Jakarta – Optimalisasi radio dalam Pemilihan Umum tahun 2014 dinilai banyak pihak mampu mendongkrak tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut dalam pesta demokrasi lima tahun sekali tersebut. Namun demikian, pengoptimalan radio harus disertai dengan informasi yang baik, mendidik, berimbang, adil dan proposonal terutama dalam menyosialisasikan prosesi Pemilu 2014.

Anggota KPI Pusat, Idy Muzayyad, salah satu narasumber acara Bincang Ramadhan yang diselenggarakan PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) di Hotel Ambhara, Rabu sore, 17 Juli 2013 menyatakan, peran radio dalam Pemilu mendatang sangat penting karena ini bagian dari hak dan juga kewajiban. Hak artinya radio memang berhak mendapatkan dan menyiarkan segala informasi mengenai Pemilu, begitu pula dengan kewajiban karena memang setiap media wajib menyiarkannya.

“Hak ini juga milik publik. Mereka juga berhak mendapatkan informasi mengenai Pemilu dengan informasi yang adil dan berimang,” katanya.

Menurut Idy, upaya optimalisasi media khususnya radio ada kaitan dengan tingkat elektabilitas atau angka keikutsertaan pemilih dalam pemilihan umum mendatang. Pasal, tren yang terjadi sekarang, dibeberapa Pilkada, angka keikutsertaan pemilihan kepala daerah mengalami gejala penurunan alias golput (istilah bagi yang tidak ikut Pemilu di Orba). “Posisi media dalam hal ini sangat penting untuk mendongkrak angka partisipasi. Apalagi jumlah radio yang ada dalam naungan PRSSNI kurang lebih 750 radio,” katanya yang juga disaksikan Komisioner KPI Pusat 2013-2016, Judhariksawan, Agatha Lily, dan Amirudin.

Dalam kaitan siaran Pemilu, Idy berpesan agar setiap radio menaati aturan yang berlaku seperti memberikan kesempatan yang sama bagi peserta Pemilu untuk beriklan dan dalam menggunakan media tersebut. “Jangan ada diskriminasi meskipun pemilik lembaga penyiaran tersebut berafiliasi dengan partai politik tertentu,” jelasnya.

Ferry Kurnia Rizkiansyah, Anggota KPU, salah satu narasumber acara bincang tersebut mengatakan, media dalam hal ini radio berperan penting dalam proses meningkatkan angka pemilih dalam Pemilu mendatang. Dirinya tidak menampik jika angka keikutsertaan pemilih di beberapa Pilkada mengalami penurunanmeskipun di sejumlah daerah angkanya stabil.

“Saat ini, KPU sedang mengumpulkan data pemilih sementara dan kita sudah mendapatkan angka yang masuk yaitu 110 juta pemilih. Tapi itu baru data pemilih sementara. Dalam kaitan itulah kita butuh dukungan radio untuk memberikan dan mengoptimalikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai Pemilu mendatang, ”kata mantan Ketua KPU Daerah Jawa Barat tersebut.

Sementara itu, Ketua PRSSNI, Rohmad Hadiwijoyo menyatakan, optimalisasi fungsi dan peran radio sangat mungkin mengangkat angka pemilih dalam Pemilu mendatang. Saat ini, jumlah radio swasta yang tergabung dalam PRSSNI berjumlah 758 stasiun radio yang tersebar di 29 provinsi, menjangkau 329 kabupaten serta 446 kota di seluruh Indonesia.

“Ini sarana yang cukup strategis dan potensial untuk menyukseskan Pemilu di Indonesia. Salah satu kuncinya, media radio sangat lokal dan punya kedekatan personal dengan masyarakat atau audiensnya.” Katanya dalam siaran pers yang dikeluarkan PP PRSSNI. Red

 

Jakarta - Proses rekruitmen anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2013-2016 diawali dengan bersuratnya KPI Pusat kepada DPR-RI tentang masa tugas KPI Pusat 2010-2013 yang akan habis per 25 Mei 2013.  Berdasarkan surat tersebut, Komisi I DPR-RI membentuk panitia seleksi KPI Pusat yang dibantu fasilitasi oleh kesekretariatan KPI.  KPI memberikan usulan 25 nama kepada Komisi I DPR untuk menjadi panitia seleksi, yang terdiri atas akademisi, budayawan, pengamat dan praktisi media, psikolog dan organisasi masyarakat. Hal tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto, guna menerangkan prosedur yang ditempuh KPI dalam proses rekruitmen komisioner 2013-2016.

