Banyuwangi - Momentum menyongsong migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital merupakan saat yang tepat untuk menata ulang proses perizinan dalam penyelenggaraan penyiaran. Hal-hal yang belum optimal saat proses perizinan analog, diharapkan dapat ditata lebih baik lagi. Apalagi model bisnis di era penyiaran digital nantinya akan menjadi lebih kompetitif dibanding sekarang. Salah satu contohnya, dalam satu cakupan wilayah, dimungkinkan hadir lembaga penyiaran swasta (LPS) antara enam puluh sampai tujuh puluh buah. Hal tersebut disampaikan oleh Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Azimah Subagijo, dalam Workshop KPI Pusat : Menata Sistem Penyiaran di Era Konvergensi Media, di Banyuwangi (25/8).

Selain itu, menurut Azimah, KPI juga berkepentingan menata sistem penyiaran di Indonesia secara keseluruhan. “Sebagai representasi publik, KPI harus memastikan kepentingan masyarakat yang diutamakan dalam penyiaran digital nanti,” ujarnya.

Dengan hadirnya banyak LP pada penyiaran digital ke depan, masyarakat haruslah mendapat manfaat yang optimal. “Bukan sekedar mendapat informasi yang membanjir lewat saluran-saluran televisi yang hadir dengan jumlah berlipat-lipat,” tuturnya. Namun juga terbukanya lapangan pekerjaan, tumbuhnya industri kreatif yang menopang industri penyiaran, perekonomian daerah yang berkembang, sumber daya manusia yang terserap di bursa kerja, serta kearifan lokal yang semakin mendunia lewat penyiaran. Kesemua ini, ujar Azimah, akan menjadikan masyarakat semakin produktif dan berdaya. Selain tentu saja, konten-konten penyiaran harus yang mencerahkan, tambahnya.

Penataan pada masa transisi dari analog ke digital ini diperlukan untuk mencegah kekurangan-kekurangan yang selama ini terjadi, tidak terulang ke depannya. Karenanya KPI berupaya menata sistem penyiaran ini sejak hulu, agar hanya lembaga penyiaran yang memiliki kapasitas baik yang mendapatkan amanah pengelolaan frekwensi. Selain itu, ketika sudah memperoleh izin, maka KPI juga berkewenangan melakukan pengawasan.

Kepada peserta workshop yang merupakan anggota KPI Daerah, Azimah mengimbau untuk dapat bersikap tegas pada lembaga penyiaran yang memohon izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Salah satunya dengan tidak mengeluarkan rekomendasi kelayakan pada pemohon IPP yang sejak awal terindikasi tidak dapat bertahan lama dalam bisnis penyiaran ini.

Sikap tegas ini, ujar Azimah, sebenarnya merupakan upaya KPI menjaga iklim persaingan usaha yang sehat  serta menjamin profesionalisme sebagaimana amanah Undang-Undang Penyiaran. Saat ini KPI Pusat sedang menyiapkan buku pedoman pelayanan perizinan penyiaran untuk menjadi panduan bagi komisioner KPI Pusat maupun daerah dalam memberikan layanan perizinan penyiaran yang prima.

 

Jakarta - Masyarakat Indonesia membutuhkan afirmasi positif dari televisi melalui program-program siaran yang hadir ke tengah mereka. Namun jika televisi justru hanya menyampaikan muatan BAJC (Blame, Accuse, Justify, Complain) maka yang tercipta juga masyarakat dengan memiliki kecenderungan negatif. Pernyataan ini disampaikan oleh Hery Margono dari Dewan Periklanan Indonesia (DPI) dalam acara Focus Group Discussion (FGD) tentang Format Siaran di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, (19/8).

Di awal penyampaian materi, Hery memaparkan kondisi demografis Indonesia. “Jumlah penduduk yang berpendidikan hingga sarjana hanya 9 persen, sedangkan yang berpendidikan SMA ke bawah sebanyak 91 persen” , ujarnya.  Dengan melihat kondisi ini, Hery menilai, format siaran televisi yang dibutuhkan masyarakat negeri ini adalah format pendidikan, informasi dan berita. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai edukasi dapat disebarluaskan ke masyarakat lebih banyak lagi. “Kalau ingin Indonesia maju, maka televisi harus mengutamakan format pendidikan”, tegasnya.  Karena kalau televisi lebih mengedepankan program hiburan seperti sinetron, itu hanyalah untuk short term,  yakni mengejar keuntungan. Padahal sekali lagi ditekankan Hery, masyarakat Indonesia butuh afirmasi atau penegasan positif dari televisi.

