Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator penyiaran mulai tahun ini akan memberlakukan kewajiban pencantuman format siaran pada setiap proposal permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Hal ini mengingat pencantuman format siaran itu merupakan amanat dari Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran pasal 33 ayat(2). Hal tersebut disampaikan oleh Azimah Subagijo (Komisioner KPI Pusat bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran) dalam acara Diskusi Terbatas tentang Format Siaran di kantor KPI Pusat (11/11).
Azimah menilai pencantuman format siaran dalam proposal tersebut sangat penting. “Karena akan menjadi alat bagi KPI untuk menjaga keberagaman isi siaran yang diproduksi lembaga penyiaran”, ujarnya. Keragaman siaran tersebut tentunya merupakan hal yang sangat penting sebagai salah satu syarat terciptanya penyiaran yang demokratis. Selain itu, untuk menjaga hak publik, sekaligus menciptakan iklim penyiaran yang sehat sesuai dengan tujuan diselenggarakannya penyiaran seperti yang diamanatkan undang-undang.
Secara umum, ujar Azimah, pencantuman format siaran ini nantinya akan diatur berdasarkan genre siaran yang paling dominan hadir di lembaga penyiaran tersebut. “Atau dapat juga berdasarkan segmen pemirsa yang dituju”, tambahnya.
Jika berdasarkan genre, KPI dalam diskusi ini menawarkan 7 (tujuh) format siaran. Yaitu; umum, hiburan, berita, informasi, pendidikan, agama dan ragam permainan atau kuis. Sedangkan jika berdasarkan segmen pemirsa, pengelompokannya dapat berupa sex, usia, kelompok masyarakat. Azimah menjelaskan, nantinya pemberlakuan format siaran ini akan disinkronkan dengan hasil survey minat kepentingan dan kenyamanan publik (MKK) di setiap provinsi.
Dalam diskusi ini juga dihadiri oleh pemateri dari ANTV, Kiki Zulkarnain, serta komisioner KPI Pusat lainnya, Amiruddin dan Danang Sangga Buwana. Muncul pula pertanyaan pada diskusi ini mengenai kemungkinan terjadinya perubahan format siaran setelah dikeluarkannya izin penyelenggaran penyiaran, akibat faktor bisnis dan minat masyarakat yang berubah. Atas pertanyaan ini Azimah berpendapat, seharusnya lembaga penyiaran memperhitungkan, dalam rencana bisnisnya, tentang kecenderungan dan minat masyarakat. Termasuk pilihan format siaran yang akan dipilih nanti disesuaikan dengan lamanya izin penyelenggaraan penyiaran yang didapat. “Kalau di tengah jalan, pada periode izin tersebut, terhadi perubahan format lantaran pasar dan minat masyarakat yang berubah, jangan-jangan yang perlu dievaluasi itu adalah periode izin penyelenggaraan penyiaran yang 10 tahun untuk TV dan 5 tahun untuk radio, bukan format siarannya”, tegas Azimah.
Sebagai gambaran, televisi swasta yang sudah ada saat ini diatur oleh regulasi izinnya selama 10 tahun dan dapat diperpanjang. “Namun televisi yang sudah hadir di tengah masyarakat sebelum undang-undang penyiaran disahkan, rata-rata sudah bersiaran lebih dari empat belas tahun”, pungkasnya.
Tarakan - Salah satu problem yg dihadapi warga masyarakat lokal yang bermukim di sekitar kawasan perbatasan antar negara adalah akses informasi. Kehadiran UU Penyiaran, UU Pers, dan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), sejauh ini belum sepenuhnya dapat menjamin mereka mendapatkan akses informasi yang mudah dan bermanfaat bagi kebutuhan mereka sehari-hari. Selama ini distribusi informasi memang masih terkesan elitis, hanya berputar-putar di kawasan lain yang secara geo-politik dan geo-ekonomi sudah maju.