Selanjutnya, dikatakan Riyanto, oleh Komisi I, dari ke-25 nama ini kemudian dipilih 5 orang untuk menjadi panitia seleksi, yang terdiri atas berbagai unsur masyarakat tersebut. Namun dalam perjalanannya, dari 5 nama yang ditentukan oleh Komisi I, ada yang mengundurkan diri sehingga terjadi dua kali pergantian personil panitia seleksi. Pada akhirnya dengan tiga nama sebagai panitia seleksi, yakni Mochamad Riyanto, Muhammad Ichwan Syam dan Edi Lisdiono, Komisi I DPR memutuskan proses rekruitmen KPI Pusat terus dilanjutkan.  Diantara nama-nama yang diusulkan KPI adalah Elly Risman, Maria Hartiningsih, Inke Marris, Ahmad Sobary dan Ashadi Siregar, namun semuanya mempunyai kendala sehingga tidak dapat menjadi anggota panitia seleksi.

Selama proses rekruitmen, Panitia Seleksi selalu melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Komisi I DPR. Mengingat pada dasarnya, ujar Riyanto, Panitia Seleksi hanyalah kepanjangan tangan dari Komisi I DPR untuk melakukan fasilitasi kegiatan tim seleksi administrasi calon anggota KPI Pusat untuk masa jabatan tahun 2013-2016.Bahkan, ujar Riyanto, dalam proses pembuatan soal tertulis dan pemberian penilaian pun, panitia seleksi meminta pihak lain untuk melakukannya. Sehingga panitia seleksi tinggal menerima hasil ujian tertulis dan mengomparasinya dengan beberapa aspek lain untuk menghasilkan 27 nama calon yang diajukan ke Komisi I DPR. Dalam tes psikologi, hasilnya pun langsung disampaikan sekretaris KPI kepada Komisi I DPR untuk melengkapi referensi dalam tahapan rekruitmen selanjutnya.

Terkait proses yang dilakukan oleh calon petahana, Riyanto menegaskan, sebenarnya mereka tetap mengikuti prosedur yang ada, dimulai dengan pemberkasan administratif, tes psikologi dan uji kepatutan dan kelayakan. “Tidak ikutnya calon petahana dalam uji tertulis, sesuai dengan pedoman rekruitmen dari KPI yang juga digunakan dalam proses rekruitmen di seluruh KPID se-Indonesia”, ujar Riyanto.  KPI sendiri sudah menyampaikan adanya peraturan tersebut (Peraturan KPI tentang Pedoman Rekrutmen KPI 02/P/KPI/04/2011 Pasal 7 ayat (7)  yang sudah didaftarkan pada Berita Negara Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2012), kepada Komisi I DPR. Peraturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, pasal 10 yang berbunyi: anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan KPI Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.

Riyanto sendiri berharap, dalam proses rekruitmen anggota KPI ke depan, pelibatan masyarakat harus ada sejak proses awal. Dirinya bahkan mengusulkan adanya mekanisme tracking atas rekam jejak seluruh calon yang mendaftar di KPI, sehingga masyarakat dapat mengetahui latar belakang dan kiprah mereka sebelum mengajukan diri sebagai anggota KPI.

KPI menghargai seluruh masukan yang datang dari berbagai elemen masyarakat. Saat ini, ujar Riyanto, proses sedang berada di Komisi I DPR yang memiliki otoritas penuh dalam menentukan 9 nama yang menjadi anggota KPI Pusat periode selanjutnya. Riyanto berharap, fasilitasi yang dilakukan panitia seleksi ini dapat menghasilkan komisioner KPI Pusat yang berintegritas dan memiliki pembelaan yang kuat atas kepentingan bangsa di dunia penyiaran.