FGD ini sendiri merupakan upaya KPI untuk menata lembaga penyiaran mulai dari hulu. Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, Azimah Subagijo mengatakan, selama ini KPI sudah secara aktif mengawasi isi siaran, bahkan Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran juga menetapkan wewenang KPI tentang hal itu.

“Yang belum adalah upaya KPI menatanya dari awal proses perizinan”, ujar Azimah. Hal ini terlihat dari hanya sebagian kecil KPI Daerah yang mencantumkan format siaran dalam Rekomendasi Kelayakan yang mereka keluarkan. “Padahal pencantuman format siaran adalah perintah Undang-Undang”, tegasnya.

Dalam form pengajuan permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) sebenarnya ada kolom tentang format siaran. Namun sayangnya, tidak secara serius diberlakukan dengan melakukan verifikasi terhadap proposal yang diajukan lembaga penyiaran.

Azimah menilai, menentukan format siaran oleh lembaga penyiaran dalam proposal IPP jadi penting untuk meminta komitmen LP sejak awal tentang program-program yang akan disiarkan pada masyarakat. KPI berkewajiban untuk membandingkannya dengan Minat, Kepentingan dan Kenyamanan Publik (MKK) yang juga merupakan amanat regulasi. Jika ternyata format siaran yang dipilih atau diajukan lembaga penyiaran itu jauh dari harapan MKK, ini dapat menjadi alat ukur bagi KPI atas keberlangsungan lembaga penyiaran di daerah itu. Untuk itu, saat ini KPI sedang menata agar dalam setiap wilayah layanan, lembaga penyiaran yang hadir di sana mendekati dengan MKK masyarakat, dan dengan format siaran yang lebih bervariasi.

Sementara itu, Apni Jaya Putra, General Manager dari Kompas TV, pada kesempatan yang sama menyambut baik upaya KPI tersebut. Menurutnya upaya KPI ini sangat membantu lembaga penyiaran untuk bertahan hidup di tengah persaingan usaha yang sangat ketat. “Program siaran di TV saat ini sebenarnya supply-nya terlalu tinggi jika dibandingkan demand. Akibatnya program tersebut sulit mendatangkan iklan”, ujar Apni. Dirinya mencontohkan program-program tersebut adalah sinetron dan siaran bola. Jadi ketika KPI mengatur format siaran sejak awal pengajuan permohonan IPP, tentu saja itu dapat membantu pengelolaan bisnis lembaga penyiaran dalam memproduksi program siaran. 

 

Amiruddin (Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran saat menyampaikan materi di Forum Literasi Media, Sanggau 14 Agustus 2014)

 

 

Sanggau - Regulasi negara ini pasca 1999 memberi peluang untuk liberalisasi media. Sehingga terbuka kesempatan yang besar bagi masyarakat untuk memproduksi medianya sendiri. Namun demikian informasi yang meluap itu justru tidak terdapat di daerah perbatasan. Masyarakat di wilayah yang bersebelahan dengan negara tetangga itu justru mendapatkan siaran luar negeri yang meluber (spill over) hingga wilayah NKRI.  Hal tersebut disampaikan Amiruddin, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, dalam acara Forum Literasi Media  yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, di Sanggau (14/8).

Di kabupaten Sanggau yang memiliki tujuh kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini, memang belum memiliki televisi lokalnya sendiri. Keberadaan lembaga penyiaran berbayar (LPB) melalui kabel yang ada di Sanggau hingga saat ini masih illegal, karena belum mengurus proses perizinan melalui instansi yang berwenang. Sehingga kebutuhan informasi masyarakat di Sanggau, diberikan melalui radio-radio swasta, televisi nasional yang diakses melalui satelit, serta Radio Republik Indonesia.

Menurut Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sanggau, Yohannes Kitteng, hingga saat ini kabupaten Sanggau masih membutuhkan 70 tower-tower menara untuk mengcover daerah-daerah blank spot, sehingga hak informasi masyarakat di seluruh kabupaten Sanggau ini dapat terpenuhi.

Dengan kondisi yang ada di Sanggau saat ini, Amiruddin menyarankan agar pemerintah kabupaten Sanggau sebaiknya mendirikan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) untuk melayani kebutuhan informasi masyarakat. “Penyiaran di daerah perbatasan sesungguhnya memiliki fungsi diplomasi informasi”, ujar Amir. Hal ini juga untuk menjaga nasionalisme masyarakat di perbatasan yang sehari-hari berdampingan dengan negara tetangga yang secara ekonomi lebih sejahtera.

