Jakarta - Sistem Siaran Jaringan (SSJ) merupakan wujud dari desentralisasi penyiaran yang menjadi mandat regulasi penyiaran. Perintah SSJ sendiri ada dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002, Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2005, Peraturan Menteri nomor 43 tahun 2009 dan juga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) 2013 di Bali, merekomendasikan KPI memberikan waktu pada lembaga penyiaran yang melakukan siaran secara berjaringan untuk memenuhi perintah regulasi atas konten lokal sebesar 10% selama setahun, hingga 12 April 2014. Dari data yang dimiliki oleh KPI Pusat berdasarkan masukan dari 14 KPI Daerah, ternyata lembaga penyiaran baru mulai menghadirkan konten lokal di rata-rata 10 kota dengan durasi rata-rata 30 menit. Untuk itu KPI Pusat melakukan rapat koordinasi dengan lembaga-lembaga penyiaran yang bersiaran jaringan yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), guna mengevaluasi sejauh mana amanat regulasi penyiaran tentang konten lokal tersebut telah ditunaikan.
Hadir dalam rapat koordinasi tersebut, perwakilan dari RCTI, TPI, Global TV, ANTV, TV One, Metro TV, Indosiar dan SCTV. Sedangkan rapat dipimpin langsung oleh Koordinator bidang perizinan KPI Pusat, Azimah Subagijo yang didampingi komisioner bidang perizinan lainnya, Amiruddin dan Danang Sangga Buwana.
Dari pertemuan tersebut, lembaga penyiaran menyampaikan laporan pelaksanaan konten lokal yang telah mereka lakukan. Kendala yang ditemui lembaga penyiaran, diakui oleh perwakilan RCTI, adalah masalah infrastruktur, peralatan teknis serta sumber daya manusia dari daerah setempat seperti yang diwajibkan P3 & SPS. Selain itu, menurut perwakilan dari SCTV, lembaga penyiaran butuh guidance dari KPI tentang siaran konten lokal serta evaluasi atas pelaksanaan selama ini.
Sementara itu menurut Azimah Subagijo, KPI sendiri berkewajiban mengingatkan lembaga penyiaran yang bersiaran jaringan untuk melakukan upaya pemenuhan konten lokal sebanyak 10% secara optimal. “Urgensi konten lokal hakikatnya adalah desentralisasi penyiaran”, ujar Azimah. Dengan adanya kewajiban konten lokal ini, akan mendorong lembaga penyiaran untuk bekerjasama dengan industri terkait di tingkat lokal dan juga SDM setempat. “Tentunya akan menjadi sarana lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal”, tambah Azimah.
Dirinya menilai, konten lokal juga dapat mendekatkan lembaga penyiaran dengan masyarakat lokal, sehingga masyarat menjadi lebih memiliki atau merasakan manfaat keberadaannya di tengah mereka. Sehingga kebutuhan masyarakat akan informasi, hiburan dan kontrol sosial terkait dengan isu-isu yang dekat dengan mereka, dapat terpenuhi. “Jika pada saat nanti ada serbuan konten-konten siaran asing ke negara kita, masyarakat dapat lebih memilih konten lokal yang sudah mereka gemari, ketimbang konten asing”, ujar Azimah.
Selama ini, pelaksanaan sistem siaran jaringan sebenarnya sudah dilakukan lembaga penyiaran, namun sayangnya baru secara administratif. Sementara dalam konteks infrastruktur dan penyediaan konten lokal sebanyak 10% masih belum sepenuhnya terealisasi. Azaimah mengingatkan, bahwa dalam setiap proses perizinan, anggota jaringan dari lembaga penyiaran berjaringan diwajibkan untuk memenuhi syarat aspek administratif, program siaran dan aspek teknis penyelenggaraan penyiaran. “Sehingga seharusnya masalah infrastruktur teknis untuk pelaksanaan konten lokal, sudah selesai pada proses perizinan”, tegasnya.
Lembaga penyiaran sendiri mengakui bahwa pemenuhan konten lokal adalah sebuah keniscayaan. Sementara bagi KPI sendiri, menurut Azimah, konten lokal juga merupakan wujud ketahanan bangsa guna menguatkan masyarakat, bangsa dan industri penyiaran itu sendiri dari serbuan muatan-muatan asing yang belum tentu compatible dengan kepribadian Indonesia.