggulangi diabetes di negara kota tersebut. Demikian dilaporkan Reuters, Kamis (10/10/2019).

"Minuman ringan tertentu dengan kadar gula tinggi dan jus akan diharuskan memiliki label kemasan 'tidak sehat',” kata Edwin Tong, Menteri Negara Senior Urusan Kesehatan, yang dikutip surat kabar Strait Times dan lembaga penyiaran Channel NewsAsia.

Tindakan Singapura tampaknya bergerak lebih jauh dibandingkan dengan tindakan Meksiko, Inggris dan Kanada yang membatasi kapan iklan buat minuman dan makanan tinggi-kalori dapat ditayangkan di televisi. "Larangan itu berlaku untuk seluruh televisi, media cetak, baliho dan saluran daring seperti jejaring media sosial," tulis Reuters.

Singapura merupakan negara yang memiliki angka diabetes paling tinggi di dunia, hal ini menyebabkan sebagian besar penduduknya menjadi lebih cepat tua dibandingkan dengan usia aslinya.

Wacana larangan ini direncanakan akan dilakukan pada tahun depan, sebelumnya Singapura telah membuat langkah lain untuk meningkatkan kesehatan warganya. Tepatnya pada tahun 2017, pemerintah mengatakan telah mendorong pembuat minuman ringan untuk mengurangi kadar gula yang dijual di negara tersebut. Selain minuman rokok juga telah menjadi target, dengan adanya larangan merokok di tempat-tempat umum yang dimulai sejak tahun 1970-an dan semakin berkembang dari waktu ke waktu.

Selain larangan untuk iklan minuman dengan kadar gula tinggi, pemerintah Singapura telah memberikan bea cukai atau pajak pada produsen dan importir, serta larangan pada penjualan minuman gula tinggi, kata Tong, Langkah ini merupakan langkah konkrit pemerintah Singapura untuk berperang melawan diabetes". Red dari Reuters.com

Bangkok - Beberapa pekan menjelang dilangsungkannya pemilihan umum, regulator telekomunikasi Thailand menangguhkan izin operasional sebuah stasiun televisi. Penangguhan tersebut dijatuhkan kepada Voice TV, setelah dua program acara di stasiun televisi itu dianggap memiliki kaitan dengan mantan perdana menteri yang digulingkan, Thaksin Shinawatra.

Dua program yang dimaksud adalah "Tonight Thailand" dan "Wake Up News". "Kedua program acara itu dituduh menyebarkan informasi yang menimbulkan kebingungan dan perpecahan publik," kata National Broadcasting and Telecommunications Commission (NBTC), Selasa (12/2/2019).

"NBTC memerintahkan kepada Voice TV untuk memperbaiki diri dengan penangguhan izin operasi selama 15 hari," ujar Perapong Manakit yang juga komisaris NBTC. Dikutip dari AFP, Voice TV diketahui dimiliki oleh dua anak Thaksin, yang digulingkan dalam kudeta pada 2006 dan hidup dalam pengasingan sejak 2008 untuk menghindari tuduhan korupsi yang disebut bermotif politis.

Sekretaris jenderal NBTC, Takorn Tantasith, mengatakan, pelanggaran yang dilakukan stasiun televisi itu dianggap bertentangan dengan undang-undang penyiaran yang berlaku di Thailand, khususnya pada bagian menyangkut keamanan nasional dan perdamaian serta ketertiban.

Beberapa episode yang disebut dalam surat perintah NBTC yakni yang menampilkan wawancara dengan dua kandidat perdana menteri dari partai Thaksin, Pheu Thai. Sementara, Pemimpin Eksekutif Voice TV, Mekin Petchplai, menyebut perintah penangguhan izin operasi itu tidak adil dan menyatakan akan mengajukan banding serta menuntut ganti rugi lebih dari 100 juta baht (sekitar Rp 44 miliar).

"Saat negara menuju pemilihan dalam beberapa pekan, (tindakan) ini harus dihentikan karena rakyat membutuhkan berita yang berkualitas dan menyeluruh untuk memberi informasi yang membantu mereka mengambil keputusan dalam pemungutan suara," kata Mekin. Voice TV sebelumnya juga pernah dua kali ditutup pada 2014, sebelum kudeta yang menggulingkan PM Yingluck Shinawatra dan pada 2017 lalu. Red dari www.bangkokpost.com

 

New York – Pakistan, Malaysia dan Turki menyepakati sebuah kerja sama untuk memerangi Islamophobia yang cenderung meningkat, terutama di negara-negara Barat. Kesepakatan itu dicapai dalam pertemuan trilateral tiga negara di sela sesi ke-74 Majelis Umum PBB di New York. Mengutip dari berita Anadolu Agency, pernyataan tersebut diperoleh dari kantor Perdana Menteri Pakistan, (26/9).

Pada pertemuan trilateral tersebut, dihadiri oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad. Ketika pemimpin negara tersebut membahas cara-cara untuk meningkatkan kerja sama dalam berbagai bidang, juga bertukar pandangan tentang perkembangan serta tren regional dan global.

Diantara keputusan strategis dalam pertemuan itu adalah, ketiga negara ini memutuskan untuk meluncurkan saluran TV yang didedikasikan untuk menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh Islamofobia.