Dengan adanya LPPL ini, ujar Amir, informasi yang dikelola lembaga penyiaran tentu akan disesuaikan dengan kebutuhan dan minat masyarakat perbatasan lebih spesifik di bandingkan daerah lain. Amir menilai, seharusnya perjuangan dan kerja keras Tentara Nasional Indonesia dalam menjaga patok-patok perbatasan juga harus bisa tampil baik di televisi ataupun di radio. Selain juga potret masyarakat Indonesia yang tetap memilih menjadi warga negara Indonesia, meski dilingkupi hidup yang terbatas, padahal di negara tetangga dapat hidup lebih makmur. 

Informasi dan muatan siaran yang menguatkan ketahanan masyarakat dan meningkatkan nasionalisme tentunya harus dikelola dengan baik oleh semua pemegang kebijakan. Sehingga, melalui media penyiaran, masyarakat di perbatasan dapat merasakan kedekatan dengan saudara-saudara sebangsanya yang tinggal berjauhan. Sehingga dapat menangkal masuknya pengaruh-pengaruh negatif dari luar yang merusak, seperti separatisme, narkoba, trafficking, ataupun kejahatan lintas negara (trans national crimes).

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyelenggarakan Fokus Grup Diskusi (FGD) mengenai Format Siaran di kantor KPI Pusat, Selasa, 20 Agustus 2014, di kantor KPI Pusat, Jakarta. FGD ini diselenggarakan khusus oleh bidang infrastruktur penyiaran dan perizinan KPI Pusat. FGD tersebut turut mengundang stakeholder terkait dan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).

Nampak di atas deretan foto saat berlangsungnya FGD yang dipimpin Anggota KPI Pusat bidang Infrastruktur Penyiaran dan Perizinan, Azimah Subagijo, Danang Sangga Buana, dan Amirudin.

Cirebon - Masih banyak lembaga penyiaran pemohon izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) yang belum mengetahui tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Hal tersebut terungkap dalam acara Evaluasi Uji Coba Siaran provinsi Jawa Barat yang diikuti oleh 34 lembaga penyiaran , di Cirebon (10-12/7).
Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Azimah Subagijo, sempat kaget bahwa ternyata masih ada beberapa Lembaga Penyiaran di Jawa Barat yang belum mengetahui P3SPS. "Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) merupakan kitab yang harus senantiasa dipegang oleh Lembaga Penyiaran (LP) dalam menjalankan aktifitasnya. Isinya berupa hal-hal yang wajib dilakukan dan dilarang oleh LP dalam bersiaran." Ujar Azimah. Selain itu, P3SPS ini juga merupakan acuan acuan Lembaga Penyiaran agar Program Siaran yang mereka siarkan pada masyarakat baik mutunya dan bermanfaat.

Azimah menjelaskan, "fungsi Lembaga Penyiaran ada 6, yaitu untuk informasi pendidikan, hiburan yang sehat, perekat dan kontrol sosial, serta pendidikan dan kebudayaan. Perlu ada koridor regulasi untuk mengawal agar layak dan sesuai dengan nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat. Untuk itulah P3SPS penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh Lembaga Penyiaran." Atas kenyataan ini, maka Azimah meminta KPID Jawa Barat untuk menggiatkan sosialisasi hingga pelatihan kepada seluruh Lembaga Penyiaran, khususnya di Jawa Barat.

Sosialisasi mengenai P3SPS dapat dilakukan secara umum, tidak hanya masyarakat yang ingin mengajukan IPP, tetapi juga masyarakat umum. Sementara pelatihan dapat dilakukan secara berkala kepada Lembaga Penyiaran yang sudah memperoleh izin, maupun yang sedang memproses IPP.

Abdul Kholiq, Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Jawa Barat menyatakan bahwa sebenarnya KPID Jabar sudah secara rutin melakukan baik sosialisasi, maupun pelatihan P3SPS kepada masyarakat maupun pengelola Lembaga Penyiaran. Namun diakuinya, bahwa Lembaga Penyiaran yang sedang berproses IPP belum secara intens diberikan sosialisasi atau pelatihan P3SPS. Untuk itu, ke depannya masyarakat yang mengajukan permohonan IPP juga akan menjadi prioritas untuk diberikan pelatihan, minimal sosialisasi P3SPS.

Dalam kesempatan EUCS Provinsi Jawa Barat di Cirebon ini, hadir pula Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat, Bekti Nugroho, Ditjen PPI serta Ditjen SDPPI Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dan Balai Monitoring (Balmon) kelas ll Bandung.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.