Jakarta – Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI memenuhi undangan dari KPI Pusat untuk mengklarifikasi perihal penayangan acara “Muktamar Khilafah 2013” di stasiun televisi tersebut pada hari Kamis, 6 Juni 2013, pekan lalu. Seperti yang banyak dituliskan di sejumlah media dan juga dikeluhkan publik ke KPI, isi tayangan acara tersebut dinilai tidak sesuai dengan prinsip yang di emban TVRI sebagai televisi milik publik yang berkewajiban menjaga demokrasi, nilai kebhinekaan, serta persatuan dan kesatuan di Indonesia.

Klarifikasi yang disampaikan perwakilan TVRI yang diwakili oleh Direktur Program dan Berita, Irwan Hendarmin, Senin, 10 Juni 2013, di kantor KPI Pusat, menyebutkan pihaknya tidak ada maksud atau juga tujuan untuk melanggar prinsip-prinsip yang disebutkan di atas. Karena itu, TVRI memohon maaf kepada semua pihak dan masyarakat Indonesia atas kesalahan tersebut. “Ini pelajaran bagi kami ke depan,” katanya di depan komisioner KPI Pusat yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Sebelumnya, di awal pertemuan tersebut, Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suyanto, menyampaikan maksud dan tujuan dari pertemuan. Setelah itu, dia mempersilahkan sejumlah Komisioner KPI Pusat seperti Nina Mutmainnah, Judhariksawan, Idy Muzayyad, dan Azimah Soebagijo menyampaikan pertanyaan dan pendapatnya mengenai isi tayangan acara yang dipersoalkan. Semua komisioner menilat isi tayangan yang disiarkan TVRI sangat berbahaya dan bertentangan dengan azas dan nilai kebangsaan serta UU Penyiaran.

Idy Muzayyad misalnya, sampai harus memberikan pernyataan keras kepada TVRI untuk tidak mengulangi lagi kejadian seperti ini. Menurutnya, TVRI harus lebih teliti dan hati-hati dalam menerima dan menayangkan acara yang memiliki potensi melanggar. “Saya harap ini yang pertama dan terakhir,” paparnya.

Dalam kesempatan itu, KPI melalui semua Komisioner yang hadir meminta TVRI untuk segera melakukan evaluasi internal terkait penayangan acara tersebut. Upaya ini untuk menghindari terjadinya kesalahan yang sama dikemudian hari.

Klarifikasi yang disampaikan TVRI akan menjadi catatan bagi KPI Pusat untuk dibahas dalam rapat pleno Komisioner KPI Pusat. Usai pertemuan itu, TVRI diminta untuk menandatangani berita acara yang dibuat legal KPI Pusat. Red

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi sanksi teguran pada TVRI terkait pelanggaran dalam acara berjudul “Muktamar Khilafah 2013 Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah” pada tanggal 6 Juni 2013 mulai pukul 06.51 WIB. Demikian ditegaskan dalam surat teguran KPI Pusat yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto, tertuju Dirut TVRI, Farhat Syukrie, Jumat, 21 Juni 2013.
 
Adapun pelanggaran yang dilakukan program tersebut adalah menampilkan ceramah yang berisi serangan dan/atau penghasutan  terhadap rasa persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia dan keberagaman yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Dalam tayangan tersebut ditayangkan ucapan: “Pembentukan negara khilafah di Indonesia”, “Kita tercerai-berai karena demokrasi,  demokrasi sekularisme bakal mati,” “Demokrasi bukan saja sistem kufur, tapi merupakan sistem yang berbahaya karena mengandung prinsip utama liberalisme,” “Mereka memaksa umat Islam untuk melegalkan homoseksual,” “Nasionalisme telah menjadikan ras dan bangsa menjadi berhala,” “Demokrasi juga merupakan pangkal korupsi, saatnya kita mencampakkan sistem demokrasi dan nasionalisme.” “Hancurkan sekat-sekat nasionalisme yang telah memecah-belah kita semua.” Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas penghomatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan, perlindungan kepentingan publik, serta prinsip-prinsip jurnalistik.
 