Sementara itu, mereka sesungguhnya sangat membutuhkan ketersediaan informasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pengembangan kultur politik dan sosial budaya daerahnya. Informasi itu sangat diperlukan menjadi energi bagi upaya mencairkan modal sosial, modal ekonomi, modal politik, dan modal budaya, yang secara kolektif sudah mereka miliki. Hanya saja, seluruh modal tadi belum banyak disentuh dengan strategi distribusi informasi yang kuat sehingga cenderung masih menjadi modal beku. Celakanya kalau kemudian modal-modal itu hanya disentuh oleh media lain dari negeri tetangga, maka bukan tidak mungkin dapat menyebabkan terbelahnya (segregasi) rasa kecintaan dan kebanggaan merekas sebagai WNI. Hal ini disampaikan Amirudin, Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran dalam forum Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dengan lembaga penyiaran di Tarakan, Kalimantan Utara (2/10).
Menurut Amir, sekalipun tugas membagi dan mendistribusi sumber-sumber informasi adalah menjadi tugas utama negara, tetapi karena penyiaran adalah lembaga ekonomi yang sekaligus institusi budaya yang menggunakan ranah publik, milik publik yang dikuasai negara, maka, setiap lembaga penyiaran yang berdiri di kawasan perbatasan kiranya terkena kewajiban pula untuk menjalankan fungsi integrasi, perekat, dan distribusi informasi. Bukan hanya itu, media juga wajib menjalankan fungsi diplomasi penyiaran dalam kerangka mengembangkan persaudaraan antarnegara melalui penyiaran, agar hubungan antarnegara berlangsung baik dan produktif di kawasan perbatasan antarnegara. “Lembaga penyiaran (LP) di kawasan perbatasan jangan sampai menyediakan informasi dan hiburan yang kalah kualitasnya dengan informasi dan hiburan yang disediakan media dari negari tetangga. Atau bahkan menyediakan informasi dan hiburan sampah yang dapat melunturkan rasa kebanggaan (dignity) dan kecintaan sebagai WNI. Inilah tantangan dan sekaligus peluang bagi LP yang berada di wilayah perbatasan,” tegasnya.
Amirudin menambahkan, diharapkan media yang berada di sana mau mengemban fungsi integrasi, dan sekaligus diplomasi penyiaran dalam kerangka mewujudkan penyiaran sebagai lembaga pemersatu, perekat hubungan antarnegara, pendistribusi informasi, dan penyedia hiburan yang bermanfaat sesuai kebutuhan kolektif masyarakat lokal di kawasan perbatasan.
Dalam forum tersebut Azimah Subagijo, Koordinator Bidang Pengelolaan Sruktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, juga menyampaikan hasil kajian Minat, Kenyamanan dan Kepentingan (MKK) Publik untuk Kabupaten Tarakan dan Kabupaten Tanjung Selor sebagai bahan pertimbangan pengembangan penyiaran di kawasan perbatasan. Diantaranya, dari 70 responden hasil survey MKK ditemukan bahwa media yang masih dibutuhkan masyarakat adalah televisi (65.7%), media online (21.4%), koran (8.6%), sisanya majalah dan radio. Sementara jenis program yang paling disukai berdasarkan urutan teratas adalah program siaran: hiburan, politik, sosial budaya, kriminalitas, hukum/korupsi, dan religi.
Kemudian acara dengan format acara politik, ekonomi, sosial budaya, hukum/korupsi, kriminalitas, religi dan dunia pertanian/perkebunan/perikanan yang paling diinginkan masyarakat adalah dalam bentuk format berita. Sementara format acara hiburan diinginkan hadir dalam bentuk film/sinetron. Lalu format acara anak, masyarakat masih menyukai program pencarian bakat. Dan untuk format acara olah raga, yang paling disukai adalah program pertandingan siaran langsung (live).
