Amiruddin (Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran saat menyampaikan materi di Forum Literasi Media, Sanggau 14 Agustus 2014)
Sanggau - Regulasi negara ini pasca 1999 memberi peluang untuk liberalisasi media. Sehingga terbuka kesempatan yang besar bagi masyarakat untuk memproduksi medianya sendiri. Namun demikian informasi yang meluap itu justru tidak terdapat di daerah perbatasan. Masyarakat di wilayah yang bersebelahan dengan negara tetangga itu justru mendapatkan siaran luar negeri yang meluber (spill over) hingga wilayah NKRI. Hal tersebut disampaikan Amiruddin, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, dalam acara Forum Literasi Media yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, di Sanggau (14/8).
Di kabupaten Sanggau yang memiliki tujuh kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini, memang belum memiliki televisi lokalnya sendiri. Keberadaan lembaga penyiaran berbayar (LPB) melalui kabel yang ada di Sanggau hingga saat ini masih illegal, karena belum mengurus proses perizinan melalui instansi yang berwenang. Sehingga kebutuhan informasi masyarakat di Sanggau, diberikan melalui radio-radio swasta, televisi nasional yang diakses melalui satelit, serta Radio Republik Indonesia.
Menurut Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sanggau, Yohannes Kitteng, hingga saat ini kabupaten Sanggau masih membutuhkan 70 tower-tower menara untuk mengcover daerah-daerah blank spot, sehingga hak informasi masyarakat di seluruh kabupaten Sanggau ini dapat terpenuhi.
Dengan kondisi yang ada di Sanggau saat ini, Amiruddin menyarankan agar pemerintah kabupaten Sanggau sebaiknya mendirikan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) untuk melayani kebutuhan informasi masyarakat. “Penyiaran di daerah perbatasan sesungguhnya memiliki fungsi diplomasi informasi”, ujar Amir. Hal ini juga untuk menjaga nasionalisme masyarakat di perbatasan yang sehari-hari berdampingan dengan negara tetangga yang secara ekonomi lebih sejahtera.
Dengan adanya LPPL ini, ujar Amir, informasi yang dikelola lembaga penyiaran tentu akan disesuaikan dengan kebutuhan dan minat masyarakat perbatasan lebih spesifik di bandingkan daerah lain. Amir menilai, seharusnya perjuangan dan kerja keras Tentara Nasional Indonesia dalam menjaga patok-patok perbatasan juga harus bisa tampil baik di televisi ataupun di radio. Selain juga potret masyarakat Indonesia yang tetap memilih menjadi warga negara Indonesia, meski dilingkupi hidup yang terbatas, padahal di negara tetangga dapat hidup lebih makmur.
Informasi dan muatan siaran yang menguatkan ketahanan masyarakat dan meningkatkan nasionalisme tentunya harus dikelola dengan baik oleh semua pemegang kebijakan. Sehingga, melalui media penyiaran, masyarakat di perbatasan dapat merasakan kedekatan dengan saudara-saudara sebangsanya yang tinggal berjauhan. Sehingga dapat menangkal masuknya pengaruh-pengaruh negatif dari luar yang merusak, seperti separatisme, narkoba, trafficking, ataupun kejahatan lintas negara (trans national crimes).