Jakarta - Masyarakat Indonesia membutuhkan afirmasi positif dari televisi melalui program-program siaran yang hadir ke tengah mereka. Namun jika televisi justru hanya menyampaikan muatan BAJC (Blame, Accuse, Justify, Complain) maka yang tercipta juga masyarakat dengan memiliki kecenderungan negatif. Pernyataan ini disampaikan oleh Hery Margono dari Dewan Periklanan Indonesia (DPI) dalam acara Focus Group Discussion (FGD) tentang Format Siaran di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, (19/8).

Di awal penyampaian materi, Hery memaparkan kondisi demografis Indonesia. “Jumlah penduduk yang berpendidikan hingga sarjana hanya 9 persen, sedangkan yang berpendidikan SMA ke bawah sebanyak 91 persen” , ujarnya.  Dengan melihat kondisi ini, Hery menilai, format siaran televisi yang dibutuhkan masyarakat negeri ini adalah format pendidikan, informasi dan berita. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai edukasi dapat disebarluaskan ke masyarakat lebih banyak lagi. “Kalau ingin Indonesia maju, maka televisi harus mengutamakan format pendidikan”, tegasnya.  Karena kalau televisi lebih mengedepankan program hiburan seperti sinetron, itu hanyalah untuk short term,  yakni mengejar keuntungan. Padahal sekali lagi ditekankan Hery, masyarakat Indonesia butuh afirmasi atau penegasan positif dari televisi.

FGD ini sendiri merupakan upaya KPI untuk menata lembaga penyiaran mulai dari hulu. Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, Azimah Subagijo mengatakan, selama ini KPI sudah secara aktif mengawasi isi siaran, bahkan Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran juga menetapkan wewenang KPI tentang hal itu.

“Yang belum adalah upaya KPI menatanya dari awal proses perizinan”, ujar Azimah. Hal ini terlihat dari hanya sebagian kecil KPI Daerah yang mencantumkan format siaran dalam Rekomendasi Kelayakan yang mereka keluarkan. “Padahal pencantuman format siaran adalah perintah Undang-Undang”, tegasnya.

Dalam form pengajuan permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) sebenarnya ada kolom tentang format siaran. Namun sayangnya, tidak secara serius diberlakukan dengan melakukan verifikasi terhadap proposal yang diajukan lembaga penyiaran.

Azimah menilai, menentukan format siaran oleh lembaga penyiaran dalam proposal IPP jadi penting untuk meminta komitmen LP sejak awal tentang program-program yang akan disiarkan pada masyarakat. KPI berkewajiban untuk membandingkannya dengan Minat, Kepentingan dan Kenyamanan Publik (MKK) yang juga merupakan amanat regulasi. Jika ternyata format siaran yang dipilih atau diajukan lembaga penyiaran itu jauh dari harapan MKK, ini dapat menjadi alat ukur bagi KPI atas keberlangsungan lembaga penyiaran di daerah itu. Untuk itu, saat ini KPI sedang menata agar dalam setiap wilayah layanan, lembaga penyiaran yang hadir di sana mendekati dengan MKK masyarakat, dan dengan format siaran yang lebih bervariasi.

Sementara itu, Apni Jaya Putra, General Manager dari Kompas TV, pada kesempatan yang sama menyambut baik upaya KPI tersebut. Menurutnya upaya KPI ini sangat membantu lembaga penyiaran untuk bertahan hidup di tengah persaingan usaha yang sangat ketat. “Program siaran di TV saat ini sebenarnya supply-nya terlalu tinggi jika dibandingkan demand. Akibatnya program tersebut sulit mendatangkan iklan”, ujar Apni. Dirinya mencontohkan program-program tersebut adalah sinetron dan siaran bola. Jadi ketika KPI mengatur format siaran sejak awal pengajuan permohonan IPP, tentu saja itu dapat membantu pengelolaan bisnis lembaga penyiaran dalam memproduksi program siaran. 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyelenggarakan Fokus Grup Diskusi (FGD) mengenai Format Siaran di kantor KPI Pusat, Selasa, 20 Agustus 2014, di kantor KPI Pusat, Jakarta. FGD ini diselenggarakan khusus oleh bidang infrastruktur penyiaran dan perizinan KPI Pusat. FGD tersebut turut mengundang stakeholder terkait dan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).

Nampak di atas deretan foto saat berlangsungnya FGD yang dipimpin Anggota KPI Pusat bidang Infrastruktur Penyiaran dan Perizinan, Azimah Subagijo, Danang Sangga Buana, dan Amirudin.