Mengupas kajian mengenai kepentingan penonton, secara kognitif untuk variabel program yang menambah pengetahuan dan memuaskan rasa ingin tahu masih menjadi perhatian bagi masyarakat. Secara afektif, peringkat tertinggi adalah variabel program yang diharapkan dapat memberikan informasi dan peringatan, lalu diikuti oleh program yang menghibur tanpa harus berfikir keras serta program yang dapat menyalurkan emosi. Kemudian, secara integratif atau edukatif, (1) masyarakat suka pada program yang dapat meningkatkan hubungan dengan Tuhan; (2) program yang berisi upaya untuk meningkatkan keterampilan, dan (3) program yang dapat meningkatkan daya kritis masyarakat.
Lebih lanjut kajian mengenai kenyamanan publik, (1) masyarakat masih antipati terhadap program yang mengandung unsur pornografi, cabul dan seronok; lalu (2) unsur pelecehan seks atau perkosaan; dan (3) tidak mendukung isi siaran yang mengandung unsur penistaan pada nilai-nilai agama, dan terakhir (4) juga tidak setuju dengan muatan yang mengandung kekerasan, baik verbal maupun nonverbal.
Dalam sambutannya, Idy Muzayyad, Wakil Ketua KPI Pusat mengatakan, sebagai provinsi baru masyarakat Kaltara memiliki hak yang sama untuk perolehan informasi yang layak dan benar, pendidikan, hiburan yang sehat, perekat dan kontrol sosial. Disamping ada fungsi ekonomi dan kebudayaan, sebab dari fungsi ini diharapkan lembaga penyiaran yang hadir nanti dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta melestarikan budaya lokal masyarakat Tarakan.
Kemudian Fajar Arifianto Isnugroho, Komisioner Bidang Kelembagaan juga menyinggung peran penting SDM lembaga penyiaran lokal yang terampil dan berpengalaman dari daerah. Ia menyarankan agar pelatihan SDM lembaga penyiaran lokal lebih ditingkatkan lagi, sebab hal ini berpengaruh langsung terhadap kualitas isi siaran yang disajikan.
Danang Sangga Buana, komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran mengamini pendapat semua komisioner di atas. Ia pun mengingatkan dampak negatif isi siaran yang disebabkan lunturnya komitmen lembaga penyiaran terhadap amanah UU Penyiaran. Ini akan berpengaruh pada proses produksi konten lokalnya. Apalagi Tarakan merupakan pintu utama wilayah perbatasan. “Bagaimana agar 10% tidak disi dengan siaran seperti Jakarta, tapi harus dengan program-program lokal yang dapat memperkukuh integrasi bangsa dan memperkuat NKRI sebagai suatu upaya serius yang menjadi tanggung jawab kita bersama,” ujar Danang. (Int)
Jakarta - Masyarakat Indonesia membutuhkan afirmasi positif dari televisi melalui program-program siaran yang hadir ke tengah mereka. Namun jika televisi justru hanya menyampaikan muatan BAJC (Blame, Accuse, Justify, Complain) maka yang tercipta juga masyarakat dengan memiliki kecenderungan negatif. Pernyataan ini disampaikan oleh Hery Margono dari Dewan Periklanan Indonesia (DPI) dalam acara Focus Group Discussion (FGD) tentang Format Siaran di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, (19/8).
Di awal penyampaian materi, Hery memaparkan kondisi demografis Indonesia. “Jumlah penduduk yang berpendidikan hingga sarjana hanya 9 persen, sedangkan yang berpendidikan SMA ke bawah sebanyak 91 persen” , ujarnya. Dengan melihat kondisi ini, Hery menilai, format siaran televisi yang dibutuhkan masyarakat negeri ini adalah format pendidikan, informasi dan berita. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai edukasi dapat disebarluaskan ke masyarakat lebih banyak lagi. “Kalau ingin Indonesia maju, maka televisi harus mengutamakan format pendidikan”, tegasnya. Karena kalau televisi lebih mengedepankan program hiburan seperti sinetron, itu hanyalah untuk short term, yakni mengejar keuntungan. Padahal sekali lagi ditekankan Hery, masyarakat Indonesia butuh afirmasi atau penegasan positif dari televisi.