"Presiden Erdogan, Perdana Menteri Mahathir, dan saya sendiri mengadakan pertemuan hari ini di mana kami memutuskan tiga negara kami akan bersama-sama memulai saluran TV berbahasa Inggris yang didedikasikan untuk menghadapi tantangan yang diajukan oleh Islamofobia dan meluruskan agama kami yang agung - Islam," ungkap Imran Khan dalam pernyataan yang disampaikannya lewat media sosial, twitter. 

"Kesalahpahaman yang menyatukan orang-orang melawan Islam akan diperbaiki; masalah penistaan akan dikontekstualisasikan dengan benar; serial dan film akan diproduksi tentang sejarah Muslim untuk mendidik / menginformasikan orang-orang kita sendiri & dunia; Muslim akan diberikan kehadiran media yang berdedikasi," ujar Khan. Sebelumnya para menteri luar negeri Pakistan, Malaysia dan Turki mengadakan pertemuan trilateral tingkat menteri pertama di sela-sela KTT OKI ke-14 di Jeddah pada 30 Mei lalu.

Semangat untuk menghadang Islamofobia melalui medium penyiaran digagas pula oleh forum regulator penyiaran negara-negara OKI, OIC-Broadcasting Regulatory and Authoriry Forum (IBRAF). Dalam pertemuan tahunan IBRAF ke-5 yang diselenggarakan di Bandung tahun 2017, dihasilkan Bandung Declaration on the Role of Media in Promoting Tolerance and  Combatting Terrorism and Islamophobia. Diantara poin deklarasi yang disampaikan oleh Presiden IBRAF saat itu, Yuliandre Darwis, adalah mendukung lembaga penyiaran untuk mengembangkan dan menerapkan kode etik untuk memerangi terorisme dan Islamofobia. Turki, Malaysia dan Pakistan juga  tergabung dalam keanggotaan IBRAF yang memilki sekretariat tetap di Turki. (Diolah redaksi dari berbagai sumber)

 

 

 

Seoul - Netflix kini dianggap sebagai layanan streaming andalan penggemar serial TV, termasuk oleh mereka yang tinggal di Korea Selatan. Meski Korea memiliki layanan streaming lokal, jumlah pengguna layanan Netflix terus meningkat setiap tahun di negara tersebut. Bahkan, hingga hampir menyentuh angka 900.000 pengguna di tahun 2018.

Rupanya, ini dianggap sebagai 'masalah' oleh para perusahaan penyiaran Korea Selatan. Mereka yang tak ingin pasarnya direbut oleh perusahaan AS itu pun bekerja sama untuk membuat layanan streaming yang tak kalah dengan Netflix.

Dilansir South China Morning Post, minggu lalu, tiga stasiun penyiaran terbesar Korea Selatan, yaitu MBC, KBS, serta SBS, meneken MoU bersama perusahaan telekomunikasi, SK Telecom, untuk membuat layanan streaming lokal terbesar. Rencananya, layanan ini akan diluncurkan pada 2019, meski belum ada keterangan soal tanggal peluncuran pasti maupun nama dari layanan tersebut.

Nantinya, seperti Netflix, layanan ini akan membuat konten tayangan orisinal, untuk kemudian dipasarkan ke luar negeri. Selain itu, mereka juga akan memanfaatkan layanan streaming lokal yang sudah ada, seperti Oksusu, Pooq, juga relasi mereka yang lain, untuk melancarkan bisnis mereka di pasar Asia.

Joseph Lim, pengamat sekaligus profesor jurusan teknologi dan entrepreneurship di Yonsei University mengatakan, langkah yang diambil oleh keempat perusahaan ini punya kemungkinan berhasil.

"Saya rasa, para konglomerat di Korea punya pengaruh dan kontrol yang cukup baik di industri hiburan Korea. Sehingga, mereka bisa mencoba mempertahankan pasarnya," sebut Joseph.

Langkah membuat layanan tandingan ini sebenarnya tidak asing dilakukan Korea Selatan. Sebab, mereka juga telah membuat layanan browsing Naver dan video interaktif V Live, yang dimaksudkan untuk menyaingi Google dan juga YouTube.

Namun, kini menarik untuk melihat langkah mereka dalam 'menanggulangi' Netflix. Sebab, awalnya, Netflix tidak dianggap sebagai ancaman di Korea Selatan. Saat mereka masuk ke negara itu pada 2016, Netflix tak begitu digemari, karena lebih banyak menyediakan konten asli Amerika.

Akan tetapi, pada 2018, Netflix mengembangkan bisnisnya dan menggelontorkan hingga 8 miliar dolar AS (sekitar Rp 100 miliar) untuk memproduksi konten-konten orisinal di berbagai negara. Netflix juga diketahui telah berinvestasi sangat besar dalam drama mega populer 'Mr. Sunshine', dan berencana untuk merilis film orisinal berjudul 'Kingdom' yang mengangkat tema zombie di era Korea kuno.

Di Indonesia sendiri, Netflix juga sudah mulai dinikmati oleh kalangan anak muda. Cukup banyak orang yang menggunakan layanan streaming tersebut, termasuk untuk mengakses konten-konten drama Korea, seperti 'Mr. Sunshine' dan 'Memories of the Alhambra' hingga tayangan variety show, 'Busted'. Red thedrum.com

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.