Cirebon - Masih banyak lembaga penyiaran pemohon izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) yang belum mengetahui tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Hal tersebut terungkap dalam acara Evaluasi Uji Coba Siaran provinsi Jawa Barat yang diikuti oleh 34 lembaga penyiaran , di Cirebon (10-12/7).
Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Azimah Subagijo, sempat kaget bahwa ternyata masih ada beberapa Lembaga Penyiaran di Jawa Barat yang belum mengetahui P3SPS. "Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) merupakan kitab yang harus senantiasa dipegang oleh Lembaga Penyiaran (LP) dalam menjalankan aktifitasnya. Isinya berupa hal-hal yang wajib dilakukan dan dilarang oleh LP dalam bersiaran." Ujar Azimah. Selain itu, P3SPS ini juga merupakan acuan acuan Lembaga Penyiaran agar Program Siaran yang mereka siarkan pada masyarakat baik mutunya dan bermanfaat.

Azimah menjelaskan, "fungsi Lembaga Penyiaran ada 6, yaitu untuk informasi pendidikan, hiburan yang sehat, perekat dan kontrol sosial, serta pendidikan dan kebudayaan. Perlu ada koridor regulasi untuk mengawal agar layak dan sesuai dengan nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat. Untuk itulah P3SPS penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh Lembaga Penyiaran." Atas kenyataan ini, maka Azimah meminta KPID Jawa Barat untuk menggiatkan sosialisasi hingga pelatihan kepada seluruh Lembaga Penyiaran, khususnya di Jawa Barat.

Sosialisasi mengenai P3SPS dapat dilakukan secara umum, tidak hanya masyarakat yang ingin mengajukan IPP, tetapi juga masyarakat umum. Sementara pelatihan dapat dilakukan secara berkala kepada Lembaga Penyiaran yang sudah memperoleh izin, maupun yang sedang memproses IPP.

Abdul Kholiq, Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Jawa Barat menyatakan bahwa sebenarnya KPID Jabar sudah secara rutin melakukan baik sosialisasi, maupun pelatihan P3SPS kepada masyarakat maupun pengelola Lembaga Penyiaran. Namun diakuinya, bahwa Lembaga Penyiaran yang sedang berproses IPP belum secara intens diberikan sosialisasi atau pelatihan P3SPS. Untuk itu, ke depannya masyarakat yang mengajukan permohonan IPP juga akan menjadi prioritas untuk diberikan pelatihan, minimal sosialisasi P3SPS.

Dalam kesempatan EUCS Provinsi Jawa Barat di Cirebon ini, hadir pula Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat, Bekti Nugroho, Ditjen PPI serta Ditjen SDPPI Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dan Balai Monitoring (Balmon) kelas ll Bandung.

Amiruddin (Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran saat menyampaikan materi di Forum Literasi Media, Sanggau 14 Agustus 2014)

 

 

Sanggau - Regulasi negara ini pasca 1999 memberi peluang untuk liberalisasi media. Sehingga terbuka kesempatan yang besar bagi masyarakat untuk memproduksi medianya sendiri. Namun demikian informasi yang meluap itu justru tidak terdapat di daerah perbatasan. Masyarakat di wilayah yang bersebelahan dengan negara tetangga itu justru mendapatkan siaran luar negeri yang meluber (spill over) hingga wilayah NKRI.  Hal tersebut disampaikan Amiruddin, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, dalam acara Forum Literasi Media  yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, di Sanggau (14/8).

Di kabupaten Sanggau yang memiliki tujuh kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini, memang belum memiliki televisi lokalnya sendiri. Keberadaan lembaga penyiaran berbayar (LPB) melalui kabel yang ada di Sanggau hingga saat ini masih illegal, karena belum mengurus proses perizinan melalui instansi yang berwenang. Sehingga kebutuhan informasi masyarakat di Sanggau, diberikan melalui radio-radio swasta, televisi nasional yang diakses melalui satelit, serta Radio Republik Indonesia.

Menurut Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sanggau, Yohannes Kitteng, hingga saat ini kabupaten Sanggau masih membutuhkan 70 tower-tower menara untuk mengcover daerah-daerah blank spot, sehingga hak informasi masyarakat di seluruh kabupaten Sanggau ini dapat terpenuhi.

Dengan kondisi yang ada di Sanggau saat ini, Amiruddin menyarankan agar pemerintah kabupaten Sanggau sebaiknya mendirikan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) untuk melayani kebutuhan informasi masyarakat. “Penyiaran di daerah perbatasan sesungguhnya memiliki fungsi diplomasi informasi”, ujar Amir. Hal ini juga untuk menjaga nasionalisme masyarakat di perbatasan yang sehari-hari berdampingan dengan negara tetangga yang secara ekonomi lebih sejahtera.

Dengan adanya LPPL ini, ujar Amir, informasi yang dikelola lembaga penyiaran tentu akan disesuaikan dengan kebutuhan dan minat masyarakat perbatasan lebih spesifik di bandingkan daerah lain. Amir menilai, seharusnya perjuangan dan kerja keras Tentara Nasional Indonesia dalam menjaga patok-patok perbatasan juga harus bisa tampil baik di televisi ataupun di radio. Selain juga potret masyarakat Indonesia yang tetap memilih menjadi warga negara Indonesia, meski dilingkupi hidup yang terbatas, padahal di negara tetangga dapat hidup lebih makmur. 