FGD ini sendiri merupakan upaya KPI untuk menata lembaga penyiaran mulai dari hulu. Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, Azimah Subagijo mengatakan, selama ini KPI sudah secara aktif mengawasi isi siaran, bahkan Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran juga menetapkan wewenang KPI tentang hal itu.
“Yang belum adalah upaya KPI menatanya dari awal proses perizinan”, ujar Azimah. Hal ini terlihat dari hanya sebagian kecil KPI Daerah yang mencantumkan format siaran dalam Rekomendasi Kelayakan yang mereka keluarkan. “Padahal pencantuman format siaran adalah perintah Undang-Undang”, tegasnya.
Dalam form pengajuan permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) sebenarnya ada kolom tentang format siaran. Namun sayangnya, tidak secara serius diberlakukan dengan melakukan verifikasi terhadap proposal yang diajukan lembaga penyiaran.
Azimah menilai, menentukan format siaran oleh lembaga penyiaran dalam proposal IPP jadi penting untuk meminta komitmen LP sejak awal tentang program-program yang akan disiarkan pada masyarakat. KPI berkewajiban untuk membandingkannya dengan Minat, Kepentingan dan Kenyamanan Publik (MKK) yang juga merupakan amanat regulasi. Jika ternyata format siaran yang dipilih atau diajukan lembaga penyiaran itu jauh dari harapan MKK, ini dapat menjadi alat ukur bagi KPI atas keberlangsungan lembaga penyiaran di daerah itu. Untuk itu, saat ini KPI sedang menata agar dalam setiap wilayah layanan, lembaga penyiaran yang hadir di sana mendekati dengan MKK masyarakat, dan dengan format siaran yang lebih bervariasi.
Sementara itu, Apni Jaya Putra, General Manager dari Kompas TV, pada kesempatan yang sama menyambut baik upaya KPI tersebut. Menurutnya upaya KPI ini sangat membantu lembaga penyiaran untuk bertahan hidup di tengah persaingan usaha yang sangat ketat. “Program siaran di TV saat ini sebenarnya supply-nya terlalu tinggi jika dibandingkan demand. Akibatnya program tersebut sulit mendatangkan iklan”, ujar Apni. Dirinya mencontohkan program-program tersebut adalah sinetron dan siaran bola. Jadi ketika KPI mengatur format siaran sejak awal pengajuan permohonan IPP, tentu saja itu dapat membantu pengelolaan bisnis lembaga penyiaran dalam memproduksi program siaran.
Banyuwangi - Momentum menyongsong migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital merupakan saat yang tepat untuk menata ulang proses perizinan dalam penyelenggaraan penyiaran. Hal-hal yang belum optimal saat proses perizinan analog, diharapkan dapat ditata lebih baik lagi. Apalagi model bisnis di era penyiaran digital nantinya akan menjadi lebih kompetitif dibanding sekarang. Salah satu contohnya, dalam satu cakupan wilayah, dimungkinkan hadir lembaga penyiaran swasta (LPS) antara enam puluh sampai tujuh puluh buah. Hal tersebut disampaikan oleh Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Azimah Subagijo, dalam Workshop KPI Pusat : Menata Sistem Penyiaran di Era Konvergensi Media, di Banyuwangi (25/8).
Selain itu, menurut Azimah, KPI juga berkepentingan menata sistem penyiaran di Indonesia secara keseluruhan. “Sebagai representasi publik, KPI harus memastikan kepentingan masyarakat yang diutamakan dalam penyiaran digital nanti,” ujarnya.