Nina Mutmainnah, Komisioner sekaligus Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat, mengatakan tindakan penayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012 Pasal 6, Pasal 7, Pasal 11, Pasal 22 ayat (1), (2), (3), dan ayat (5) serta Standar Program Siaran Pasal 6, Pasal  11 ayat (1) dan (2), dan Pasal 40 huruf a. “Berdasarkan pelanggaran di atas, KPI Pusat memberikan sanksi administratif teguran tertulis,” katanya.
 
Selain itu, lanjut Nina, dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 huruf a UU Penyiaran telah dinyatakan  bahwa penyiaran menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun demokrasi dan berfungsi sebagai perekat sosial. Selain itu dalam Pasal 4 huruf a P3 dan SPS ditegaskan kembali bahwa lembaga penyiaran dan program siaran menjunjung tinggi dan meningkatkan  rasa persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Kami meminta TVRI agar berhati-hati terhadap setiap isi program siaran yang menggugat kembali  Pancasila, UUD 1945, dan rasa persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelasnya.

Selain sanksi administratif di atas, KPI Pusat juga meminta TVRI untuk membuat pernyataan yang disiarkan di stasiun tersebut selama 15 - 30 detik sebanyak 5 (lima) kali setiap hari selama 3 (tiga) hari berturut-turut mulai tanggal 22 sampai 24 Juni 2013 antara pukul 07.00 – 21.00 yang bertuliskan: “TVRI menjalankan permintaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  untuk senantiasa menjaga isi siarannya dengan menjunjung tinggi  pelaksanaan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan UU Penyiaran (UU No. 32/2002)”.
  
“TVRI harus melaporkan kepada KPI secara tertulis disertai copy tayangan tentang disiarkannya pernyataan di atas,” papar Nina. Red

Pontianak  - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Kalimantan Barat mencatat masyarakat paling sering mengeluhkan tayangan stasiun televisi Jakarta yang ditampilkan secara berjaringan di daerah.

"Selama periode Januari sampai Mei 2013, ada 64 pengaduan dari masyarakat seputar tayangan di televisi, dan mayoritas, mereka memprotes sejumlah tayangan dari stasiun televisi di Jakarta," kata Ketua Divisi Pemantauan Isi Siaran KPID Provinsi Kalimantan Barat, Syarifah Alawiyah Almutahar, di Pontianak, Jumat, 7 Juni 2013.

Ia mencontohkan tayangan "Fesbuker" di salah satu stasiun televisi nasional yang tayang saat magrib. Masyarakat, menurut KPID, mengeluhkan tayangan ini karena dianggap sangat tidak sopan dan mengandung unsur pornografi. "Terlebih lagi, tayangan tersebut sifatnya langsung, bukan siaran tunda," ujar dia dikutip antara.

Tayangan lain yang dikeluhkan, sebut Syarifah, adalah sinetron "Bukan Mawar Tapi Melati" yang ditayangkan satu stasiun televisi nasional lainnya. "Masih banyak tayangan lain yang dilaporkan," kata dia.

Menurut Syarifah, terhadap laporan tersebut, untuk tayangan yang asalnya dari stasiun televisi di Jakarta, diteruskan ke KPI Pusat.

Ia melanjutkan, berdasarkan ketentuan, untuk menampilkan tayangan di televisi, ada kategori yang perlu disajikan. "Kategori anak, remaja, dewasa dan segala umur. Untuk klasifikasi dewasa, penayangannya pada pukul 10 malam sampai tiga pagi," ujar Alawiyah.

Selain masa tayang, tidak boleh ada iklan visualisasi obat kuat, alat kontrasepsi, atau pakaian dalam. "Dan iklan penjualan pakaian dalam yang ditayangkan di televisi lokal itu, masuk kategori dewasa," katanya.

Sanksi diberikan dalam tahap tertulis, penghentian sementara, pembatasan durasi, hingga pencabutan izin penyiaran yang adalah hukuman terberat. Red

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.