Informasi dan muatan siaran yang menguatkan ketahanan masyarakat dan meningkatkan nasionalisme tentunya harus dikelola dengan baik oleh semua pemegang kebijakan. Sehingga, melalui media penyiaran, masyarakat di perbatasan dapat merasakan kedekatan dengan saudara-saudara sebangsanya yang tinggal berjauhan. Sehingga dapat menangkal masuknya pengaruh-pengaruh negatif dari luar yang merusak, seperti separatisme, narkoba, trafficking, ataupun kejahatan lintas negara (trans national crimes).

Jakarta - Pengurus Indonesia Cable TV Association (ICTA) berkunjung ke kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Presiden ICTA Faisal Irsyad mengatakan, kedatangan ke KPI untuk silaturhami dan perkenalan lembaganya yang baru dideklarasikan pada 14 Juni 2014.

“Terbentuknya asosiasi ini, karena menjamurnya TV Kabel di berbabagai daerah. Jadi kami rasa, kami selaku pelaku dan pelaksana TV Kabel di berbagai daerah di Indonesia membutuhkan asosiasi. Perlu diingat, peserta dalam asosiasi ini adalah pelaku, pemilik, dan pengusaha layanan TV Kabel yang berada di seluruh daerah, termasuk Jakarta,” kata Faisal di Ruang Rapat KPI, Kamis 26, Juni 2014.

Kunjungan ICTA diterima oleh Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Danang Sangga Buwana. Danang mengatakan, KPI selaku regulator penyiaran di Indonesia mengapresiasi terbentuknya asosiasi itu. 

Dari temuan KPI di daerah, menurut Danang, ditemukan ribuan layanan TV Kabel atau Lembaga Penyiaran Berlangganan yang belum memiliki izin resmi atau ilegal. “Dengan adanya asosiasi ini, kami berharap teman-teman bisa berkontribusi memberikan masukan dan arahan pada teman-teman di daerah akan pentingnya legalitas Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) Kabel ini,” ujar Danang.

Selain itu Danang juga menerangkan, pesatnya persaingan layanan TV Kabel saat ini membutuhkan wadah agar bisa menumbuhkan iklim bisnis yang sehat di Indonesia. Selain itu, menurut Danang, keberadaan ICTA bisa memberikan masukan terkait dengan layanan TV Kabel terkait konten dan jumlah kanal dari luar negeri yang didistribusikan ke pelanggannya.

Apalagi menurut Danang, momennya tepat, karena saat ini DPR masih dalam tahap revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Danang berharap, ICTA bisa memberikan masukan terkait dengan layanan televisi berlangganan dan mengupayakan ada pertemuan dengan DPR untuk membahas khusus tentang layanan penyiaran berlangganan. Ini sebagai bahan masukan untuk perundang-undangan penyiaran yang nanti diresmikan.

Asdar salah satu pengurus ICTA  mengatakan, layanan penyiaran berlangganan saat ini perlu mendapat perhatian dari DPR sebelum diresmikannya UU Penyiaran yang baru. Menurut Asdar, di banyak negara Asia, layanan televisi berlangganan sudah menjadi perhatian khusus, baik dari jumlah kanal yang didistribusikan hingga konten yang diwajibkan.

Asdar mencontohkan, bagaiamana India mengatur maksimal 20 kanal asing yang masuk di televisi berlangganan. Demikian juga dengan aturan yang mengharuskan menerjemahkan setiap siarannya dalam Bahasa India dan konten yang harus tidak melanggar norma-norma yang dianut masyarakat India.

“Bisa gak jumlah kanal di TV Kabel dibatasi pemerintah? Ini terkait dengan industri penyiaran lokal kita. Kalau ini tidak diatur dan tidak dibatasi, industri penyiaran kita akan dikuasi asing. Kemudian industri konten dalam negeri kita tidak akan bisa berkembang di negeri sendiri,” terang Asdar.

Bahkan Asdar juga menyorot keberadaan kantor perwakilan kanal televisi asing yang masuk Indonesia yang nayris tidak ada di Indonesia. Hal ini seperti kasus Blackberry yang sebelumnya tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia. “Itu terjadi karena sistem regulasinya belum mengaturnya. Semoga ke depan, untuk televisi berlangganan ini bisa diatur dalam undang-undang yang baru,” terang Asdar.

Danang menilai, dari dialog dan masukan dengan ICTA, memang perlunya regulasi yang menyeluruh terkait penyiaran, termasuk layanan TV berlangganan. KPI sebagai regulator dan bentuk dari representasi publik, ICTA bisa mengirimkan surat ke KPI terkait dengan layanan TV berlangganan, baik hal teknis hingga terkait regulasi, dan kondisi riil yang ditemukan di lapangan.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.