Dengan hadirnya banyak LP pada penyiaran digital ke depan, masyarakat haruslah mendapat manfaat yang optimal. “Bukan sekedar mendapat informasi yang membanjir lewat saluran-saluran televisi yang hadir dengan jumlah berlipat-lipat,” tuturnya. Namun juga terbukanya lapangan pekerjaan, tumbuhnya industri kreatif yang menopang industri penyiaran, perekonomian daerah yang berkembang, sumber daya manusia yang terserap di bursa kerja, serta kearifan lokal yang semakin mendunia lewat penyiaran. Kesemua ini, ujar Azimah, akan menjadikan masyarakat semakin produktif dan berdaya. Selain tentu saja, konten-konten penyiaran harus yang mencerahkan, tambahnya.
Penataan pada masa transisi dari analog ke digital ini diperlukan untuk mencegah kekurangan-kekurangan yang selama ini terjadi, tidak terulang ke depannya. Karenanya KPI berupaya menata sistem penyiaran ini sejak hulu, agar hanya lembaga penyiaran yang memiliki kapasitas baik yang mendapatkan amanah pengelolaan frekwensi. Selain itu, ketika sudah memperoleh izin, maka KPI juga berkewenangan melakukan pengawasan.
Kepada peserta workshop yang merupakan anggota KPI Daerah, Azimah mengimbau untuk dapat bersikap tegas pada lembaga penyiaran yang memohon izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Salah satunya dengan tidak mengeluarkan rekomendasi kelayakan pada pemohon IPP yang sejak awal terindikasi tidak dapat bertahan lama dalam bisnis penyiaran ini.
Sikap tegas ini, ujar Azimah, sebenarnya merupakan upaya KPI menjaga iklim persaingan usaha yang sehat serta menjamin profesionalisme sebagaimana amanah Undang-Undang Penyiaran. Saat ini KPI Pusat sedang menyiapkan buku pedoman pelayanan perizinan penyiaran untuk menjadi panduan bagi komisioner KPI Pusat maupun daerah dalam memberikan layanan perizinan penyiaran yang prima.
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyelenggarakan Fokus Grup Diskusi (FGD) mengenai Format Siaran di kantor KPI Pusat, Selasa, 20 Agustus 2014, di kantor KPI Pusat, Jakarta. FGD ini diselenggarakan khusus oleh bidang infrastruktur penyiaran dan perizinan KPI Pusat. FGD tersebut turut mengundang stakeholder terkait dan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).
Nampak di atas deretan foto saat berlangsungnya FGD yang dipimpin Anggota KPI Pusat bidang Infrastruktur Penyiaran dan Perizinan, Azimah Subagijo, Danang Sangga Buana, dan Amirudin.
Judul film series ini tidak elok/tidak pantas untuk dijudulkan "Jangan BERCERAI Bunda" untuk kata bercerai pada keluarga tidak elok di jadikan judul film.. apalagi nanti iklan-iklan cuplikan film itu diputar di tv siaran lokal yg ditonton oleh semua umur,termasuk balita,anak-anak,remaja,dewasa,dan orang tua. Alangkah buruknya klo anak melihat dan mendengar kata-kata itu.akan terbiasa untuk anak-anak dan remaja dengan istilah "BERCERAI". mohon dirubah untuk bahasa BERCERAI tersebut dengan BERPISAH, Atau "JANGAN PISAHKAN BUNDA"
Semoga KPI bisa lebih bijak melihat permasalahan ini. Terimakasih.
Pojok Apresiasi
Arianto
Bagi saya, T Buster ini menganggu jadwal tayang Doraemon yang dulu dari jam 8:00 sampai 9:00 pagi.
Untuk saya sepertinya RCTI lagi Mata duitan dan seharusnya Acara T Buster lebih tepat di tayang kan pada jam 6 pagi atau jam 3 sore atau Acara T Buster diganti Acara Ninja Hatori biar nyambung. Mohon maaf dengan ucapan saya wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarokaatuh.